Pergerakan Nasional
Sejarah | 2025-11-06 20:23:08A. Pelopor Pergerakan
1. Budi Utomo
Dengan semboyan hendak meningkatkan martabat rakyat, Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter Jawa di Yogyakarta dan termasuk golongan priyayi rendahan, dalam tahun 1906 dan 1907 mulai mengadakan kampanye di kalangan priyayi di Pulau Jawa. Walaupun kampanye tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, hasilnya tetap ada, seperti di daerah Jawa Tengah sendiri sejak itu terbuka kemungkinan adanya kerja sama di antara pejabat pribumi. Peningkatan ini akan dilaksanakan dengan membentuk "Dana Belajar". Dalam perjalanan kampanye itu pada akhir tahun 1907, dr. Wahidin bertemu dengan Sutomo, pelajar STOVIA, di Jakarta. Pertemuan yang memperbincangkan nasib rakyat itu ternyata berpengaruh besar pada diri pemuda Sutomo. Cita-cita untuk meningkat-kan kedudukan dan martabat rakyat itu sebenarnya juga sudah ada pada para pelajar-pelajar STOVIA, karena itu kampanye dr. Wahidin makin men-dorong dan memperbesar cita-cita tersebut. Sutomo kemudian membicara-kan maksud kampanye dr. Wahidin dengan teman-temannya di STOVIA. Hasil pembicaraan memperlihatkan bahwa cita-cita dr. Wahidin setelah diolah mengalami perubahan. Tujuan semula mendirikan suatu "Dana Belajar" diperluas jangkauannya. Begitulah pada hari Rabu tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta pelajar-pelajar tersebut di gedung STOVIA mendirikan organisasi yang diberi nama Budi Utomo, dan Sutomo ditunjuk sebagai ketua.
Dari bulan Mei sampai awal Oktober 1908, Budi Utomo yang baru muncul itu merupakan organisasi pelajar dengan para pelajar STOVIA sebagai intinya. Tujuannya merumuskan secara samar-samar yaitu: "kemajuan bagi Hindia", di mana jangkauan geraknya terbatas pada penduduk Pulau Jawa dan Pulau Madura dan baru kemudian meluas untuk penduduk Hindia Belanda seluruhnya dengan tidak memerhatikan perbedaan keturunan, jenis kelamin, dan agama. Sampai menjelang kongres pertama terdapat 8 cabang.Budi Utomo yaitu di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogya I, Yogya II, Magelang, Surabaya, dan Probolinggo.
Setelah cita-cita Budi Utomo mendapat dukungan makin meluas di kalangan cendekiawan Jawa, pelajar itu menyingkir dari barisan depan. Sebagian karena keinginannya agar generasi yang lebih tua memegang peran bagi gerakan itu. Ketika kongres Budi Utomo dibuka di Yogyakarta, pimpinan beralih kepada generasi yang lebih tua, yang terutama terdiri dari priyayi-priyayi rendahan.
Tanpa pengalaman sedikitpun dalam hidup keorganisasian, Budi Utomo merupakan wadah dari unsur-unsur radikal dan bercorak politik, seperti pada diri dr. Tjipto Mangunkusumo, dan unsur yang kurang memerhatikan keduniawian yang cenderung bersifat filsafat, seperti pada diri dr. Radjiman Wedyodiningrat. Ketuanya Tirtokusumo, sebagai seorang bupati lebih banyak memerhatikan reaksi dari pemerintah kolonial daripada memerhatikan reaksi dari penduduk pribumi.
Setelah perdebatan yang panjang tentang corak Budi Utomo, Pengurus Besar memutuskan untuk membatasi jangkauan geraknya kepada penduduk Jawa dan Madura dan tidak akan melibatkan diri dalam kegiatan politik. Bidang kegiatan yang dipilihnya oleh karena itu ialah bidang pendidikan dan budaya. Karena kebanyakan pendukungnya ialah golongan priyayi rendahan, dapat dipahami mengapa Budi Utomo menganggap perlu meluaskan pendidikan Barat. Pengetahuan bahasa Belanda mendapat prioritas pertama karena tanpa bahasa itu seseorang tidak dapat mengharapkan kedudukan yang layak dalam jenjang kepegawaian kolonial. Dengan demikian, Budi Utomo cenderung untuk memajukan pendidikan bagi golongan priyayi daripada bagi penduduk pribumi pada umumnya. Slogan Budi Utomo berubah dari "perjuangan untuk mempertahankan penghidupan" menjadi "kemajuan secara serasi". Hal itu menunjukkan pengaruh golongan tua yang moderat dan golongan priyayi yang lebih mengutamakan jabatannya. Dengan demikian, sikap "proto-nasionalistis" dari para pemimpin pelajar yang kentara pada awal berdirinya Budi Utomo, kini terdesak ke belakang.
Setelah dua pemimpinnya yang berbeda pendapat dengan anggota Pengurus Besar, yaitu Tjipto Mangunkusumo dan Surjodiputro, berhenti dari badan pengurus sebelum kongres yang kedua, Pengurus Besar Budi Utomo menjadi lebih seragam. Setelah persetujuan yang diberikan pemerintah kepada Boedi etomo sebagai badan hukum, diharapkan organisasi itu akan melancarkan aktivitas secara luas. Akan tetapi, segera. Budi Utomo menjadi lamban, yang sebagian disebabkan kesulitan keuangan.
Lain daripada itu, para bupati telah mendirikan organisasi sendiri, para pemuda STOVIA dan anggota muda lainnya berhenti sebagai anggotanya karena kecewa terhadap jalan yang telah ditempuh Budi Utomo. Namun, pada akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai cabang di 40 tempat dengan jumlah anggota lebih kurang 10.000 orang.
