Ketika Hukum Kehutanan Tak Pasti, Masyarakat yang Menjadi Korban
Hukum | 2025-11-15 01:11:56Di banyak daerah di Indonesia, hutan bukan sekadar bentang alam. Ia ruang hidup, ruang ekonomi, dan ruang budaya. Namun ironisnya, jutaan warga yang hidup di dalam atau sekitar kawasan hutan justru sering menjadi pihak yang paling tidak terlindungi oleh hukum kehutanan. Bukan karena mereka tidak menghormati aturan, tetapi karena hukum itu sendiri tidak memberikan kepastian.
Masalah kehutanan di Indonesia bukan hanya perusakan hutan atau kejahatan yang dilakukan korporasi besar. Masalah terbesar justru berada pada ketidakpastian status lahan dan ketimpangan akses yang menimbulkan konflik berkepanjangan. Inilah wajah hukum kehutanan kita hari ini, penuh pasal, minim kepastian, timpang implementasi.
Salah satu akar persoalan adalah ketidaksinkronan data dan peta kawasan hutan. Apa yang disebut pemerintah sebagai “kawasan hutan” sering kali tidak sama dengan peta tata ruang daerah, apalagi dengan klaim masyarakat adat yang diwariskan turun-temurun. Ketika negara menyatakan suatu wilayah sebagai kawasan hutan, masyarakat yang sudah tinggal puluhan tahun tiba-tiba dianggap “pendatang ilegal”. Padahal mereka tidak pernah merusak; justru menjaga dan mengelola secara tradisional. Sayangnya, hukum kehutanan yang kita miliki lebih sering berpihak pada status administratif, bukan realitas sosial. Akibatnya, ribuan kasus kriminalisasi masyarakat masih terjadi setiap tahun. Orang bertani di tanah sendiri, tetapi hukum menyebut mereka melanggar.
Hukum kehutanan kita memudahkan korporasi besar mendapatkan konsesi hutan dalam skala raksasa. Namun ketika masyarakat mengusulkan hutan desa, hutan adat, atau perhutanan sosial, prosesnya panjang dan berliku. Asimetri akses inilah yang menimbulkan ketimpangan penguasaan lahan yang ekstrem. Masyarakat dituntut mematuhi hukum kehutanan tanpa diberikan hak yang sepadan. Sementara itu, perusahaan justru mendapatkan legitimasi hukum meski di lapangan sering tidak menjalankan prinsip keberlanjutan. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka sesungguhnya kita tidak sedang menegakkan keadilan, melainkan ketidakadilan yang dilembagakan.
Ketidakpastian hukum kehutanan memicu konflik tenurial di mana-mana. Dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua, ribuan warga berhadapan dengan aparat atau perusahaan hanya karena mempertahankan tanah leluhur mereka. Konflik ini tidak hanya mengorbankan ruang hidup masyarakat, tetapi juga merugikan negara. Proyek pembangunan terhambat, investasi tertunda, dan kepercayaan publik runtuh. Hukum seharusnya menyelesaikan konflik, bukan menciptakan konflik baru.
Untuk memperbaiki tata kelola hutan, diperlukan reformasi hukum yang lebih dari sekadar revisi undang-undang. Kunci perlindungan hutan Indonesia sebenarnya sederhana: berikan keadilan, bukan sekadar aturan. Ketika masyarakat dilibatkan, diberi hak, dan dilindungi secara hukum, mereka justru menjadi penjaga hutan terbaik. Tanpa kepastian hukum, konservasi tidak akan berjalan. Tanpa keadilan, kebijakan kehutanan hanya menjadi formalitas. Dan tanpa keberanian politik untuk menata ulang hukum kehutanan, kita hanya akan mengulang kerusakan yang sama dalam siklus panjang yang melelahkan.
Sudah saatnya hukum kehutanan tidak hanya melindungi hutan, tetapi juga melindungi manusia yang hidup bersama hutan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
