Pancasila sebagai Landasan Etis Penengakan Hukum Pajak pada Wajib Pajak Strategis
Politik | 2025-11-11 20:10:17PENDAHULUAN
Pancasila sebagai sistem etika menmpati posisi penting Dlam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu bukan sekedar sebagai dasar hukum atau sebuah ideologi politik semata, melainkan pedoman moral yang mengarahkan prilaku Masyarakat Indonesia agar bisa berpihak pada nilai nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebersamaan. Dalam sistem etika Pancasila dijadikan sebagai landasan kesadaran moral untuk berbuat baik buka karena adanya sanksi tetapi karena tanggung jawab terhadap nilai nilai luhur bangsa.
Nilai etika dalam pancasila seharusnya dapat membuat kesadaran Masyarakat Indonesia terhadap kewajibannya dalam membayar pajak. Terutama pada Masyarakat dengan ekonomi tingkat atas. Kebanyakan Masyarakat dengan ekonomi Tingkat atas itu mengubah asset pribadi menjadi asset preusahaan nya dengan tujuan untuk menghindari pajak yang besar. Hal ini membuat dampak ke pemasukan negara, sehingga pajak hanya di tekankan kepada Masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah.
Berdasarkan berita yang beredar pada bulan Agustus 2025, yaitu pajak pejabat yang di tanggung oleh negara. Hal itu merupakan kebijakan yang tidak adil dan menentang dengan pancasila sila ke 5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hal tersebut dapat memicu pemikiran Masyarakat Indonesia untuk melanggar aturan wajib pajak.
ISI OPINI
Pancasila sebagai sistem etika semestinya dapat dijadikan landasan etika bagi seluruh Masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan Kewajiban Masyarakat Indonesia dalam membayar pajak. Dalam kewajiban membayar pajak itu kita di perlukan Kejujuran, Tanggung Jawab, Keadilan, dan Kepatuhan. Tanpa adanya landasan etika tersebut dapat menghambat kelancaran Masyarakat Indonesia dalam menyadari kewajibannya dalam membayar pajak. Berdasarkan Berita yang beredar pada bulan Agustus 2025 kemarin yang berisi, Pajak pejabat yang ditanggung oleh negara itu menurutku sebuah Keputusan yang sangat tidak adil.
Tentunya sangat bertentangan dengan pancasila sila ke 5 “Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia” selai bertentangan dengan Pancasila, hal tersebut juga bertentangan dalam etika dalam Pancasila. Sebagai pejabat itu seharusnya tidak membuat peraturan tersebut.
Selain peraturan pejabat yang bebas pajak masih ada jenis Masyarakat yang menghindari pajak dengan cara mengatasnamakan asset pribadi nya menjadi asset milik Perusahaan nya. Cara penghindaran pajak (tax avoidance) dengan hal tersebut itu dapat melanggar UU nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penghindaran pajak seperti itu mempunyai sifat yang sama dengan prilaku koruptif.
Dari gagasan tersebut dapat di rumuskan rumusan masalah yaitu: Peraturan bebas pajak bagi pejabat,Masyarakat yang menghindari pajak dengan cara mengalihkan nama asset. Penghindaran pajak dengan cara tersebut bukan hanya melanggar hukum yang berlaku, tetpi juga mencerminkan etika dan tanggung jawab sosial yang tidak pantas untuk di contoh. Praktik itu dapat menyebabkan rusaknya keadilan fiscal dan menghambat jalannya Pembangunan sosial. Dengan adanya hal itu maka di butuhkan bagaimana cara menyadarkan integritas moral serta harus di tegakkan hukum secara tegas.
SOLUSI
Dengan adanya rumusan masalah tersebut, maka harus ada bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Untuk menyelesaikannya diperlukan Langkah-langkah yang tepat. Agar masalah ini tidak bergantung krada kebijakan hukum, tetpi juga kepada kesadaran Masyarakat untuk memenuhi kewajibannya,. Pemerintah juga harus bekerjasama, dengan cara membuat system yang lebih transparan dan adil. Berikut adalah cara untuk mencegah kebijakan pajak ditanggung oleh negara bagi pemerintah, dan cara mencegah bagi pemilik Perusahaan yang mengalihkan nama asset untuk menghindari wajib pajak:
Perjelas dan perketat ketentuan hukum untuk menutup celah pengalihan assetPemerintah harus membuat ulang aturan yang membedakan asset pribadi dan asset resmi milik perusahaan agar tidak ada lagi celah untuk memanipulasi wajib pajak. Regulasi baru tersebut tentunya harus secara eksplisit mengatur transaksi pihak terkait (related-party transactions) dan pengalihan asset tanpa mempunyai tujuan yang jelas dan wajar. Penafsiran dari UU No.7/2021itu perlu dilengkapi dengan pedoman pelaksanaan yang jelas, agar otoritas pajak dapat menganalisis secara efektif.