Perkembangan selanjutnya merupakan periode yang paling lamban bagi Budi Utomo. Aktivitasnya hanya terbatas pada penerbitan majalah bulanan Goeroe Desa dan beberapa petisi, yang dibuatnya kepada pemerintah berhubung dengan usaha meninggikan mutu sekolah menengah pertama. Tatkala kepemimpinan pengurus pusat makin lemah, cabang-cabang melakukan aktivitas sendiri yang tidak banyak hasilnya. Pemerintah yang mengawasi perkembangan Budi Utomo sejak berdirinya dengan penuh perhatian dan harapan, akhirnya menarik simpulan, bahwa pengaruh Budi Utomo terhadap penduduk pribumi tidak begitu besar. Beberapa bagian pemerintahan tampaknya merasa puas karena ketidakmampuan Budi Utomo itu, tetapi G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah untuk urusan pribumi, merasa kecewa karena kelambanan organisasi itu.
Tirtokusumo berhenti pada tahun 1912 dan ketua Budi Utomo yang baru, Pangeran Noto Dirodjo berusaha dengan penuh tenaga mengejar ketinggalan. Dengan ketua yang baru itu, perkembangan Budi Utomo tidak pesat lagi. Hasil-hasil yang pertama dicapainya oleh ketua berketurunan Paku Alam itu ialah perbaikan pengajaran di daerah kesultanan/kesunanan. Budi Utomo mendirikan organisasi dana belajar Darmoworo. Akan tetapi, hasilnya tidaklah begitu besar. Sukses-sukses yang kecil itu makin tidak berarti dan berada di bawah bayangan munculnya organisasi nasional lainnya, terutama:
1. Sarekat Islam, yang didirikan pada tahun 1911, berasaskan dasar hubungan spiritual agama dan kepentingan perdagangan yang sama, berkembang menjadi gerakan rakyat yang pertama dan sebenarnya di Indonesia.
2. Indische Partij, yang berdiri pada masa yang bersamaan mempropaganda-kan "Nasionalisme Hindia" dan bergerak dalam bidang politik.
Kedua partai tersebut menarik unsur-unsur yang tidak puas dari luar Budi Utomo. Sungguhpun prinsip-prinsip utama tentang netralisasi agama dan aktivitas non-politik Budi Utomo membedakan dirinya dengan. organisasi-organisasi lain, ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa selama prinsip-prinsip itu dipertahankan dengan sifat yang pasif tidaklah dapat diharapkan pengaruhnya akan makin meluas.
Mulai pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, kelihatan ada usaha untuk mengembalikan kekuatan yang ada pada Budi Utomo. Berdasarkan akan adanya kemungkinan intervensi kekuasaan asing lain, Budi Utomo melancarkan isu pentingnya pertahanan sendiri, dan yang pertama menyokong alasan wajib militer pribumi. Diskusi yang terjadi berturut-turut dalam pertemuan-pertemuan setempat sebaliknya menggeser perhatian rakyat dari soal wajib militer ke arah soal perwakilan rakyat. Dikirimkannya sebuah misi ke negeri Belanda oleh Kote "Indie Weerbaar" untuk pertahanan Hindia dalam tahun 1916-1917 merupakan pertanda masa yang amat berhasil bagi Budi Utomo. Dwidjosewoyo sebagai wakil Budi Utomo dalam misi tersebut berhasil mengadakan pendekatan dengan pemimpin-pemimpin Belanda terkemuka. Keterangan Menteri Urusan Daerah Jajahan tentang pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat), yang waktu itu sedang dibicarakan di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Belanda, di mana ia menekankan badan itu akan dijadikan Dewan Perwakilan Rakyat nanti amat menggembirakan anggota misi maupun Budi Utomo. Undang-undang wajib militer gagal, sebaliknya undang-undang pembentukan Volksraad disahkan pada bulan Desember 1916. Budi Utomo segera membentuk sebuah Komite Nasional untuk menghadapi pemilihan anggota Volksraad, tetapi komite itu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya dan akhirnya bubar.
Aktivitas-aktivitas itu memberi kesan kepada kaum etika di kalangan pemerintahan kolonial bahwa Budi Utomo adalah satu-satunya organisasi yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Sebagai hasilnya partai kaum etika bekerja sama dengan Budi Utomo dalam kampanye pemilihan sehingga Budi Utomo dapat menduduki jumlah kursi yang nomor dua besarnya di antara anggota pribumi di dalam Volksraad.
Di dalam sidang Volksraad wakil-wakil Budi Utomo masih tetap berhati-hati dalam melancarkan kritik terhadap kebijakan politik pemerintah. Sebaliknya, para anggota pribumi yang lebih radikal dan juga anggota sosialis Belanda di dalam Volksraad melakukan kritik terhadap pemerintah. Dengan memakai kesempatan adanya krisis bulan November 1918 di negeri Belanda, mereka menuntut perubahan bagi Volksraad dan kebijakan politik negeri Belanda umumnya sampai akhirnya dibentuk sebuah komisi pada tahun. 1919.
