Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shafina_hana

Gizi Seimbang sebagai Kunci Ketahanan Bangsa

Info Sehat | 2025-11-09 12:57:19
lustrasi umbi-umbian (pexels.com/wendywei)

Gizi sejatinya bukan sekadar tentang “cukup makan”, melainkan tentang makanan yang tepat, aman, bergizi, dan berkelanjutan. Di tengah ambisi Indonesia menuju bangsa kuat dan sejahtera, gizi menjadi elemen kunci, karena tubuh dan otak yang berkualitas terbentuk dari asupan gizi yang baik sejak awal. Oleh karena itu, memperkuat gizi bukan cuma tugas sektor kesehatan saja, melainkan tanggung jawab seluruh bangsa. Di antara capaian penting yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan lewat Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, terungkap bahwa prevalensi stunting nasional menurun menjadi 19,8 % dari angka sebelumnya sekitar 21,5 % (Kemenkes, 2025). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi gizi mulai memberi dampak positif. Namun, angka tersebut masih jauh dari target ideal, misalnya target 14,2 % pada 2029 yang tertuang dalam RPJMN (Kemenkes, 2025).

Di sisi lain, data dari BPS memperlihatkan bahwa masih terdapat provinsi-provinsi dengan angka gizi buruk yang signifikan di antara balita (BPS, 2025). Data provinsi tersebut menunjukkan bahwa kemiskinan, akses pangan, dan ketimpangan geografis turut memengaruhi kualitas gizi. (Laman resmi BPS menyediakan tabel prevalensi gizi buruk balita per provinsi). Selain stunting dan gizi buruk, persoalan gizi berlebih (obesitas) juga mulai muncul, terutama di wilayah perkotaan. Pola konsumsi makanan olahan tinggi gula, lemak jenuh, dan cemilan tidak sehat menjadi pemicu masalah kesehatan baru. Untuk merespon itu, Kemenkes menggalakkan kampanye pola makan sehat yang menjadi bagian dari strategi menekan penyakit tidak menular (PTM) yang tinggi akibat pola konsumsi buruk (Kemenkes, 2024).

Kondisi ini menggambarkan bahwa Indonesia menghadapi beban gizi ganda: kekurangan gizi dan kelebihan gizi sekaligus dan keduanya harus ditangani secara integratif. Meski telah ada berbagai program untuk memperbaiki gizi masyarakat, penerapannya seringkali menemui hambatan nyata. Misalnya, masalah distribusi pangan di daerah terpencil, kendala logistik, sanitasi pangan, dan kurangnya pelatihan bagi petugas gizi di lapangan. Kasus stunting menunjukkan betapa pentingnya intervensi sejak masa hamil, bayi, dan usia dini. Jika intervensi terlambat, peluang pemulihan sangat terbatas. Pemerintah juga menekankan bahwa intervensi gizi harus bersifat “spesifik dan sensitif” artinya tidak hanya lewat suplemen atau makanan tambahan, tetapi juga via perbaikan sanitasi, pendidikan, dan akses pangan keluarga.

Dalam konteks kebijakan, Kemenko PMK baru-baru ini menandatangani kerja sama dengan BPS agar data stunting dapat diintegrasikan lintas sektor dan menjadi dasar kebijakan yang lebih tepat sasaran atau yang dikenal sebagai precision policy (Kemenko PMK, 2025). Dengan data yang lebih akurat dan terpadu, intervensi gizi dapat diarahkan ke lokasi dan kelompok yang paling membutuhkan, bukan bersifat umum dan seragam. Peningkatan gizi sejatinya sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan nomor 2, yaitu Zero Hunger, dan tujuan nomor 3, Good Health and Well-being. Gizi yang baik adalah prasyarat bagi manusia untuk tumbuh sehat, cerdas, dan produktif.

Kemenko PMK dalam laporan koordinasinya menegaskan bahwa ketahanan pangan dan gizi merupakan kunci untuk memperkuat pembangunan manusia, mengurangi kemiskinan, dan mendukung pendidikan berkualitas. Anak-anak yang gizi buruk cenderung memiliki kemampuan belajar rendah dan berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan kronis di masa dewasa (Kemenko PMK, 2025). Dengan demikian, memperkuat sistem pangan berkelanjutan adalah bagian langsung dari upaya menciptakan SDM unggul menuju Indonesia Emas 2045. SDGs menuntut keberlanjutan di tiga aspek: sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam konteks gizi, hal ini berarti menyediakan pangan yang cukup tanpa merusak sumber daya alam. Contohnya, praktik pertanian berkelanjutan yang menekankan diversifikasi tanaman pangan lokal seperti sorgum, umbi-umbian, dan sayuran lokal mampu menyediakan sumber karbohidrat dan serat tinggi tanpa ketergantungan pada impor gandum.

