Saat Rumah Tak Lagi Hangat: Pencarian Cinta Anak di Tengah Disfungsi Keluarga
Parenting | 2025-11-07 20:06:07Ketika Rumah Tak Lagi Jadi Tempat Pulang
Bagi banyak orang, keluarga adalah ruang pertama untuk belajar mencintai dan dicintai. Di sana anak mengenal kasih, rasa aman, dan kehangatan yang membentuk dirinya kelak. Tapi bagaimana jika rumah tak lagi terasa hangat? Ketika meja makan tak lagi jadi tempat berbagi cerita, dan panggilan “pulang” terasa asing di telinga?
Dalam pandangan Émile Durkheim, teori fungsionalisme memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang hanya dapat bertahan apabila setiap bagiannya menjalankan fungsi tertentu demi tercapainya keseimbangan bersama. Keluarga memiliki fungsi penting untuk menjaga keseimbangan sosial: mendidik, menanamkan nilai, memberikan kasih, serta menopang stabilitas emosional anggotanya. Tapi ketika salah satu fungsi itu terganggu misalnya karena konflik, kesibukan, perceraian, atau jarak emosional menjadikan sistem keluarga kehilangan keseimbangannya. Dan di tengah kekosongan itu, anak mulai mencari cinta di luar rumah.

Disfungsi Keluarga: Ketika Peran Tak Lagi Sejalan
Dalam konsep structural-fungsionalisme, setiap anggota keluarga memiliki peran yang seharusnya saling melengkapi. Orang tua seharusnya menjadi sumber kasih dan sayang serta pendukung anak dalam berbagai aspek kehidupan, sementara anak menjadi penerima nilai dan pelajar cinta dari orang tua. Namun realitas kehidupan sosial saat ini sering kali berbeda, banyak sekali anak yang merasa ditinggalkan, ditelantarkan atau biasa disebut broken home.
Kesibukan kerja, konflik dalam keluarga, tekanan ekonomi dan sosial, perubahan nilai di era digiral saat ini membuat fungsi keluarga goyah. Akibatnya, munculah disfungsi dikarenakan keluarga tidak lagi menjalankan peran sebagaimana mestinya.
Disfungsi ini tidak selalu tampak dalam bentuk fisik. Kadang justru tersembunyi di balik foto keluarga yang tampak bahagia di media sosial. Ada keheningan di meja makan, ada tangis yang ditahan di kamar anak, dan ada kelelahan emosional yang tak pernah diungkapkan.
Anak dan Pencarian Cinta yang Hilang
Ketika fungsi kasih dalam keluarga terganggu, anak akan mencari cinta. Hal ini bukan karena haus perhatian semata, tapi karena itu kebutuhan dasar setiap manusia.Mereka bisa mencarinya dari berbagai tempat:
- Teman sebaya, yang memberi rasa diterima tanpa syarat.
- Media sosial, yang memberikan validasi cepat lewat “like” dan komentar.
- Hubungan romantis dini, yang menjadi pelarian dari kesepian emosional.
- Komunitas, yang memberi rasa kebersamaan yang tak ditemukan di rumah.
Dalam banyak kasus, pencarian ini menjadi bentuk perlawanan halus terhadap sistem keluarga yang gagal memenuhi kebutuhan dasar emosionalnya. Anak belajar mencintai di tempat lain karena cinta di rumah tak lagi utuh, namun apakah tempat lain itu selalu baik? Apakah pelajaran tentang mencintai dan dicintai yang anak-anak itu dapatkan benar?
Menemukan Kembali Kehangatan
Lalu, di mana solusi dari semua ini? Keluarga bukan sistem yang harus sempurna, tapi sistem yang harus hadir. Kehangatan tidak selalu datang dari waktu yang lama, tapi dari kualitas kehadiran yang penuh perhatian. Fungsionalisme sosial mungkin berbicara tentang keseimbangan sistem, tapi bagi anak, keseimbangan itu berarti satu hal sederhana: dilihat, didengar, dan dicintai.
Penutup
Ketika rumah tak lagi hangat, anak akan mencari cinta di tempat lain. Tapi di balik pencarian itu, ada pesan yang ingin disampaikan: bahwa cinta, bagi anak, bukan kemewahan melainkan kebutuhan dasar yang menopang keberlangsungan jiwanya.Dan mungkin, tugas kita bukan sekadar memahami teori fungsionalisme, tapi menyalakan kembali api kecil kehangatan di dalam rumah, tempat di mana cinta seharusnya pertama kali tumbuh.
Peter Viadiawan, Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