Konsesi yang diberikan oleh Gubernur Jenderal dalam masa itu dan makin pentingnya gerakan politik di kalangan massa menyebabkan Budi Utomo pada akhirnya berkesimpulan bahwa ia juga harus mencari dukungan massa. Akibatnya, unsur yang lebih radikal di dalam Budi Utomo mendapat pengaruh yang lebih besar. Akan tetapi, segera setelah itu, kebijakan politik yang lebih keras dijalankan oleh Gubernur Jenderal yang baru, Mr. D. Fock. Juga anggaran bagi pendidikan dikurangi dengan drastis. Sebagai akibatnya
terjadi perpecahan antara golongan moderat dan radikal di dalam Budi Utomo, yang baru kemudian berakhir sewaktu diadakannya fusi ke dalam Parindra (Partai Indonesia Raya) pada tahun 1935. Kita lihat umpamanya dr. Sutomo sendiri karena merasa tidak puas lalu mendirikan Indonesische Studieclub pada tahun 1924 di Surabaya, yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Bangsa Indonesia. Sebab utama didirikannya Indonesische Studieclub ialah karena dr. Sutomo dan juga pemimpin nasionalis lainnya menganggap asas "Kebangsaan Jawa" dari Budi Utomo sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rasa kebangsaan waktu itu. Budi Utomo baru terbuka bagi penduduk seluruh Indonesia sesudah kongres pada bulan Desember tahun 1930.
Jelas kelihatan bahwa bila ditinjau masa sepuluh tahun pertama perkembangan Budi Utomo, adanya sikap yang lunak di kalangan priyayi dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi di Indonesia pada awal abad ke-20. Pada tingkat pertama secara samar-samar Budi Utomo mengemukakan keinginan golongan yang telah berpendidikan tentang kemajuan nasional dan budaya. Kemudian perhatian dipusatkan kepada pendidikan secara Barat yang dianggap satu-satunya jalan untuk mencapai promosi bagi golongan priyayi rendahan di dalam jenjang kepegawaian kolonial. Keinginan untuk pendidikan yang lebih tinggi sejajar dengan munculnya golongan menengah pribumi dan usaha-usaha ke arah. kemakmuran ekonomi. Usah-usaha memajukan kesejahteraan sosial di kalangan pribumi makin luas dijalankan di daerah-daerah dan usaha-usaha di bidang ekonomi mulai berubah menjadi berpolitik. Bahaya yang mengancam karena perang membangunkan para pemimpin Budi Utomo tentang pentingnya pertahanan bagi negaranya sendiri. Akan tetapi, kewajiban untuk mempertahankan negeri di bawah pemerintah Belanda mau tidak mau menimbulkan gagasan untuk menuntut hak perwakilan yang layak bagi rakyat. Langkah-langkah tersebut menyadarkan golongan priyayi tentang adanya cara-cara yang berbeda di dalam mendapatkan kebutuhan sosial, pada mulanya melalui pendidikan dan akhirnya dengan berpolitik.Perubahan itu sendiri mungkin sekali disebabkan tidak adanya program politik yang nyata, tidak adanya pemimpin tunggal yang berwibawa seperti partai-partai lain, dan tidak adanya dana. Selain itu, para anggota Budi Utomo
mengetahui bahwa mereka mempunyai harapan baik bagi masa depannya karena itu tidak berani menanggung risiko. Tidak dapat dipungkiri bahwa Budi Utomo sebagai organisasi golongan, mencerminkan kemampuannya yang luar biasa untuk melindungi dirinya. Seperti pernah dikatakan oleh Dwidjosewojo sebagai jawaban kepada dr. Tjipto Mangunkusumo. "Bertindak tenang dan lunak merupakan sifat Budi Utomo". Karakteristik semacam itu memang sudah merupakan naluri yang dalam berakar di dalam budaya Jawa.
Karena Budi Utomo tidak pernah mendapat dukungan massa, kedudukannya secara politik kurang begitu penting. Namun, suatu hal yang penting dari Budi Utomo adalah bahwa di dalam tubuhnya telah ada benih semangat nasional yang pertama dan karena itu ia dapat dipandang sebagai induk pergerakan nasional, yang kemudian muncul di dalam tubuh Sarekat Islam dan Indische Partij.
Budi Utomo (BU) pada akhir tahun-tahun 1920-an berubah dari organisasi etnis Jawa menjadi organisasi Indonesia. Kongres BU di Yogyakarta tanggal 31 Desember 1927-1 Januari 1928 memutuskan bahwa organisasi tersebut masuk menjadi anggota badan federasi Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Badan federasi tersebut dibentuk pada akhir tahun 1927 atas inisiatif Ir. Sukarno. Dalam kongres bulan April 1928 di Solo, Pasal 2 Anggaran Dasar (AD)-nya ada tambahan kata-kata yang berbunyi: "dan menuju pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia". Walaupun demikian, baru dalam kongres di Solo tahun 1930 organisasi tersebut menerima sebagai anggota orang Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan golongan-golongan bangsa lain yang mempunyai persamaan kebudayaan."
Kongres BU pada tahun 1931 di Jakarta membicarakan tentang kemer-dekaan. Dalam AD-nya ada perubahan lagi, yaitu BU menjadi organisasi nasional Indonesia, terbuka bagi semua golongan bangsa Indonesia. Ejaan namanya diubah dari Budi Utomo menjadi Budi Utama. Oleh karena besarnya pengaruh aliran persatuan Indonesia di dalam BU, pada kongres tersebut dibicarakan rencana fusi (peleburan) BU dengan organisasi-organisasi lain yang berdasarkan kooperasi. Dalam kongres tahun 1932 usul fusi diterima. Organisasi fusi yang akan dibentuk terdiri dari organisasi-organisasi yang anggotanya hanya bangsa Indonesia. Organisasi baru itu direncanakan menganut politik perjuangan kooperasi, akan tetapi terhadap sesuatu hal kadang-kadang diambil sikap nonkooperasi. Penyelesaian rencana tersebut untuk selanjutnya diserahkan kepada suatu komisi (Komisi Tiga) yang terdiri dari Wongsonegoro, Supomo, dan Abdul Rakhman. Dalam konferensi di Solo pada akhir tahun 1932, Pasal 2 AD-nya yang berbunyi "BU menghendaki perkembangan nusa dan bangsa Indonesia yang harmonis" diganti menjadi "BU bertujuan Indonesia berdaulat, Indonesia Merdeka".
