Menjaga Jati Diri Bangsa di Era Globalisasi
Edukasi | 2025-11-16 10:44:30
Pendahuluan
Di era yang serba cepat ini, ketika informasi, budaya, dan produk dari seluruh penjuru dunia dengan mudah masuk ke ruang privasi kita. Sebuah pertanyaan yang sering terlupakan, Siapakah kita sebagai bangsa? inilah inti dari identitas nasional. Identitas nasional bukan sekedar stempel di paspor atau bendera yang dikibarkan saat hari besar dan setiap upacara, melainkan fondasi jiwa bersama yang menyatukan beragam suku, bahas, budaya, dan agama dalam sebuah negara. Identitas nasional adalah DNA kultural yang diwariskan turun-temurun yang di ibaratkan seperti kompas yang menentukan arah perjalanan bangsa. Isu identitas nasional menjadi sangat krusial hal ini di karena kan kita dihadapkan pada arus deras globalisasi, globalisasi menjanjikan kemajuan, kemudahan akses, dan integrasi ekonomi, tetapi disisi lain, ia berpotensi mengikis keunikan budaya lokal, mengubah nilai-nilai luhur menjadi komoditas semata, dan bahkan menimbulkan kebingungan identitas, terutama di kalangan generasi muda. Tekanan untuk menjadi "warga dunia" yang seragam sering kali membuat kita lupa bahwa kekuatan sejati terletak pada keunikan budaya kita. Oleh karena itu, membicarakan dan memperkuat identitas nasional adalah sebuah keharusan strategis. Ini adalah benteng pertahanan terakhir kita dalam menghadapi pengaruh budaya dan nilai-nilai dari negara asing.
Antara Genggaman Lokal dan Godaan Global
Identitas nasional kita, Indonesia adalah sebuah seni yang sangat kaya, kita memiliki semboyan yaitu "Bhinneka Tunggal Ika" dimana kekuatan kita terletak pada keberagaman yang bersatu. Kita adalah bangsa yang multikulturlah, dimana bangsa, suku, ras, dan agama hidup berdampingan dalam masyarakat. Namun justru keberagaman inilah yang rentan terhadap gesekan dan pengikisan, terutama ketika nilai-nilai lokal tidak lagi menjadi prioritas utama.
Ancaman Erosi Budaya dan Bahasa
Dalam era digital banyak budaya asing yang masuk ke negara kita terutama dari barat dan asia yang tak terhindarkan. Pilihan bahasa sehari-hari, trend berpakaian, hingga selera musik yang cenderung berkiblat pada musik luar. Jika tidak disikapi dengan kritis maka akan berujung pada erosi nilai dan bahasa lokal. Contoh nyata adalah penggunaan bahasa. Meskipun bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bagi mayoritas penduduk, muncul trend mencampuradukkan bahasa asing secara berlebihan. Lebih dari itu, banyak bahasa daerah yang berada di ambang kepunahan karena banyak yang tidak lagi menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa adalah wadah budaya jika wadahnya hilang, isinya pun akan hilang.
Data tak resmi menunjukkan bahwa tontonan lokal mulai tersaingi oleh konten global. Ini bukan berarti kita harus menutup diri secara isolasionis, tetapi kita harus kritis. Jika generasi muda lebih mengenal sejarah karakter superhero asing ketimbang pahlawan nasional mereka, atau lebih memahami mitologi Nordik dari pada legenda Nusantara, maka telah terjadi pergeseran fokus yang mengancam pemahaman akar budaya sendiri. Inilah tantangan serius bagi bangsa kita sebagai generasi penerus bangsa.
Polarisasi dan Mengaburnya Nilai Dasar Pancasila
Sila-sila dalam Pancasila adalah identitas dan filosofi bangsa, yang lahir dari perenungan mendalam para pendiri bangsa. Prinsip Gotong Royong, Musyawarah Mufakat, dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah ciri khas yang membedakan kita. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat fenomena polarisasi sosial dan politik yang mengancam persatuan. Ruang publik, terutama media sosial, kerap diwarnai perdebatan sengit yang didorong oleh isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Arus informasi yang tidak tersaring (hoax) dan ideologi transnasional yang ekstrem, baik ke kanan maupun ke kiri, mampu menyusup dan meracuni nalar kritis masyarakat. Ironisnya, alih-alih berpegangan teguh pada prinsip toleransi dan civility (kesopanan ber warga negara), kita terkadang terjebak dalam fanatisme sempit yang melupakan esensi dari ke bhinnekaan yang seharusnya menjadi kekuatan. Contoh nyata adalah media sosial. Ruang digital menjadi arena utama polarisasi, dimana penyebab penyebaran berita hoax dan disinformasi yang sedang marak terjadi. Hal ini menciptakan opini di mana masyarakat hanya terpapar pada informasi memperkuat keyakinan mereka sendiri, dan membuat mereka percaya dan berpihak pada berita hoax itu. Maka dari itu kita harus berfikir secara kritis sebelum berpendapat dan sebelum berkomentar buruk agar kita juga dapat mengurasi pengaruh global ini.
