Penguatan Profesi Fisioterapi di Era Pelayanan Kesehatan Terintegrasi
Edukasi | 2025-11-14 08:21:51Fisioterapi di Indonesia sedang berada di titik persimpangan. Di satu sisi, kebutuhan layanan rehabilitasi makin tinggi mulai dari pasien pasca-stroke, lansia, sampai atlet yang cedera. Tetapi di sisi lain, posisi fisioterapis di masyarakat masih sering dikatakan sebagai tukang pijat modern. Gambaran yang keliru ini terus berulang karena pengetahuan publik masih minim, sementara promosi profesi belum konsisten. Akibatnya, fisioterapi sering dipandang sebagai layanan opsional, bukan bagian penting dari sistem kesehatan.
Padahal, fisioterapi memiliki fondasi ilmiah yang kuat. Setiap latihan, teknik manual, hingga program rehabilitasi harus disusun berdasarkan pemeriksaan dan diagnosis fisioterapis. Namun realitas di lapangan tidak selalu sejalan. Banyak fasilitas kesehatan masih menempatkan fisioterapis sebagai pelengkap, bukan sebagai tenaga kesehatan yang memiliki peran mandiri. Mahasiswa fisioterapi kerap merasakan sendiri hal ini ketika menjalani praktik klinik: apa yang mereka pelajari tidak selalu dihargai sebagaimana mestinya. Kesenjangan inilah yang membuat pengembangan profesi sering berjalan tersendat.
Tantangan lain datang dari kurangnya pemahaman lintas profesi. Tidak jarang dokter, perawat, maupun keluarga pasien menganggap fisioterapi hanyalah “latihan ringan” atau “urut medis”. Padahal, konsep rehabilitasi modern menekankan kolaborasi. Fisioterapis harus bisa menjadi jembatan antara pemeriksaanr medis dan pemulihan fungsional. Sayangnya, ruang kolaborasi seperti ini masih belum merata, terutama di daerah. Ketidakmerataan akses membuat fisioterapi berkembang cepat di kota besar, namun stagnan di wilayah yang jauh dari pusat layanan.
Meskipun demikian, masih ada harapan besar. Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya rehabilitasi mulai meningkat. Banyak pasien yang kini datang lebih awal, bukan menunggu sampai fungsi tubuh benar-benar jatuh. Perguruan tinggi juga semakin gencar mengembangkan riset neurorehabilitasi, muskuloskeletal, hingga fisioterapi olahraga. Generasi mahasiswa fisioterapi hari ini punya peluang besar menjadi angkatan yang memperbaiki wajah profesi. Namun kesempatan ini hanya bisa diambil jika mereka aktif membangun ruang edukasi, baik di media sosial maupun di komunitas.
Tantangan fisioterapi di masa yang akan datang bukan hanya memperbaiki citra profesi, tetapi juga memperjuangkan pengakuan setara dalam sistem kesehatan. Dibutuhkan keberanian dari para fisioterapis muda untuk menempatkan praktik berbasis bukti di garis depan. Fisioterapi bukan sekadar keterampilan teknis melainkan ilmu tentang fungsi manusia. Jika profesi ini ingin benar-benar berdiri tegak, maka suara para praktisi dan mahasiswa harus lebih lantang. Publik perlu diyakinkan bahwa fisioterapi bukan tambahan, melainkan kebutuhan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