Pada bulan Juni 1933 dalam kongres di Solo BU memutuskan untuk mempercepat fusi dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di tahun-tahun 1934 dan 1935 rencana fusi mengambil tempat yang penting dalam aktivitas kedua organisasi itu. PBI dalam rapat tahunan di Surabaya bulan April 1935 memutuskan untuk berfusi dengan BU. Diputuskan bahwa rapat besar. untuk melaksanakan fusi direncanakan pada bulan Desember 1935.
PBI berasal dari Indonesische Studieclub (Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya yang didirikan dan dipimpin oleh dr. Sutomo pada tahun 1924. Kelompok Studi tersebut yang terdiri atas kaum intelektual didikan Barat direorganisasi menjadi PBI pada tanggal 16 Oktober 1930. Tujuan organisasi dirumuskan yaitu mencapai kebahagiaan yang sempurna bagi tanah air dan rakyat Indonesia atas dasar nasionalisme Indonesia. PBI yang terutama bekerja di Jawa Timur lemah di bidang politik, tetapi kuat di bidang sosial dan ekonomi. Tentang politik perjuangan kooperasi atau nonkooperasi tidak perlu ada keputusan yang prinsipil. Lembaga-lembaga penting yang didirikan oleh Kelompok Studi kemudian diteruskan oleh PBI antara lain sebuah asrama perempuan, sebuah poliklinik untuk orang-orang Indonesia, dua buah asrama mahasiswa, beberapa bank desa, koperasi-koperasi kredit, dan koperasi-koperasi konsumsi. Di bidang pengajaran didirikan Perguruan Rakyat PBI. Di Surabaya dibangun Gedung Nasional Indonesia (GNI) dan tahun 1929 didirikan Bank Nasional Indonesia."
Sesuai dengan rencana, pada tanggal 24-26 Desember 1935 BU dan. PBI menyelenggarakan kongres di Solo. Dalam acara tersebut kedua organisasi tersebut berfusi dan lahir organisasi baru bernama Partai Indonesia Raya (Parindra). Sutomo yang terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar mengatakan bahwa Parindra adalah partai nasional yang bertujuan memperbaik
kehidupan berbagai golongan penduduk. Menurutnya, untuk kepentingan umum yang harus diperhatikan adalah pengajaran. Parindra harus mengerah-kan tenaga bagi kaum tani dan agar mereka ditempatkan di tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai Indonesia merdeka.
Menurut AD-nya tujuan Parindra ialah "Indonesia yang besar dan luhur". Untuk mencapai tujuan itu disebutkan: memperkuat semangat nasionalisme Indonesia; menjalankan aksi politik sampai tercapainya suatu sistem pemerintahan yang berdasarkan demokrasi dan nasionalisme; meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial rakyat. Pada waktu rapat fusi itu, ikut melebur juga organisasi Sarekat Sumatra dan Tirtayasa (organisasi orang-orang Banten). Tahun berikutnya menyusul berfusi Partai Sarekat Selebes (Parsas) sesudah pecah di dalamnya, sedangkan Timors Verbond menyatakan akan bekerja sama dengan Parindra. Selanjutnya, beberapa pemimpin terkenal bergabung ke partai baru itu, antara lain Mohammad Husni Thamrin (pemimpin organisasi Kaum Betawi) dan pemimpin-pemimpin dari Partai Indonesia (Partindo) yaitu Mr. Sunaryo dan Mr. Iskaq Cokroadisuryo. Partai baru itu mulai bergerak dengan 53 cabang dan anggota sebanyak 2.425 orang.
Parindra di bawah pimpinan kaum intelek berusaha memperbaiki keadaan rakyat Indonesia di semua lapisan untuk akhirnya mencapai Indonesia merdeka. Organisasi baru itu melanjutkan pekerjaan PBI. Pada bulan Maret 1936 di Bogor didirikan Perserikatan Pasar dan bulan Maret tahun berikutnya di Bandung didirikan sebuah poliklinik umum. 15
Kongres pertama Parindra diselenggarakan di Jakarta pada bulan Mei 1937. Kongres yang lebih banyak dihadiri oleh kaum intelektual daripada rakyat kecil mengambil putusan penting yaitu kepada orang-orang Indo akan diberi hak tanah setelah kedudukan mereka itu sama dengan orang bumiputra. Di bidang politik keputusan yang penting dan aktual adalah sikap terhadap dewan-dewan perwakilan. Ketika kongres fusi berlangsung, Parindra belum mengambil sikap kooperasi atau nonkooperasi. Akan tetapi, dalam kongres pertama organisasi itu memilih sikap kooperasi. Menurut Susanto Tirtoprojo bahwa duduk di dewan-dewan bukan asas, melainkan. sebagai cara untuk mencapai tujuan. Aktivitas Parindra pertama-tama di bidang sosial dan ekonomi, sedangkan aktivitas di bidang politik sebagai pelengkap. Parindra berusaha mencapai "Indonesia Mulia" sebagai tujuan akhir.
Dalam kongres Parindra kedua di Bandung bulan Desember 1938 antara lain diputuskan bahwa Parindra belum menerima orang-orang Indo sebagai anggota. Namun, jika tidak bertentangan dengan asas dan AD-nya, organisasi ini bersedia untuk bekerja sama. Kongres memilih K.R.M.H. Wuryaningrat sebagai ketua Pengurus Besar untuk menggantikan dr. Sutomo yang meninggal dunia tanggal 30 Mei 1938.
