Tragedi Robohnya Masjid Al-Khoziny: Antara Takdir dan Kelalaian
Agama | 2025-11-09 13:20:55
Peristiwa robohnya masjid di Pondok Al-Khoziny menjadi perhatian publik karena dianggap terjadi akibat kelalaian pihak pesantren. Kejadian ini berlangsung pada Senin, 29 September 2025, di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, tepatnya pada sore hari menjelang waktu salat Asar sekitar pukul 15.00 WIB. Sebuah bangunan masjid di Pondok Al-Khoziny yang terletak di Kecamatan Buduran tiba-tiba roboh dan menimpa para santri. Peristiwa tersebut menyita perhatian masyarakat luas serta menimbulkan keprihatinan mendalam, terutama bagi keluarga korban.
Bangunan yang seharusnya menjadi tempat nyaman untuk beribadah dan menimba ilmu agama justru berubah menjadi sumber ancaman bagi para santri. Kejadian ini menggambarkan adanya kelemahan serius dalam sistem pembangunan di lingkungan pondok pesantren. Berdasarkan data dari Basarnas, sebanyak 104 orang berhasil selamat, sementara 66 korban dinyatakan meninggal dunia, dan 7 lainnya berupa body part yang juga termasuk dalam kategori korban.
Analisis Masalah
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak pembangunan pesantren dilakukan tanpa pengawasan teknis yang memadai. Proses perizinan sering kali hanya sebatas formalitas, sementara pengawasan terhadap mutu konstruksi jarang dilakukan secara serius. Minimnya keterlibatan tenaga ahli, seperti insinyur bangunan atau pengawas bersertifikat, menyebabkan kualitas struktur bangunan menjadi lemah. Pemerintah daerah pun kerap kurang aktif melakukan inspeksi rutin terhadap bangunan pendidikan nonformal.
Pakar Teknik Sipil Struktur dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Mudji Irmawan, menjelaskan bahwa struktur bangunan yang ambruk di Pondok Pesantren Al-Khoziny dalam kondisi tidak stabil atau labil. Hal ini terjadi karena konstruksi bangunan awalnya direncanakan hanya untuk satu lantai, namun kemudian dibangun menjadi tiga lantai.
“Kalau kita lihat sejarah pembangunan ruang kelas pondok pesantren ini, awalnya merupakan bangunan yang direncanakan cuma satu lantai,” ujar Mudji kepada DetikJatim.
Ia menambahkan, potensi keruntuhan sebenarnya bisa dihindari apabila pembangunan dilakukan dengan melibatkan tenaga ahli teknik sejak awal. Secara teknis, peningkatan bangunan dari satu lantai menjadi tiga lantai bukan hal yang mustahil, asalkan disertai perhitungan struktur yang benar, pendampingan profesional, dan penerapan standar konstruksi yang tepat.
Tanggung Jawab dan Dampak
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khoziny, KHR Abdus Salam Mujib, menyebut peristiwa robohnya bangunan tersebut sebagai takdir Allah. Pernyataan ini memang bernuansa spiritual, namun di sisi lain dapat menimbulkan kesan bahwa tanggung jawab manusia terhadap keselamatan diabaikan. Hal semacam ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pesantren.
Dari sudut pandang hukum, pernyataan “takdir” tidak serta-merta menghapus tanggung jawab. Pasal 1369 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa pemilik bangunan bertanggung jawab atas kerugian akibat kelalaian. Selain itu, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang telah diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja, juga memberikan sanksi pidana bagi pemilik bangunan yang melanggar standar keselamatan. Ketentuan ini sangat relevan dalam kasus Al-Khoziny mengingat adanya korban jiwa.
Penerapan sanksi memang tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan harus melalui proses penyelidikan, kajian ahli, dan pembuktian di pengadilan. Lebih dari itu, peristiwa ini menjadi peringatan bagi para pengasuh pesantren agar mengutamakan keamanan bangunan dan selalu melibatkan tenaga profesional dalam proses pembangunan. Keselamatan santri juga perlu dijaga melalui budaya pemeliharaan serta penerapan prosedur keselamatan yang berkelanjutan di lingkungan pesantren.
Refleksi dan Pelajaran
Tragedi di Al-Khoziny menjadi pengingat penting bahwa absennya profesionalisme dalam pembangunan fasilitas pendidikan dapat menimbulkan bencana besar. Tidak ada yang menolak bahwa setiap kejadian adalah kehendak Tuhan, tetapi manusia tetap memiliki kewajiban untuk berikhtiar menjaga keselamatan. Menganggap tragedi ini semata-mata sebagai takdir tanpa introspeksi berarti mengabaikan tanggung jawab moral dan hukum yang melekat pada setiap pengelola lembaga pendidikan.
Pesantren, sebagai institusi keagamaan dan pendidikan, seharusnya menjadi teladan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dan amanah. Pemerintah daerah pun tidak boleh hanya hadir setelah terjadi musibah. Inspeksi rutin, sertifikasi bangunan, serta pengawasan terhadap proyek-proyek pendidikan nonformal harus menjadi prioritas nyata.
Kesimpulan
Peristiwa robohnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo merupakan bukti lemahnya pengawasan terhadap standar konstruksi bangunan di lembaga pendidikan nonformal. Faktor kelalaian teknis, seperti pembangunan yang tidak direncanakan secara matang dan pelibatan santri dalam proses pembangunan, turut memperbesar risiko kegagalan struktur.
Pernyataan pengasuh yang menyebut kejadian ini sebagai “takdir” tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindari tanggung jawab hukum. Berdasarkan Pasal 1369 KUH Perdata dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pemilik atau pengelola bangunan tetap memiliki kewajiban hukum atas keselamatan pengguna.
Tragedi ini harus menjadi pelajaran bagi seluruh pengelola pondok pesantren agar lebih memperhatikan aspek teknis, regulasi, dan keselamatan dalam setiap proses pembangunan fasilitas. Pelibatan tenaga ahli, penerapan standar bangunan, dan pembentukan budaya keselamatan merupakan langkah strategis untuk mencegah peristiwa serupa di masa mendatang. Penegakan hukum yang tegas serta pembinaan teknis dari pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan layak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
