Akuntansi Hijau sebagai Kompas Etika Bisnis
Bisnis | 2025-11-09 14:43:53
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat membawa konsekuensi serius bagi lingkungan. Aktivitas industri, transportasi, dan konsumsi energi terus meningkat, mendorong lonjakan emisi gas rumah kaca hingga mencapai 1.661 juta ton CO e pada 2022. Climate Transparency Report mencatat Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar di Asia Tenggara. Di balik geliat ekonomi tersebut, masih tersimpan “biaya tersembunyi” yang tidak tercatat di laporan keuangan, namun harus dibayar mahal oleh bumi.
Di tengah tantangan ini, muncul konsep green accounting atau akuntansi hijau sebagai jembatan antara ekonomi dan ekologi. Konsep ini mendorong perusahaan untuk menghitung tidak hanya laba finansial, tetapi juga biaya lingkungan dari aktivitas operasionalnya mulai dari limbah, konsumsi energi, hingga program penghijauan. “Akuntansi hijau dapat meningkatkan daya saing jangka panjang dan efisiensi operasional perusahaan sekaligus membantu melestarikan lingkungan.” (Setiawati & Sisdianto, 2023). Dengan begitu, laba tidak sekadar angka keuntungan, tetapi cerminan tanggung jawab moral terhadap bumi.
Beberapa perusahaan besar seperti Unilever Indonesia telah mempraktikkan pelaporan keberlanjutan yang memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial secara nyata. Namun, sebagian besar perusahaan lain masih menilai pengeluaran lingkungan sebagai beban, bukan investasi. Akibatnya, laporan keberlanjutan sering dibuat sekadar formalitas. Padahal, “Penerapan akuntansi hijau, kinerja lingkungan, dan profitabilitas terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan manufaktur di Indonesia.” (Fitriyani & Sungkar, 2022).
Pemerintah telah mendorong penerapan ekonomi hijau melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dan Nilai Ekonomi Karbon. Kebijakan ini memberi dasar bagi perusahaan untuk mulai mengukur dan mengendalikan emisi secara terukur. Namun, tanpa komitmen nyata dari pelaku bisnis dan kesadaran masyarakat, regulasi hanya akan menjadi dokumen tanpa arah. Akuntansi hijau seharusnya dipahami bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi strategi bisnis berkelanjutan yang memberi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pada akhirnya, menghitung uang memang penting, tetapi menghitung dampak kita terhadap bumi jauh lebih bermakna. Akuntansi hijau mengingatkan bahwa bisnis sejati tidak hanya mengejar laba, melainkan juga menjaga keberlanjutan kehidupan. Sebab, bumi bukan warisan dari orang tua kita, melainkan titipan yang harus dijaga untuk generasi berikutnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