Parindra mempunyai organisasi sampingan antara lain Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin) yang didirikan oleh PBI tahun 1935 dan Rukun Tani (RT). Rupelin merupakan perkumpulan koperasi kaum nelayan, sedangkan RT merupakan koperasi dari serikat-serikat tani yang bekerja di tengah-tengah masyarakat perdesaan. Pada tahun 1938 Parindra mendirikan NV bernama Handelsmaatschappij Pertanian Bumi Putera di Yogyakarta. Tujuan badan tersebut adalah membentuk suatu perseroan (vennootschap) untuk perdagangan produksi pertanian, pembentukan lembaga-lembaga pertanian dan industri (misalnya pabrik-pabrik penggilingan beras) dan ikut serta dalam berbagai perusahaan pertanian dan industri." Pada akhir bulan Juli 1938 RT mengadakan konferensi di Lumajang, Jawa Timur. Dalam konferensi itu Gubernur Jawa Timur van der Plas hadir dan ikut berbicara. la menyatakan simpatinya pada usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyat dan mengharapkan agar organisasi itu bersih dari unsur politik."
2. Sarekat Islam
Tiga tahun setelah berdirinya Budi Utomo, pada tahun 1911 bagaikan sesuatu yang kebetulan, didirikan perkumpulan Sarekat Islam (SI) di Solo. Latar belakang ekonomis perkumpulan ini ialah perlawanan terhadap pedagang antara (penyalur) oleh orang Cina. Sungguhpun demikian, kejadian itu merupakan isyarat bagi orang muslim, bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukkan kekuatannya. Para pendiri Sarekat Islam mendirikan organisasinya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Cina, tetapi untuk membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumiputra. la merupakan reaksi terhadap rencana krestenings-politiek (politik pengkristenan) dari kaum zending, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan-penindasan dari pihak ambtenar-ambtenar bumiputra dan Eropa. Pokok utama perlawanan Sarekat Islam ditujukan terhadap setiap bentuk penindasan dan kesombongan rasial. Berbeda dengan Budi Utomo yang merupakan organisasi dari ambtenar-ambtenar pemerintah, maka Sarekat Islam berhasil sampai pada lapisan bawah masyarakat, yaitu lapisan yang sejak berabad-abad hampir tidak mengalami perubahan dan paling banyak menderita.
memberi bantuan kepada anggota-anggota yang menderita kesukaran; memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya derajat bumiputra; menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama Islam, maka SI terang tidak berisikan politik. Akan tetapi, dari seluruh aksi perkumpulan itu dapat dilihat bahwa SI tidak lain melaksanakan suatu tujuan ketatanegaraan. Selalu diperjuangkan dengan gigih keadilan dan kebenaran terhadap penindasan dan lain-lain keburukan bagi pihak pemerintah, aksi yang disertai oleh wartawan-wartawan Indonesia yang berani. Tanpa diragukan, periode SI itu dicanangkan oleh suatu kebangunan revolusioner dalam arti tindakan yang gagah berani melawan stelsel-terjajah-penjajah.
Pemerintah Hindia Belanda menghadapi situasi yang demikian hidup dan mengandung unsur-unsur revolusioner, menempuh jalan hati-hati dan mengirimkan salah seorang penasihatnya kepada organisasi tersebut. Gubernur Jenderal Idenburg meminta nasihat-nasihat dari para residen untuk menetapkan kebijakan politiknya. Hasilnya ialah untuk sementara SI tidak boleh berupa organisasi yang mempunyai pengurus besar dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal.
Suwardi Suryaningrat mencatat pada tahun 1917 bahwa berhubung dengan jalan diplomatis yang ditempuh oleh pemerintah itu, lambat laun unsur memberontak menjadi berkurang, bahkan di sana-sini telah berubah menjadi mentalitas semangat Belanda. Penulis lain (D.M.G. Koch) mengemukakan adanya aliran di dalam tubuh SI, yaitu yang bersifat Islam fanatik, yang bersifat menentang keras, dan golongan yang hendak berusaha mencari kemajuan secara berangsur-angsur dengan bantuan pemerintah. Akan tetapi, apabila cita-cita yang tidak adil tidak sah terhadap rakyat Indo-nesia begitu jelas, kerohanian SI tetap demokratis dan militan (sangat siap untuk berjuang). Memang beberapa aspek perjuangan terkumpul menjadi satu di dalam tubuh SI sehingga ada yang menamakan bahwa SI merupakan "gerakan nasionalistis-demokratis-ekonomis".
Berbeda dengan partai lainnya, kecepatan tumbuhnya SI bagaikan meteor dan meluas secara horizontal, sehingga Sl merupakan organisasi massa yang pertama di Indonesia, yang antara tahun 1917-1920 sangat terasa. pengaruhnya dalam politik Indonesia. Corak demokratis dan kesiapan untuk berjuang yang mendekatkan beberapa cabang SI dan para pemimpinnya kepada ajaran Marxis. Terutama SI di bawah Semaun dan Darsono, merupakan pelopor yang menggunakan senjata dalam perjuangan melawan imperialisme, ialah teori perjuangan Marx.
Sudah barang tentu hal itu menimbulkan krisis, dan pertentangan timbul antara pendukung paham Islam dan paham Marx. Debat yang seru terjadi antara H. Agus Salim-Abdul Muis di satu pihak dengan Semaun-Tan Malaka di lain pihak, tatkala tahun 1921 golongan kiri dalam tubuh SI dapat disingkirkan, yang kemudian menamakan dirinya Sarekat Rakyat (SR). SI dan SR berusaha untuk mendapatkan sokongan massa dan dalam hal ini keduanya cukup berhasil. Keadaan di dalam tubuh SI demikian yang menyebabkan pemimpin SI, H.O.S Tjokroaminoto, mengadakan studi banding ajaran Islam dan Marxisme. Bukunya terbit pada tahun 1924 berjudul Islam dan Sosialisme.