Selain itu, perubahan iklim mulai memengaruhi ketersediaan pangan dan nilai gizi bahan makanan. Kemenkes mencatat bahwa suhu ekstrem dan curah hujan yang tak menentu dapat memengaruhi panen, menyebabkan fluktuasi harga, dan pada akhirnya berdampak pada akses gizi keluarga berpenghasilan rendah (Kemenkes, 2025). Karena itu, ketahanan pangan dan gizi harus dilihat dari perspektif ketahanan iklim (climate-resilient nutrition).

Dampak kekurangan gizi bukan hanya pada individu, tetapi juga ekonomi nasional. BPS mencatat bahwa setiap penurunan 1% angka stunting dapat meningkatkan produktivitas ekonomi sekitar 0,5% dalam jangka panjang (BPS, 2025). Hal ini disebabkan karena anak-anak yang tumbuh dengan gizi baik memiliki kapasitas kognitif dan fisik yang lebih tinggi, yang akan berkontribusi pada tenaga kerja produktif di masa depan. Sebaliknya, kekurangan gizi dapat menyebabkan kerugian ekonomi hingga triliunan rupiah per tahun akibat menurunnya produktivitas dan meningkatnya biaya kesehatan (Kemenko PMK, 2025). Negara-negara yang berhasil menekan stunting hingga di bawah 10% biasanya memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil, karena tenaga kerjanya lebih sehat dan efisien.

Kondisi ini membuktikan bahwa investasi dalam gizi bukanlah beban, melainkan strategi ekonomi cerdas. Setiap rupiah yang diinvestasikan untuk gizi ibu dan anak dapat menghasilkan pengembalian hingga 10 kali lipat dalam jangka panjang. Menangani gizi tidak bisa dilakukan oleh satu kementerian. Kemenkes berperan dalam intervensi medis dan edukasi kesehatan, Kementerian Pertanian dalam penyediaan pangan, Kementerian Pendidikan dalam literasi gizi di sekolah, dan Kemenko PMK sebagai koordinator lintas sektor.

Namun, masyarakat memiliki peran yang tidak kalah penting. Edukasi tentang gizi keluarga harus diperkuat. Kesadaran sederhana seperti membaca label gizi pada kemasan, mengurangi konsumsi gula berlebih, serta membiasakan makan sayur dan buah setiap hari dapat menurunkan risiko penyakit tidak menular secara signifikan. Program Isi Piringku dari Kemenkes menjadi contoh baik edukasi gizi praktis berbasis rumah tangga. Konsep ini menekankan proporsi ideal konsumsi makanan: ½ piring berisi buah dan sayur, ⅓ sumber karbohidrat, dan ⅓ sumber protein hewani dan nabati. Pola ini sejalan dengan pedoman Dietary Guidelines WHO dan menjadi implementasi nyata dari gizi seimbang di tingkat keluarga (Kemenkes, 2025).

Selain edukasi, pemerintah daerah juga perlu berinovasi. Beberapa kota mulai mengembangkan Bank Pangan Komunitas, yang menampung hasil pertanian lokal untuk dibagikan kepada keluarga berisiko gizi buruk. Konsep ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga solidaritas sosial antarwarga. Untuk masa depan, arah kebijakan gizi harus lebih berorientasi pada keberlanjutan. Artinya, memperhatikan rantai pangan dari hulu ke hilir: mulai dari produksi ramah lingkungan, distribusi efisien, hingga konsumsi sadar gizi.

Kemenko PMK menargetkan bahwa pada 2030, Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan penuh di seluruh wilayah, dengan dukungan teknologi pangan lokal dan penguatan SDM gizi (Kemenko PMK, 2025). Data dan inovasi digital akan menjadi tulang punggung untuk memastikan distribusi pangan dan intervensi gizi lebih presisi.

Namun, tanpa dukungan masyarakat dan perubahan pola pikir, semua kebijakan itu akan sulit berhasil. Perubahan harus dimulai dari rumah tangga, dari cara kita memilih, memasak, dan membagi makanan. Gizi bukan sekadar urusan ahli, melainkan budaya baru yang harus ditumbuhkan bersama. Gizi seimbang bukan hanya fondasi tubuh sehat, tetapi juga kunci kemajuan bangsa. Melalui kerja sama lintas sektor, penguatan data, dan partisipasi masyarakat, Indonesia berpeluang besar mencapai generasi bebas stunting, sehat, dan produktif. Upaya ini sejalan dengan komitmen global SDGs dan cita-cita nasional menuju Indonesia Emas 2045. Namun, gizi tidak boleh berhenti menjadi jargon program pemerintah. Ia harus hidup di dapur, di sekolah, di kebun, dan di hati setiap keluarga Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image