Di sinilah identitas nasional, yang terpatri dalam Pancasila, perlu berperan sebagai "pemadam kebakaran" dan perekat. Pancasila harus direvitalisasi, tidak hanya sebagai teori, tetapi sebagai etiket moral dalam kehidupan bernegara. Kita perlu kembali menjadikan nilai-nilai ini sebagai kompas moral dan pedoman praktis dalam Ber media sosial, berpolitik, dan berinteraksi sehari-hari.
Identitas Digital
Di dunia maya, identitas nasional juga diuji sekaligus diberikan peluang baru. Identitas digital kita, yaitu bagaimana kita menampilkan diri kita sebagai "orang Indonesia" di kancah global sangat menentukan citra bangsa. Generasi muda memiliki peran besar untuk mempromosikan citra positif Indonesia, bukan sekadar destinasi wisata eksotis, melainkan sebagai bangsa yang maju, kreatif, dan menjunjung tinggi keberagaman. Kita harus mampu beralih dari sekadar konsumen menjadi produsen konten kreatif yang berakar pada lokalitas Indonesia tetapi memiliki kualitas global. Ketika batik, kuliner lokal (seperti Rendang atau Nasi Goreng), atau musik tradisional kita diakui dunia melalui platform digital, itu adalah kemenangan kolektif yang memperkuat rasa bangga akan identitas nasional. Upaya ini harus didukung oleh diplomasi budaya yang proaktif dari pemerintah dan seniman. Kita perlu menggunakan teknologi untuk mendigitalkan dan mendistribusikan kearifan lokal, bukan membiarkannya terkubur oleh tumpukan konten asing. Contoh nyata yang ada di sekitar kita: Ada salah satu akun media sosial bernama "Pesona Indonesia" dimana akun ini berisikan konten tentang keberagaman budaya, suku, keindahan alam, serta makanan khas dari Indonesia. Dengan adanya akun ini orang luar dapat mengetahui budaya kita bagaimana, suku kita yang sangat beragam, keindahan alam yang sangat banyak dan jarang diketahui orang, bukan hanya itu dengan adanya konten ini kita jug akan mendapatkan keuntungan jika ada WNA datang kesini dengan tujuan untuk berwisata maka wisata kita akan terkenal dan dikenang oleh orang luar. Semoga dengan adanya konten ini kita dapat mengenalkan budaya kita ke orang luar dan membuat identitas nasional di era globalisasi ini lebih dipandang ke depan.
Kesimpulannya:
Memeluk Masa Depan dengan Jati Diri yang Kuat. Identitas nasional bukanlah pekerjaan nostalgia atau anti-asing. Justru sebaliknya Identitas nasional yang kuat, yang berbasis pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, adalah modal utama untuk menghadapi masa depan yang kompetitif dan penuh ke tidak pastian. Hanya bangsa yang tahu persis siapa dirinya, yang akan mampu bersaing tanpa kehilangan arah. Kita harus mampu menyaring pengaruh global, mengambil yang positif untuk kemajuan (misalnya teknologi), sambil membuang yang negatif (individualisme ekstrem, konsumerisme buta).
Pandangan ke depan
Penguatan identitas nasional harus dimulai dari lini terdepan seperti keluarga dan pendidikan. Kurikulum pendidikan harus secara kreatif dan relevan mengajarkan nilai-nilai kebangsaan, sejarah, dan seni budaya, bukan sekadar hafalan. Guru dan orang tua harus menjadi fasilitator utama yang menjembatani warisan leluhur dengan realitas digital. Selain itu, pemerintah harus mendukung ekosistem bagi konten dan produk lokal berkualitas tinggi agar mampu bersaing secara estetika dan komersial dengan produk global.
Mari kita pastikan bahwa ketika gelombang globalisasi datang, kita tidak tenggelam dalam pusarannya, tetapi justru berlayar dengan gagah berani di atas kapal yang bernama Indonesia, dengan Pancasila sebagai mesin penggerak dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai layar utamanya. Kita harus bangga menjadi diri kita modern tanpa harus menjadi bangsa lain, dan global tanpa harus melupakan tanah air.
Kata akhir
Jati diri bangsa adalah warisan sekaligus mandat. Menjaganya adalah tanggung jawab kita sebagai masyarakat Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