Tahun 1927 merupakan tahun terakhir dari masa transisi PSI untuk men-ciptakan struktur partai yang kuat." Pada tahun 1928 dan 1929 pemimpin-pemimpin PSI merasa khawatir atas dominasi Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam gelanggang politik. Usaha PSI untuk mengorganisasikan kembali itu ternyata tidak mampu mencegah kemundurannya yang berjalan terus secara pelan-pelan.
PSI sebagai anggota badan federasi PPPKI, lambat laun merasa tidak senang terhadap badan federatif itu. Dalam kongres PPPKI di Solo pada akhir bulan Desember 1929 Mohammad Husni Thamrin menyatakan sangat keberatan terhadap sikap PSI cabang Batavia yang menolak ikut serta dalam rapat-rapat protes PPPKI terhadap poenale sanctie yang dilaksanakan bulan September 1929. Menanggapi kritik itu PSI mengancam akan keluar dari PPPKI. Kemudian, salah satu keputusan kongres PSI tahun 1930 adalah mengubah nama partai menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perubahan itu dilakukan untuk menunjukkan, seperti juga partai-partai lainnya, sama berbaktinya kepada pembentukan Negara Kesatuan Indonesia."
Pada bulan Juli dan Agustus 1930 hubungan PSII dengan golongan nasionalis nonagama memburuk akibat serangkaian tulisan di surat kabar Soeara Oemoem. Karangan yang dimuat oleh banyak anggota ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap keyakinan mereka. Adanya hal tersebut, pada tanggal 28 Desember 1929 (tidak menunggu kongres) partai mengumumkan keluar dari PPPKI. Alasan yang dikemukakan adalah karena Pasal 1 Anggaran Dasar PPPKI berlawanan dengan Anggaran Dasar PSII yang memperboleh-kan keanggotaan bagi semua orang Islam apa pun kebangsaannya
melainkan karena dr. Sutomo sudah. terlampau banyak melukai perasaan pimpinan PSII. PSII kemudian men-jalin hubungan yang lebih erat dengan organisasi-organisasi Islam lainnya.
PSII di tahun 1930 di bidang politik sudah kehilangan pengaruhnya, karena putus hubungan atau keluarnya unsur yang radikal; di bidang sosial-ekonomi dan agama PSII mendapat saingan dari Indonesische Studieclub yang kemudian menjadi PBI dan di bidang agama mendapat saingan dari Muhammadiyah serta mendapat tentangan dari NU; Ir. Soekarno dengan pidato-pidatonya dapat memengaruhi rakyat banyak dibandingkan Cokroaminoto dan H. Agus Salim.
Kongres PSII ke-17 (24-27 Januari 1930) memutuskan mengadakan pembaruan organisasi. Pada tingkat pusat partai dipimpin oleh dua badan pengurus yaitu Dewan Partai atau Majelis Tahkim PSII yang dibentuk oleh kongres dan satu badan eksekutif Lajnah Tanfidziyah PSII yang bertanggung jawab kepada Dewan Partai dalam masa antara dua kongres. Pembagian itu diadakan karena berkurangnya kesehatan kedua pemimpin Cokroaminoto dan H. Agus Salim yang waktu itu dianggap tidak dapat digantikan oleh siapa pun juga dalam partai. Badan eksekutif itu sebagai Pengurus Harian terdiri dari pemimpin-pemimpin departemen-departemen yang juga duduk di badan legislatif bersama utusan dari cabang-cabang. Dewan Partai, tugasnya mengawasi jalannya asas partai secara tepat dan menyelesaikan semua perselisihan.
Pada akhir tahun 1930 PSII keluar dari PPPKI karena Kelompok Studi Umum di Surabaya kurang menghormati agama Islam; perkumpulan-perkumpulan lain anggota PPPKI selalu bertengkar karena perkumpulan-perkumpulan itu menentang poligami. Pada masa tersebut PSII pecah menjadi beberapa partai kecil.
Perselisihan antara anggota Pengurus Besar partai yaitu Cokroaminoto dan H. Agus Salim di satu pihak melawan dr. Sukiman Wiryosanjoyo dan Suryopranoto di lain pihak mengakibatkan perpecahan dalam tubuh PSII. Dokter Sukiman Wiryosanjoyo dan Suryopranoto pada tahun 1933 dipecat dari PSII. Pada pertengahan bulan Mei 1933 berdiri partai baru di Yogyakarta bernama Partai Islam Indonesia (Parii). Partai ini bertujuan ke arah perkem-bangan yang harmonis dari nusa dan bangsa atas dasar agama Islam. Parii yang dipimpin oleh dr. Sukiman dan Wali al-Fatah berumur pendek. Tahun 1935 setelah Cokroaminoto meninggal dunia, muncul suara-suara bahwa Parii mau bergabung lagi dengan PSII. Akan tetapi, untuk bergabung kembali masih ada halangan karena H. Agus Salim menjadi ketua Dewan Partai.
Perselisihan dalam tubuh partai terus bertambah. Ketua partai meng-hendaki agar PSII bekerja sama dengan pemerintah. H. Agus Salim meragukan kegunaan nonkooperasi sebagaimana dijelaskan dalam brosurnya "Pedoman Politik". Sikap nonkoperasi menyebabkan PSII dibatasi geraknya. Sejak awal tahun 1935 H. Agus Salim merasa bahwa jalannya partai itu keliru. Pada tanggal 7 Maret 1935 H. Agus Salim mengusulkan agar PSII membuang sikap nonkooperasi.
