Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Meraup Manfaat Puasa dengan Jamu Jabati Jarak Bagian 2

Lomba | Thursday, 10 Mar 2022, 14:44 WIB

Mengawali bagian kedua dari tulisan ini, mari kita telusuri arti kata shaum dalam Al-Qur’an. Lafadz “Shaum” disebutkan sebanyak satu kali, yaitu dalam surah Maryam ayat 26. Secara umum, lafadz ini sering diterjemahkan puasa.

“Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar shaum (diam tidak bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.’ ”

Ayat tersebut berkenaan dengan kisah kelahiran Nabi Isa a.s tanpa ayah yang mengundang komentar orang-orang pada waktu itu. Untuk menguatkan jiwa Siti Maryam, Allah memberi perintah kepadanya untuk melakukan shaum.

Abu Muhammad Husain bin Mas’ud al Baghawy dalam kitabnya Tafsir Al Baghawy Ma’alimu at Tanzil (hal. 800) memberikan tafsiran terhadap kata shaum dalam surat Maryam ayat 26 dengan kata shumtan yang artinya diam tidak berbicara. Menurut Al Baghawy, salah satu makna dari ibadah puasa adalah shaum, menahan diri dari makan, minum, dan berlebihan dalam berkata-kata.

Sampai disini kita dapat memahami, salah satu hal yang harus dilakukan ketika kita tengah melaksanakan ibadah puasa adalah diam atau menghindar dari mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat, menjauhi obrolan yang menggunjing orang lain, serta kata-kata yang dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan dosa.

Jujur harus kita akui, jika ibadah puasa kita untuk sekedar menahan lapar dan dahaga serta menahan kegiatan fisikal dari hal-hal yang membatalkan puasa kita telah mampu melakukannya, namun dari sudut pandang spiritual, kebersihan jiwa, kita masih harus berupaya keras memperbaikinya. Kita telah mampu menahan lapar dan dahaga, sayangnya kita belum mampu menjaga mulut kita, menahan lisan kita dari perkataan kotor yang sering mengurangi nilai dari ibadah puasa.

Menahan lapar dan dahaga hampir 14 jam lamanya merupakan pekerjaan berat, dan nyatanya mulut kita mampu menahan lidah untuk tidak mengecap sejuknya air dan lezatnya makanan. Namun mulut kita sering tak mampu menahan lisan dari mengeluarkan kata-kata kotor selama berpuasa. Dengan kata lain semua orang mampu menahan mulutnya untuk tidak mengunyah makanan, namun belum tentu semua orang mampu menahan mulutnya dari mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat.

Jika merujuk kepada hadits-hadits Nabi saw, kemampuan menjaga mulut (Jamu) selain bukti dari keimanan kepada Allah dan hari akhir, juga merupakan nilai spiritual utama dari ibadah puasa. Tak ada kebaikan apapun dari ibadah puasa seseorang yang tak mampu menjaga mulutnya dari kata-kata kotor, porno, dan perkataan lainnya yang menjurus kepada menggunjing dan ghibah.

“Jika seseorang sedang melaksanakan ibadah puasa, hendaknya ia tidak berkata jorok (porno) dan berkata kasar (mengumpat, menggunjing). Apabila ia diganggu orang lain, hendaknya ia mengatakan, ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’” (H. R. Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut dapat kita pahami bahwa orang yang tengah berpuasa harus mampu mengendalikan diri, terutama menjaga mulut dari mengeluarkan kata-kata kotor yang dapat mengganggu ketenangan jiwanya dan jiwa orang lain. Termasuk kemampuan menjaga mulut (jamu) adalah kemampuan mengendalikan amarah dan rasa marah ketika kita tengah melaksanakan ibadah puasa.

Sangatlah ironis jika kita tengah berpuasa mulut kita malah senang menggerutu, gampang marah, dan gampang mengumpat. Jika hal ini terus terjadi selama kita melaksanakan ibadah puasa, sudah dapat dipastikan ada sesuatu yang salah dengan pelaksanaan ibadah puasa kita.

Abdullah ibnu Manshur, seorang ulama Mesir, dalam kitabnya Al Ghadhab al Mautu al Bathiu (hal. 192) menggolongkan sikap marah-marah sebagai penyebab kematian secara senyap. Dengan kata lain, orang yang suka marah-marah tak karuan pada umumnya cepat meninggal alias berusia pendek.

Menurutnya, obat yang paling mujarab untuk mengendalikan amarah-marah adalah pengendalian jiwa, terus berlatih agar memiliki kemampuan mengendalikan diri yang berujung pada pengendalian mulut agar tidak berkata-kata yang mengundang orang lain marah, dan dirinya ikut marah melawan orang yang memarahinya.

Latihan pengendalian jiwa yang baik dapat diperoleh melalui pelaksanaan ibadah puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunat. Untuk memperoleh nilai manfaat puasa, seseorang harus benar-benar melaksanakan shaum dan shiam.

Shiam pengendalian diri dari kegiatan fisik yang dapat membatalkan ibadah puasa (makan, minum, dan sebagainya), shaum menahan hati, lisan/mulut, telinga, dan pandangan dari segala perbuatan dosa. Melaksanakan shaum diantaranya menjaga mulut (jamu) dari kata-kata kotor harus benar-benar kita perhatikan.

Jika ibadah puasa yang kita lakukan didalamnya sudah terdapat keseimbangan shaum dan shiam, insya Allah kita akan mendapatkan manfaat maksimal dari ibadah puasa yang dapat meningkatkan derajat kesehatan jiwa dan raga.

Danial Zainal Abidin, pakar kesehatan asal malayasia dalam bukunya Perubatan Islam dan Bukti Sains Modern (Kualalumpur, 2015 : 273) menyatakan bahwa ibadah puasa membantu seseorang mendamaikan jiwa (emosinya). Dalam bukunya ia menuturkan kajian terhadap 3.300 orang pekerja sosial sebagai responden penelitian tentang pengaruh berlaku kebaikan.

Dari penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa orang yang senantiasa berbuat kebaikan merasakan jiwanya semakin tenang. Sembilan puluh persen dari kehidupan mereka merasa lebih sehat dan tekanan hidupnya semakin berkurang.

Berkenaan dengan menjaga mulut (jamu) apalagi selama berpuasa, Maulana Jalaluddin Rumi dalam karya monumentalnya Matsnawi menuliskan syair tentang diam.

Jika engkau tak ingin dihasut syetan

Kendalikan ego dan berlindunglah pada kejujuran

Jika kau tak memiliki kejujuran, paling tidak diamlah dari berkata-kata

Karena kata-kata yang tersimpan di hati akan menguatkan nalar

Efek dari diam nalar jiwa akan menemukan segala yang dicari

Kurangilah berkata-kata agar kau tetap baik

Seseorang yang kurang bicaranya, pikirannya tinggi

Namun saat bicara banyak, nalarnya pun sirna

Ilustrasi : Puasan masa pandemi Covid-19 (sumber gambar : https://pwmu.co)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image