Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image 5_rahma cahyani salsabila

Ketika Rumah Tak Lagi Aman: Ironi Kekerasan Anak di Gresik dan Urgensi Perlindungan Nyata

Pendidikan dan Literasi | 2025-11-16 12:05:30

Kita mungkin sudah sering melihat atau mendengar berita kekerasan terhadap anak, tetapi setiap kali kasus seperti ini muncul, hati publik kembali tersentak. Bukan saja karena usia korban yang masih sangat kecil, tetapi juga karena pelaku adalah orang yang secara moral seharusnya menjadi pelindung utama: ayahnya sendiri. Ironi yang menyakitkan dari sebuah institusi terkecil bernama keluarga, yang idealnya menjadi tempat teraman bagi seorang anak.

Kasus ini bukan sekadar kriminalitas. Ini adalah sebuah tragedi sosial. Ia membuka pintu besar menuju masalah-masalah yang selama ini tersembunyi: kesehatan mental keluarga, lemahnya pengawasan lingkungan, tekanan ekonomi, kurangnya literasi pengasuhan, dan minimnya akses bantuan bagi orang tua maupun anak ketika konflik mulai terjadi. Satu kasus ini, betapapun menyakitkannya, menyampaikan pesan besar kepada masyarakat bahwa kejahatan yang terjadi dalam rumah tidak boleh diabaikan.

Kekerasan dalam rumah tangga sering kali berakar pada pola pengasuhan yang salah, tekanan hidup, atau bahkan trauma masa kecil yang tidak pernah diobati. Namun, alasan apa pun tetap tidak dapat dijadikan pembenaran untuk melukai anak. Kita sering mendengar kalimat “anak adalah amanah”, tapi tidak semua orang benar-benar memahami makna mendalamnya.

Ketika seorang anak menjadi korban kekerasan, sesungguhnya yang rusak bukan hanya tubuhnya. Yang paling parah adalah kerusakan yang tidak terlihat: trauma psikologis. Trauma tersebut tidak akan hilang dalam sehari atau seminggu. Ia bisa menetap selama bertahun-tahun, memengaruhi kepercayaan diri, kemampuan bersosialisasi, hingga pandangan anak terhadap hubungan orangtua-anak di masa depan.

Anak yang tumbuh dalam kekerasan bisa mengalami ketakutan panjang, merasa tidak aman, dan dalam beberapa kasus, trauma itu berkembang menjadi masalah kesehatan mental saat dewasa. Dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan orangtua hari ini bisa menghasilkan luka yang diwariskan secara psikologis kepada generasi berikutnya.

Berita ini menjadi viral bukan tanpa alasan. Banyak orang merasa marah, sedih, dan kecewa terhadap kejadian tersebut. Namun, kemarahan saja tidak cukup. Kita perlu bergerak lebih jauh: membangun kepedulian.

Selama ini, kekerasan dalam rumah sering menjadi “urusan keluarga”, sehingga banyak orang memilih diam meski melihat tanda-tandanya. Padahal, tindakan membiarkan sama saja dengan turut menyumbang kelanjutan siklus kekerasan itu.

Masyarakat perlu berani melapor ketika mendengar tangisan berulang dari rumah tetangga, melihat anak yang tampak ketakutan, atau menyaksikan perilaku orangtua yang kasar. Kepedulian lingkungan sangat besar pengaruhnya dalam mencegah tragedi seperti ini.

Pihak kepolisian yang bergerak cepat menangani kasus ini patut diapresiasi. Namun setelah proses hukum berjalan, ada hal besar lain yang tidak boleh terlupakan: pemulihan mental korban.

Anak korban kekerasan tidak cukup hanya “diselamatkan” secara fisik. Ia membutuhkan pendampingan profesional, konseling jangka panjang, serta lingkungan yang benar-benar aman agar ia bisa kembali pulih. Pemerintah daerah dan lembaga perlindungan anak harus memastikan bahwa proses pemulihan ini tidak berhenti di tengah jalan.

Selain itu, edukasi pengasuhan positif (positive parenting) harus semakin digencarkan. Tidak semua orangtua paham bagaimana mengelola emosi, memberikan disiplin yang benar, atau berkomunikasi yang sehat dengan anak. Tanpa pemahaman ini, risiko kekerasan akan terus menghantui keluarga dengan tekanan hidup tinggi.

Kasus ini menyentuh titik paling sensitif dari kemanusiaan: seorang anak kecil yang tak mampu membela diri.

Berita tersebut memperlihatkan bagaimana sebuah rumah bisa berubah menjadi tempat yang menyakitkan, bukan karena orang asing, tetapi karena orang terdekat. Dan di sebuah kota seperti Gresik, yang terkenal dengan keramahan dan budayanya, kasus ini terasa jauh lebih menyesakkan.

Video viral itu bukan sekadar berita hitam-putih. Ia adalah peringatan bagi setiap orangtua, masyarakat, dan pemerintah bahwa perlindungan anak bukan pekerjaan kecil. Kita tidak bisa hanya mengutuk pelaku, lalu melupakan persoalan fundamental yang harus diperbaiki bersama.

Kasus ini hendaknya menjadi momentum untuk memperkuat sistem perlindungan anak di Indonesia. Kita perlu lebih berani bicara, lebih cepat bertindak, dan lebih sensitif terhadap tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga.

Anak-anak adalah masa depan bangsa. Ketika mereka disakiti, yang terluka bukan hanya satu keluarga, tetapi seluruh masyarakat. Dan ketika kejahatan seperti ini terjadi, diam bukanlah pilihan. Kita memiliki kewajiban moral untuk menjaga setiap anak agar dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman, penuh kasih, dan bebas dari kekerasan.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image