Urgensi Redenominasi dalam Menata Sistem Keuangan Indonesia
Kebijakan | 2025-11-11 18:08:03Redominasi mata uang rupiah kembali menjadi perhatian setelah pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengajukan rencana ini dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029. Kebijakan yang mengupayakan penyederhanaan nilai nominal rupiah tanpa mengurangi daya beli, nilai uang, maupun kekayaan masyarakat itu sendiri memiliki tujuan besar dalam menata ulang sistem keuangan Indonesia agar lebih efisien dan kredibel. Wacana redenominasi sendiri bukan isu baru. Sejak 2010, Bank Indonesia bersama pemerintah telah membahas kemungkinan pemangkasan tiga digit nol dalam nominal rupiah, namun momentum dan kesiapan nasional baru kembali intens dibahas dalam masa pemulihan ekonomi pascapandemi yang membutuhkan efisiensi dan simplifikasi dalam segala bidang, termasuk pencatatan keuangan negara dan sektor swasta.
Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, proses redenominasi akan berlangsung secara bertahap selama kurang lebih lima tahun, dimulai dengan sosialisasi masif di lapisan masyarakat, lalu dilanjutkan dengan penerapan sistem baru di dunia perbankan dan teknologi pembayaran. “Harus dipastikan segala sistem perbankan, pencatatan akuntansi, hingga ke sistem pembayaran digital sudah siap menerima perubahan digit. Tujuannya adalah agar redenominasi benar-benar menciptakan efisiensi, bukan malah menambah kebingungan,” papar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, di Jakarta. Ia juga menyatakan, sejumlah negara telah sukses dalam melakukan langkah serupa seperti Turki dan Rumania, asal dilakukan dengan sosialisasi edukasi publik yang jelas dan konsistensi koordinasi antarpemerintah.
Rencana redenominasi dipandang penting bukan hanya dari aspek teknis, tetapi juga dari perspektif makroekonomi dan geopolitik nasional. Nilai tukar rupiah yang “tampak lemah” karena banyak angka nol kerap dibandingkan dengan mata uang negara lain yang lebih ramping secara visual, meski daya beli tetap berdasar pada fundamental ekonomi. “Redenominasi ini bukan soal pencitraan semata. Tapi dengan rupiah yang lebih sederhana, sistem keuangan, administrasi, pelaporan bisnis, hingga perdagangan internasional jadi jauh lebih efisien,” kata Purbaya dalam wawancara eksklusif bersama CNBC Indonesia.
Ia menegaskan, “Bayangkan untuk laporan keuangan skala nasional, setiap transaksi, pembayaran atau catatan pajak, semuanya lebih mudah dan praktis tanpa harus menuliskan terlalu banyak angka nol. Ini sebuah lompatan efisiensi.” Namun, penerapan redenominasi juga mengundang beragam respon, baik dukungan maupun kekhawatiran. Ekonom senior dari Indef, Didik J. Rachbini, menyatakan bahwa pemerintah harus sangat berhati-hati dalam memilih waktu pelaksanaan redenominasi. Ia berpendapat, “Pengalaman membuktikan, jika tidak dibarengi stabilitas ekonomi dan pengendalian inflasi, redenominasi berpotensi menambah ketidakpastian atau bahkan disalahpahami. Ini tugas besar pemerintah: sosialisasi dan transparansi adalah kunci agar masyarakat benar-benar paham,” katanya dalam diskusi publik di Jakarta beberapa waktu lalu.
Selain tantangan ekonomi, tantangan sosial juga menjadi sorotan utama. Pemerintah harus dapat menargetkan sosialisasi secara massif ke seluruh lapisan masyarakat, baik pelaku usaha, pegawai pemerintah, sektor pendidikan, hingga masyarakat biasa. Purbaya menekankan, “Kami sudah siapkan skenario penggantian uang fisik secara bertahap, infrastruktur pembayaran digital, serta edukasi kepada masyarakat agar tidak terjadi disinformasi dan kepanikan. Kepercayaan masyarakat mutlak dibutuhkan agar program ini berjalan mulus. Semua langkah dilakukan dengan hati-hati, menggunakan prinsip kehati-hatian dan jaminan hukum penuh dari negara.
”Tak bisa dihindari, redenominasi juga membawa tantangan logistik dalam pencetakan ulang uang kertas, penggantian mesin, dan sistem pelaporan digital. Namun, pemerintah optimistis penghematan administrasi dari penyederhanaan digit akan berdampak positif bagi pelaku bisnis dan pemerintah itu sendiri. “Dalam jangka panjang, efisiensi yang dihasilkan bisa menghemat puluhan triliun rupiah biaya administrasi negara. Kita patut belajar dari pengalaman Turki yang berhasil mengecilkan jumlah digit lira, kini lebih diterima dalam transaksi internasional,” ujar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti, dalam konferensi pers Bank Indonesia.
Akhirnya, perjalanan menuju redenominasi masih cukup panjang. Pemerintah bersama Bank Indonesia terus menggodok detil peta jalan, kerangka hukum dan kesiapan teknis, sembari meminta masukan dari berbagai pihak akademisi, pelaku pasar, dan masyarakat luas. Dengan rencana ini, Indonesia diharapkan dapat memiliki sistem moneter yang modern, efisien, dan kredibel, sekaligus membangun optimisme menghadapi tantangan ekonomi regional dan global.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
