Kesehatan Mental di Era Scroll Tak Berujung: Ancaman Nyata bagi Mahasiswa
Gaya Hidup | 2025-11-11 20:15:42
Menggulir layar ponsel telah menjadi kebiasaan bagi hampir semua mahasiswa di era digital saat ini. Setiap kali ada waktu luang, tanpa sadar tangan langsung membuka Instagram, TikTok, atau X untuk melihat trend apa yang sedang terjadi. Kebiasaan ini awalnya sangat terlihat dan bahkan berfungsi sebagai sarana hiburan. Namun, banyak orang tidak menyadari bahwa aktivitas sederhana ini dapat berubah menjadi pola konsumsi informasi yang melelahkan secara mental. Fenomena ini dikenal sebagai “doomscrolling,” yaitu kecenderungan untuk terus-menerus mengonsumsi informasi negatif tanpa memikirkannya, bahkan jika sudah merasa tidak menyenangkan. Dalam banyak kasus, niat awal hanya ingin “scroll sebentar,” yang seringkali berakhir dengan terpaku berjam-jam pada konten yang sebenarnya tidak berguna.
Mahasiswa merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap dampak negatif dari penggunaan media sosial seperti ini. Tekanan akademik, tugas yang menumpuk, tuntutan sosial, dan refleksi diri membuat media sosial menjadi sesuatu yang mudah diakses. Akibatnya, pelarian ini seringkali menimbulkan masalah baru. Menurut penelitian Universitas Florida pada tahun 2022, 37% mahasiswa mengalami tingkat kecemasan yang tinggi akibat penggunaan media sosial, terutama saat mereka terus-menerus terpapar informasi negatif dan terkini. Studi lain yang diterbitkan dalam jurnal Technology, Mind, and Behavior pada tahun 2021 menunjukkan bahwa doomscrolling erat kaitannya dengan peningkatan stres, gangguan tidur, dan gangguan emosional pada anak-anak muda.
Selain itu, media sosial juga berkontribusi pada fenomena FOMO, atau rasa takut ketinggalan informasi dan aktivitas sosial. Mahasiswa sering kali perlu mengetahui apa yang sedang terjadi agar tidak ketinggalan informasi, baik itu tentang kehidupan selebriti, teman, maupun mahasiswa di kampus. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Psychiatry Research pada tahun 2020, FOMO terkait dengan peningkatan gejala depresi, kecemasan sosial, dan harga diri yang rendah. Banyak mahasiswa akhirnya membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial, yang membuat mereka tampak bahagia, menarik, atau berprestasi.
Tidak hanya itu, tetapi paparan terus-menerus terhadap dunia digital juga dapat menyebabkan kelelahan digital. Kondisi ini ditandai dengan kecemasan mental akibat konsumsi konten yang sering dan paparan layar tanpa henti. Menurut survei yang diterbitkan dalam Frontiers in Psychology pada tahun 2023, siswa yang menggunakan media sosial lebih dari empat kali sehari memiliki risiko 2,5 kali lebih tinggi mengalami kelelahan digital dibandingkan dengan mereka yang menggunakannya lebih jarang. Situasi ini dapat memengaruhi fokus belajar, emosi, dan hubungan sosial di dunia nyata.
Dalam konteks kesehatan masyarakat, fenomena ini merupakan isu penting yang memerlukan perhatian. Bagi mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), masalah ini bukan hanya kecanduan media sosial; tetapi juga mencakup masalah kesehatan mental yang memerlukan strategi promosi kesehatan. Penting untuk mendidik mahasiswa tentang kesejahteraan digital, cara menggunakan media sosial secara sehat, dan langkah-langkah pencegahan untuk membantu mereka lebih mahir dalam mengelola waktu yang dihabiskan di media sosial. Pada akhirnya, kesehatan mental di era scroll tidak sekadar pilihan; melainkan, mahasiswa perlu menjadi produktif, sehat, dan memiliki kepercayaan diri dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Sumber :
Franchina, V., Crura, L., & Griffiths, M. D. (2023). Social media use, mental health, and digital burnout among university students. Frontiers in Psychology, 14, 1120–1134. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1120111
World Health Organization. (2019). Burn-out an “occupational phenomenon”: International Classification of Diseases. WHO. https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