Aksi H. Agus Salim itu mengakibatkan perpecahan dalam pimpinan PSII. Waktu sebelum dan sesudah kongres tahun 1935 kedua aliran saling bentrok. H. Agus Salim terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Partai. Lawan-lawan Salim yang terpenting adalah Abikusno Cokrosuyoso dan S.M. Kartosuwiryo. Akan tetapi, H. Agus Salim akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai ketua Dewan Partai. Pada kongres tahun 1936 (8-12 Juli) Abikusno Cokrosuyoso terpilih sebagai formatur, akibatnya pengurus terdiri atas orang-orang yang anti H. Agus Salim. H. Agus Salim memutuskan untuk mengundurkan diri dari pengurus agar suasana tidak menjadi keruh. Namun, dia berjanji tidak akan merintangi jalannya partai, dia akan menyumbangkan segenap tenaganya untuk tetap bekerja demi kepentingan umat Islam Indonesia.
Program di bidang politik yaitu: (a) pemerintah harus bersifat demokratis; (b) mengadakan suatu parlemen dan dewan-dewan yang sejati; (c) meng-indonesia-kan jabatan-jabatan pada negara; (d) perluasan hak bersidang dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran, dan kemerdekaan penyiaran. Orang yang duduk dalam Pengurus Besar di samping Wiwoho adalah dr. Sukiman, K.B. Hadikusumo, Wali Al-Fatah, Faried Ma'ruf, H.A. Hamid, A. Kahar Muzakir, Mr. Kasmat, dr. Kartono, sementara K.H. Mas Mansur menjadi penasihat partai."
Selanjutnya adalah Kartosuwiryo yang membuat pengurus PSII marah. Ia telah menulis brosur yang terdiri dari dua jilid tentang hijrah tanpa lebih dahulu membicarakannya dengan Abikusno Cokrosuyoso. Oleh karena ia menolak untuk menghentikan penerbitan tulisan itu, dan ternyata dia men-dapat sokongan dari beberapa cabang PSII di Jawa Tengah, ia bersama delapan cabang lainnya pada tahun 1939 dipecat dari partai. Pergolakan yang terakhir terjadi di PSII setelah pemecatan itu.
Dalam kongres PSII di Palembang bulan Januari 1940, antara lain, di-putuskan menyetujui pemecatan atas diri Ketua Muda Dewan Partai, S.M. Kartosuwiryo. Sebab pemecatan ialah karena Kartosuwiryo dan beberapa temannya sudah menyatakan bantahannya dengan cara yang dipandang tidak baik terhadap perbuatan PSII menggabungkan diri dalam Gapi. Mereka itu tidak setuju dengan gerakan mencapai parlemen.
Setelah dipecat, Kartosuwiryo pada permulaan tahun 1940 mendirikan badan oposisi intern, yaitu Komite Pertahanan Kebenaran PSII yang pada tanggal 24 Maret 1940 mengadakan rapat umum di Malangbong, Garut. Dalam rapat tersebut diterangkan bahwa akan dijalankan "politik hijrah" yang kukuh. Juga disiarkan keputusan akan mengadakan suatu "suffah", yaitu suatu badan untuk mendidik menjadi pemimpin-pemimpin yang ahli.
Demikianlah berdiri PSII Kedua, bendera dan nama PSII dipakai. Partai ini mempunyai asas dan Anggaran Dasar yang sama. Hanya hijrah yang harus lebih keras dikerjakan. Dalam kelompok ini sudah mulai tampak cita-cita teokratis Islam yang kelak akan menjadi dasar dari perjuangan Darul Islam Kartosuwiryo.
3. Indische Partij
Setelah kita tinjau perkembangan gagasan yang menandai adanya kebangkitan kesadaran nasional dan kebangkitan revolusioner bersifat kerakyatan yang berjiwa Islam, maka sebagai fase ketiga di dalam perkem-bangan sejarah Pergerakan Nasional pada awal pertumbuhannya lahir konsepsi yang bercorak politik seratus persen dan program nasional yang meliputi pengertian nasionalisme modern. Organisasi pendukung gagasan revolusioner nasional itu ialah Indische Partij yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912. Organisasi ini juga ingin menggantikan Indische Bond sebagai organisasi kaum Indo dan Eropa di Indonesia yang didirikan tahun 1898. Perumus gagasan itu ialah E.F.E. Douwes Dekker kemudian terkenal dengan nama Danudirdja Setyabudhi, seorang Indo, yang melihat keganjilan-keganjilan dalam masyarakat kolonial khususnya diskriminasi antara keturunan Belanda totok dan kaum Indo. Lebih daripada hanya membatasi pandangan dan kepentingan golongan kecil masyarakat Indo, Douwes Dekker meluaskan pandangannya terhadap masyarakat Indonesia umumnya, yang masih tetap hidup di dalam situasi kolonial. Nasib para Indo tidak ditentukan oleh pemerintah kolonial, tetapi terletak di dalam bentuk kerja sama dengan penduduk Indonesia lainnya. Bahkan menurut Suwardi Suryaningrat ia tidak mengenal supremasi Indo atas penduduk bumiputra, malah ia menghendaki hilangnya golongan Indo dengan jalan peleburan ke dalam masyarakat bumiputra. Melalui karangan-karangan di dalam Het Tijdschrift kemudian dilanjutkan di dalam De Express, propagandanya meliputi: pelaksanaan suatu program "Hindia" untuk setiap gerakan politik yang sehat dengan tujuan menghapuskan perhubungan kolonial; menyadarkan golongan Indo dan penduduk bumiputra, bahwa masa depan mereka terancam oleh bahaya yang sama, yaitu bahaya eksploitasi kolonial. Alat untuk melancarkan aksi-aksi perlawanan-perlawanan ialah dengan membentuk suatu partij: Indische Partij. Untuk persiapan pendirian Indische Partij, Douwes Dekker mengadakan perjalanan propaganda di Pulau Jawa yang dimulai pada tanggal 15 September dan berakhir pada tanggal 3 Oktober 1912. Di dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan dokter Tjipto Mangunkusumo, yang segera mengadakan pertukaran mengenai soal-soal yang bertalian dengan pembinaan partai yang bercorak nasional. Lain daripada itu, di Bandung ia mendapat dukungan dari Suwardi Suryaningrat dan Abdul Muis yang pada waktu itu telah menjadi pemimpin-pemimpin Sarekat Islam cabang Bandung. Di Yogyakarta ia mendapat sambutan dari pengurus Budi Utomo. Redaktur-redaktur surat kabar Jawa Tengah di Semarang dan Tjahaya Timoer di Malang juga menyokong berdirinya Indische Partij. Begitupun di daerah-daerah Jawa Barat, Jawa
