Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Quincy Khumaira

Kultur Ospek di Indonesia: Mengasah Mentalitas dan Kreativitas atau Sebatas Ajang Senioritas?

Edukasi | 2025-11-10 23:16:25

Kultur Ospek di Indonesia: Mengasah Mentalitas dan Kreativitas atau Sebatas Ajang Senioritas?

OLEH QUINCY KHUMAIRA HUKMANA, MAHASISWA

Ilustrasi. Sumber: Mojok.co
Ilustrasi. Sumber: Mojok.co

Orientasi Kampus (Ospek) di Indonesia

Kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), kerap dikenal sebagai ospek, merupakan kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru. Esensi utama dari kegiatan ospek adalah ajang untuk mengenalkan lingkungan kampus bagi mahasiswa baru dan memiliki durasi pelaksanaan yang beragam. Umumnya, orientasi resmi dari universitas berlangsung beberapa hari saja. Hanya saja, himpunan mahasiswa atau kakak tingkat sering memperpanjang periode agenda orientasi menjadi lebih lama dengan ospek fakultas dan ospek jurusan.

Substansi kegiatan orientasi yang dilaksanakan di perguruan-perguruan tinggi Indonesia selalu membuahkan banyak tanda tanya setiap tahunnya. Pasalnya, tidak jarang berita terkait kekerasan senior dan tradisi dengan unsur feodalistik menuai kontroversi dari masyarakat terlepas dari tujuan ospek yang semestinya menyambut mahasiswa baru. Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman, kultur yang diterapkan pada kegiatan orientasi kampus di Indonesia mulai menunjukkan progres ke arah yang lebih modern. Pemberian tugas tidak lagi didasari pada perpeloncoan semata, tetapi juga diberikan untuk membangun kebiasaan mahasiswa baru dalam beradaptasi pada irama pembelajaran di kampus. Misalnya, beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia mewajibkan pembuatan akun LinkedIn sebagai prasyarat kelulusan orientasi. Selain itu, banyak tugas yang mengedepankan analisis kritis mahasiswa seperti pembuatan esai atau diskusi berkelompok.

Akan tetapi, dalam pelaksanaan orientasi khususnya ospek jurusan, beberapa hal tradisional yang diwarnai perpeloncoan belum sepenuhnya menghilang. Urgensi sesi evaluasi atau sesi pengondisian yang diisi oleh komisi disiplin sering menjadi perdebatan. Sesi ini biasa dilakukan secara khusus untuk mempertemukan mahasiswa baru dengan komisi disiplin dengan tujuan evaluasi penugasan atau sikap. Pada sesi ini, komisi disiplin mengkritisi kesalahan-kesalahan mahasiswa baru sekaligus meminta pertanggungjawaban. Sesi ini biasa diperkenalkan seolah-olah sebagai ruang penyampaian kritik antara mahasiswa baru dan panitia. Namun, panitia tampaknya selalu menemukan celah untuk menyelipkan unsur senioritas ke dalam forum evaluasi. Dalih yang sering diucapkan oleh para senior ketika mendengar kritik dari mahasiswa baru adalah ‘kami dulu juga seperti ini’ atau ‘ini penting untuk melatih mental kamu nantinya’. Alasan-alasan seperti ini kerap dilontarkan untuk mewajarkan tindak senioritas.

Lebih lanjut, dalam penerapannya, agenda ini kental akan unsur-unsur perpeloncoan yang sering kali mencelakai psikis maupun fisik mahasiswa baru. Mayoritas sesi pengondisian dilakukan dengan melarang dokumentasi dalam bentuk apapun sehingga tidak jarang kekerasan fisik maupun verbal terjadi tanpa terekam. Tidak jarang, para mahasiswa baru dilarang menceritakan apa pun menyangkut hal ini kepada pihak selain panitia.

Fakta di Lapangan Sekarang

Di samping sesi pengondisian yang urgensinya memicu perbincangan publik, kaderisasi menjadi salah satu instrumen pada orientasi mahasiswa baru yang perlu dipertanyakan. Kaderisasi atau pembekalan lanjut bagi mahasiswa untuk menghadapi lingkungan perkuliahan di program studi pilihan mereka. Kegiatan kaderisasi memiliki intensi yang baik, tetapi sayangnya dieksekusi secara salah. Beberapa agenda pada kaderisasi atau ospek jurusan justru membuang waktu mahasiswa terlebih durasi pelaksanaan yang cukup panjang (lebih dari satu bulan). Banyak mahasiswa yang mengalami penurunan nilai akademis bahkan meninggalkan kewajibannya untuk berkuliah hanya untuk mengerjakan tugas kaderisasi. Tugas yang diberikan juga banyak, menyita waktu, dan merenggut hak mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi.

