Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jonathan Hadi Saputra

Napas Tua yang Bertahan di Kota Pahlawan

Kultura | 2025-11-09 10:10:16
Sumber : Dokumen Pribadi

Di tengah derasnya arus industrialisasi dan pembangunan kota modern, Surabaya menyimpan satu ruang yang masih berpegang pada napas masa lalunya: Kampung Pecinan Tambak Bayan. Berada di jantung Kota Pahlawan, kawasan ini menjadi saksi perjalanan sejarah panjang masyarakat Tionghoa yang telah hidup berdampingan dengan warga Jawa dan Madura sejak sebelum tahun 1930.

Kampung ini bukan sekadar peninggalan sejarah, melainkan ruang kehidupan yang terus beradaptasi. Di antara gang sempit dan rumah-rumah tua, nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal tetap terjaga. Aktivitas keagamaan seperti sembahyang di altar, perayaan Imlek, hingga tradisi sembahyang rebutan menjadi wujud keteguhan masyarakat dalam mempertahankan identitas budaya. Menariknya, sebagian warga keturunan Tionghoa yang kini memeluk agama Islam tetap menjaga tradisi leluhur mereka tanpa mengorbankan keyakinan barunya, sebuah potret toleransi yang langka namun nyata di tengah kemajemukan Kota Surabaya.

Sumber : Dokumen Pribadi

Namun, harmoni tersebut kini menghadapi ancaman. Konflik lahan antara warga Tambak Bayan dan pihak Hotel Vini Vidi Vici (V3) menjadi babak baru dalam perjalanan kawasan ini. Perselisihan tersebut tidak hanya menyangkut aspek hukum kepemilikan tanah, tetapi juga mempertaruhkan eksistensi budaya. Rumah Besar Tambak Bayan, bangunan kolonial peninggalan Belanda yang selama ini menjadi simbol sejarah dan identitas komunitas, terancam hilang bersama nilai-nilai budaya yang menyertainya. Ironisnya, konflik ini melibatkan pihak-pihak dari etnis yang sama, mencerminkan betapa kompleksnya persoalan sosial di balik modernisasi kota.

Alih-alih bersikap pasif, warga memilih melakukan perlawanan secara kreatif melalui seni mural. Salah satu karya yang paling mencolok menggambarkan seekor naga yang menggigit ekornya sendiri, simbol satir tentang perpecahan internal akibat keserakahan dan pembangunan yang abai terhadap nilai budaya. Mural tersebut menjadi bentuk komunikasi visual yang kuat, menggambarkan perlawanan masyarakat terhadap ketimpangan sosial dengan cara damai dan reflektif.

Sumber : Dokumen Pribadi

Selain itu, masyarakat Tambak Bayan juga berupaya menjaga keberlanjutan hidup melalui kegiatan seni dan ekonomi berbasis komunitas. Beragam acara diadakan secara mandiri: warga menjual makanan rumahan, memamerkan damar kurung, hingga mengadakan latihan barongsai di Rumah Besar. Semua aktivitas dilakukan dengan semangat gotong royong tanpa ketergantungan pada bantuan eksternal. Di tengah kota yang lebih sering menilai pembangunan dari tol, pusat perbelanjaan, dan investasi, Tambak Bayan menghadirkan wajah lain dari kemajuan, yakni kemajuan yang berakar pada kebersamaan, solidaritas, dan empati sosial.

Dari Tambak Bayan, kita belajar bahwa modernisasi tanpa pelestarian berarti kehilangan. Pembangunan yang hanya menekankan aspek material akan melupakan esensi kota sebagai ruang hidup manusia yang memiliki sejarah, identitas, dan nilai. Jika warisan seperti Tambak Bayan dibiarkan lenyap, maka sebagian jiwa Surabaya ikut terkikis.

Sumber : Dokumen Pribadi

Oleh karena itu, pemerintah kota, akademisi, dan masyarakat sipil perlu menempatkan pelestarian budaya sebagai bagian integral dari strategi pembangunan berkelanjutan. Perlindungan hukum terhadap situs-situs bersejarah, seperti Rumah Besar Tambak Bayan, harus segera diwujudkan. Lebih dari sekadar regulasi, yang dibutuhkan adalah kesadaran kolektif bahwa menjaga warisan tidak berarti menolak kemajuan, melainkan memastikan kemajuan tersebut tetap berpihak pada manusia dan sejarahnya.

Akhirnya, Tambak Bayan menjadi pengingat bahwa makna kepahlawanan di masa kini tidak selalu identik dengan perjuangan bersenjata. Kepahlawanan juga dapat hadir dalam bentuk keberanian untuk bertahan, melestarikan tradisi, memperkuat solidaritas, dan menolak dilupakan di tengah derasnya perubahan zaman.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image