Mengapa Kita Perlu Takut tapi Juga Percaya pada AI?
Teknologi | 2025-11-15 20:18:22
Bayangkan sebuah dunia di mana mesin menulis puisi, menggambar lukisan, bahkan membuat keputusan yang menyangkut kehidupan manusia. Dunia itu bukan lagi masa depan jauh, ia sudah hadir di depan mata kita melalui teknologi Artificial Intelligence (AI). Kehadiran AI membawa dua perasaan yang bertolak belakang kekaguman dan ketakutan. Kita terpukau oleh kemampuannya, namun diam-diam juga cemas, apakah manusia masih dibutuhkan ketika mesin mulai berpikir?
AI kini merasuki hampir setiap sisi kehidupan. Dari fitur chatbot yang bisa menjawab pesan lebih cepat daripada manusia, kamera pengenal wajah di ponsel, hingga sistem otomatis di pabrik industri. Data dari McKinsey Global Institute (2024) menunjukkan bahwa penggunaan AI dapat meningkatkan produktivitas industri hingga 40%. Di sisi lain, lembaga yang sama juga memperkirakan sekitar 30% pekerjaan administratif akan hilang pada tahun 2030 karena otomasi. Angka ini menunjukkan paradoks besar, kemajuan dan kehilangan berjalan bersamaan.
Kita memang perlu takut pada AI bukan karena ia jahat, tapi karena ia mewarisi sisi buruk manusia yang menciptakannya. Algoritma AI belajar dari data yang kita berikan, termasuk bias, ketimpangan, dan kesalahan yang kita ciptakan sendiri. Ketika sistem rekrutmen berbasis AI menolak kandidat hanya karena gender atau asal daerah, itu bukan kesalahan mesin, tapi cerminan ketidaksempurnaan manusia. AI hanyalah cermin besar ia memantulkan siapa kita sebenarnya.
Namun, rasa takut itu tidak seharusnya membuat kita menolak kehadiran teknologi ini. Justru di titik ini, kita perlu percaya bahwa AI bisa menjadi alat bantu untuk memperluas kemampuan manusia. Dalam dunia medis, AI mampu mendeteksi kanker lebih cepat daripada dokter. Di bidang lingkungan, algoritma mampu memprediksi bencana dan membantu penghematan energi. Bahkan di sektor pendidikan dan vokasi, AI dapat menjadi tutor digital yang membuat pembelajaran lebih personal dan adaptif. Artinya, kuncinya bukan pada menolak atau menyembah AI, melainkan mengendalikannya secara etis dan manusiawi.
Pemerintah perlu memperkuat literasi digital, sekolah harus mengajarkan logika berpikir dan etika teknologi, sementara masyarakat harus memahami cara kerja AI agar tak mudah diperdaya oleh informasi palsu atau keputusan otomatis. Kita butuh manusia yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga bijak dalam memanusiakan teknologi. Kita boleh takut, agar tetap waspada. Tapi kita juga harus percaya, agar berani berinovasi.
AI bukan akhir dari peran manusia, melainkan panggilan untuk membuktikan bahwa nilai kemanusiaan tak akan pernah bisa digantikan oleh kode dan algoritma. Di tengah dunia yang semakin cerdas, ujian terbesar kita bukanlah menciptakan mesin yang berpikir seperti manusia, melainkan memastikan manusia tetap berpikir secara manusiawi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