Kaderisasi biasa dilakukan pada program studi teknik. Oleh karena itu, sebagai pendukung, penulis meminta testimoni dari dua orang teman yang berasal dari program studi teknik. Identitas narasumber beserta institusi teknik terkait disamarkan untuk menghindari pencemaran nama baik. Berdasarkan wawancara yang dilakukan secara daring, kedua narasumber bersaksi tentang rigidnya aktivitas dalam kaderisasi. Pada awal kaderisasi dimulai, semua agenda tampak normal dan sesuai dengan tujuan pelaksanaan seperti penyampaian materi terkait program studi dan juga pelatihan kompetensi untuk mahasiswa baru. Tetapi, mulai memasuki sesi pengondisian, makna kaderisasi perlahan bergeser. Sesi yang berlangsung tampaknya tidak lagi sebatas evaluasi secara objektif, tetapi lebih mengarah kepada senioritas. Komisi disiplin cenderung mencari-cari kesalahan yang sebenarnya tidak ada untuk dijadikan sebagai media praktik tindakan senioritas.

Di samping itu, beban penugasan yang dilimpahkan juga mengandung unsur senioritas yang begitu kental. Peserta kaderisasi diminta membuat tiga buku secara mandiri seperti buku besar yang berisi catatan materi, buku diktat untuk penugasan utama, dan pelaksanaan gathering angkatan. Buku diktat sendiri berisi biodata lintas angkatan dan seluruh anggota himpunan mahasiswa. Dari instruksi yang diperintahkan, para mahasiswa baru diminta mencatat 95 biodata (beserta foto bersama dan tanda tangan) milik kakak tingkat dari angkatan 2022–2024 yang tidak tergabung dalam himpunan mahasiswa. Pada penghujung agenda kaderisasi, para mahasiswa baru diminta untuk mengorganisasi gathering angkatan dan mengundangan setidaknya lebih dari 100 kakak tingkat.

Kesan akhir yang diberikan narasumber adalah kaderisasi secara konsep cukup menguntungkan. Tetapi, pada pelaksanaannya cenderung merugikan mahasiswa baru mengingat agenda yang diselenggarakan sering kali tidak memiliki kegunaan yang jelas untuk masa depan. Terlebih lagi, beban penugasan yang disamaratakan terlihat mengabaikan subjektivitas permasalahan atau kendala yang mungkin dialami oleh mahasiswa baru.

Perbandingan dengan Negara Lain

Jika membandingkan dengan realitas di negara lain, kultur orientasi Indonesia jelas tertinggal jauh. Perbedaan paling utama tentu terletak pada pendekatan yang dilakukan. Meski sudah mulai progresif, orientasi Indonesia masih memiliki tradisi feodalistik yang bertujuan untuk mendisiplinkan. Sementara itu, orientasi di luar negeri lebih berfokus pada dukungan emosional dan sosial tanpa memasukkan unsur tekanan kepada mahasiswa baru untuk beradaptasi pada irama dan lingkungan perkuliahan. Universitas di luar negeri memiliki anggapan bahwa mahasiswa baru adalah individu biasa yang seharusnya dituntun untuk beradaptasi, bukan dipaksa secara keras. Selain perbedaan pendekatan, orientasi di luar negeri bersifat fleksibel dan tidak mengekang (tidak ada sistem kelulusan dan pengulangan).

Dapat diambil contoh dari beberapa orientasi di negara lain seperti Amerika Serikat. Harvard dan Stanford mengisi pekan orientasi dengan acara tur kampus, sesi pengenalan akademis, dan pengenalan budaya. Di Inggris, masa orientasi diisi dengan kegiatan pameran klub mahasiswa, malam karaoke, dan city tour secara gratis. Di Australia, khususnya di Melbourne atau Sydney, acara orientasi bernama O-Week diselenggarakan dengan acara yang berfokus pada kolaborasi antar mahasiswa seperti sesi informasi, piknik hingga pameran. Salah satu negara dengan kultur paling dekat yang sistem orientasinya bisa dibandingkan dengan Indonesia adalah Malaysia. Di samping kesamaan rumpun budaya dan status negara sebagai negara berkembang, kegiatan orientasi mahasiswa di Malaysia cenderung berfokus pada pembekalan informasi yang relevan untuk kehidupan akademik dan administratif, seperti aturan kampus, layanan kesehatan, keamanan, hingga urusan visa.

Ragam pendekatan dari berbagai negara ini menunjukkan orientasi di luar negeri lebih edukatif dan fungsional dibandingkan sebagian kegiatan ospek di Indonesia yang masih kerap menonjolkan aspek seremonial atau simbolik. Mulai dari Amerika hingga Malaysia, perbandingannya sama-sama menunjukkan bagaimana sistem pendidikan di luar negeri lebih menekankan kesiapan mahasiswa untuk beradaptasi secara mandiri dan profesional, sementara di Indonesia orientasi mahasiswa baru sering kali masih dijadikan ajang pembentukan identitas kelompok dan tradisi sosial kampus.

Penutup

Pendidikan yang inklusif merupakan salah satu instrumen vital untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 yang tampaknya masih menjadi PR bersama masyarakat Indonesia. Langkah kolaborasi paling kecil yang bisa dicanangkan masyarakat adalah memastikan proses inklusivitasnya tidak terinterupsi. Lewat pembudayaan orientasi kampus yang sehat dan semakin progresif, harapannya arah kemajuan pendidikan bisa semakin jelas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image