Terapkan audit berbasis resiko dan intelejen perpajakan yang lebih kuat:Otoritas pajak harus mengembangkan system analisis untuk menilai profit resiko wajib pajak dan mendeteksi pola penghindaran pajak. Audit berbasis resiko berarti sumber daya (tenaga pemeriksa dan waktu) di khususkan untuk kasus dengan potensi penyimpangan terbesar, bukan berdasarkan pemeriksaan yang acak, tetapi harus semuanya di periksa untuk meminimalisisr penyimpangan pengalihan asset tersebut. Intelejen dibutuhkan agar dapat menelusuri jaringan Perusahaan, transaksi lintas batas, dan transfer asset yang mencurigakan atau di luar batas kewajaran, hal tersebut berfungsi agar dapat mengetahui secara cepat mana yang melakukan penghindaran pajak tersebut. Sistem ini juga perlu direspon dengan tim pemeriksa yang mempunyai keahlian dalam bidang forensic dan teknologi.
Membentuk dan mempublikasikan register pemilik manfaat (benefical ownership):Negara perlu membangun basis data nasional yang memuat informasi tentang pemilik manfaat sesungguhnya dari setiap badan usaha, baik dalam negri maupun luar negri. Ketentuan ini akan menutup peluang penggunaan Perusahaan cangkang untuk menyembunyikan asset pribadi atas nama Perusahaan. Keterbukaan kepemilikan juga akan membantu pemerintah dalam melacak keterkaitan antara pejabat public dan Perusahaan yang mungkin akan menerima fasilitas fiskal.
Digitalisasi, Integrasi data, dan pemanfaatan analytics/AI:Pemerintah seharusnya dapat mempercepat transformasi digital di sektor perpajakan agar data antar instansi dapat terhubung secara otomatis dan aman. Integritas informasi dari registri tanah, Lembaga perbankan, dan catatan kepemilikan kendaraan dapat membantu mendeteksi ketidaksesuaian laporan pajak. Kecerdasan buatan/ AI dapat membantu untuk melacak pola transaksi yang tidak normal secara cepat dan akurat, sehingga dapat membantu tugas tersebut agar menjadi lebih efisien. Langkah itu juga menjadi Langkah untuk mengurangi campur tangan manusia, sehingga dapat mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dalam proses pemeriksaan tersebut.
Meningkatkan Pendidikan pajak, etika public, serta perlindungan pelopor (whistleblower):Program sosialisasi dan edukasi fiskal perlu di sampaikan secara luas melalui media massa, Lembaga Pendidikan, hingga komunitas Masyarakat. Penanaman nilai integritas, tanggung jawab, dan kejujuran dalam Masyarakat akan memperkuat kepatuhan pajak secara sukarela. Bukan hanya itu pemerintah juga seharusnya menyediakan mekanisme pelaporan pelanggaran yang aman, rahasia, serta memberikan perlindungan bagi pelapor. Penerapan sanksi yang tegas serta konsisten juga sangat diperlukan kepada pelaku penghindar pajak, agar pelaku merasa jera, dan tidak menganggap itu hal yang sepele. Hal itu juga berdampak dengan menumbuhkan rasa kepercayaan public terhadap keadilan system fiskal.
KESIMPULAN
Dari gagasan dan opini tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penghindaran pajak yang dilakukan oleh Masyarakat maupun pejabat public itu bertentangan dengan nilai-nilai pancasila terutama ketika dilihat dari sudut pandang pancasila sebagai sistem etika. Dalam Pancasila sila ke 2 yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, Tindakan menghindari pajak menunjukkan kurangnya rasa tanggung jawab, moral, dan keadilan sosial bagi sesame warga negara Indonesia.
Pajak dapat dimasukkan kedalam sikap gotong royong dikarenakan tujuan pajak sendiri Adalah untuk mendukung kesejahteraan rakyat lewat Pembangunan negara. Sehingga menghindari pajak dapat merusak semangat persatuan yang terkandung dalam sila ke 3 yaitu Persatuan Indonesia, dan merusak sila ke 5 yaitu Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan adanya Penerapan nilai pancasila sebagai landasan etika, system perpajakan dapat berjalan lebih adil dan berintegritas. Hal ini dapat membentuk kesadaran bahwa pajak bukan sekedar kewajiban hukum, melainkan tanggung jawab Bersama untuk menciptakan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