engah, dan Jawa Timur, gagasannya mendapat sokongan. Bukti nyata dari propaganda ini ialah didirikannya 30 cabang dengan anggota sejumlah 7.300 orang, kebanyakan Indo-Belanda. Jumlah anggota bangsa Indonesia adalah 1.500 orang. Bahkan seorang sahabatnya pernah menamakan aksi-aksi Douwes Dekker yang bergerak ke seluruh Pulau Jawa "bagaikan sebuah tornado yang meninggalkan emosi-emosi yang meluap di kota-kota, yang tidak pernah terjadi sebelumnya"." Memang mereka dan beberapa orang lainnya tidak puas dengan langkah-langkah yang telah diambil Budi Utomo, sehingga golongan progresif mencari kepuasan politik dengan meng-gabungkan diri dengan Sarekat Islam. Pada tahun 1912 itu Sarekat Islam belum menunjukkan gerak revolusionernya. Oleh karena itu, gagasan perlu-nya satu partai pelopor berdasarkan konsepsi nasional yang luas mendapat sambutan dari mereka.
Setelah permusyawaratan wakil-wakil Indische Partij daerah di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912, tersusunlah anggaran dasar Indische Partij. Program revolusioner yang bersifat nasional dapat kita ketahui di dalam pasal-pasal anggarannya, yang di dalam bahasa Indonesianya:" "Tujuan Indische-Partij ialah untuk membangunkan patriotisme semua "Indiers" terhadap tanah air, yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegara-an untuk memajukan tanah air "Hindia" dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka"
Cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
a. memelihara nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan semua "Indiers"; meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah budaya "Hindia";
b. memberantas rasa kesombongan rasial dan keistimewaan ras baik dalam bidang ketatanegaraan maupun dalam bidang kemasyarakatan;
c. memberantas usaha-usaha untuk membangkitkan kebencian agama dan sektarisme yang dapat mengakibatkan "Indier" asing satu sama lain, sehingga dapat memupuk kerja sama atas dasar nasional;
d. memperkuat daya tahan rakyat Hindia dengan memperkembangkan individu ke arah aktivitas yang lebih besar secara teknis dan memperkuat kekuatan batin dalam soal kesusilaan
e. berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia;
f. memperkuat daya rakyat Hindia untuk dapat mempertahankan Tanah Air dari serangan asing;
g. mengadakan unifikasi, perluasan, pendalaman dan menghindiakan pengajaran, yang di dalam semua hal harus disetujukan kepada kepen-tingan ekonomis Hindia.
h. memperbesar pengaruh pro-Hindia di dalam pemerintahan;
i. memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan mem-perkuat mereka yang ekonominya lemah.
Sehubungan dengan maksud pemerintah akan merayakan ulang tahun ke-100 kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Prancis, di Bandung dibentuklah sebuah komite yang dikenal sebagai "Komite Bumiputra". Komite ini bermaksud hendak mengirimkan telegram kepada Ratu Belanda yang isinya mengandung permintaan pencabutan Pasal III R.R. (Reglement op het beleid der Regeering), dibentuknya majelis perwakilan rakyat yang sejati dan ketegasan adanya kebebasan berpendapat di daerah jajahan. Salah seorang pemimpin komite ini, Suwardi Suryaningrat, menulis sebuah risalah yang berjudul "Als ik een Nederlander was", yang isinya merupakan sindiran tajam atas ketidakadilan di daerah jajahan. Karena kegiatan komite ini dipandang berbahaya, pada bulan Agustus 1913 Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat dijatuhi hukuman buangan, dan mereka memilih negeri Belanda.
Kepergian ketiga pemimpin tersebut membawa pengaruh terhadap kegiatan Indische Partij yang makin lama makin menurun. Kemudian Indische Partij berganti nama menjadi Partai Insulinde. Sebagai asas yang utama dalam programnya tertera: "mendidik suatu nasionalisme Hindia dengan memperkuat cita-cita persatuan bangsa". Kepada anggota-anggota ditekankan supaya menyebut dirinya "Indiers", orang Hindia (Indonesia). Pengaruh Sarekat Islam yang kuat telah menarik orang-orang Indonesia, sehingga Partai Insulinde menjadi semakin lemah.
Kembalinya Douwes Dekker dari negeri Belanda tahun 1918 tidak begitu mempunyai arti bagi Partai Insulinde, yang kemudian pada bulan Juni 1919 berganti nama menjadi Nationaal Indische Partij (NIP). Dalam perkembang-annya, partai ini tidak pernah mempunyai pengaruh kepada rakyat banyak bahkan akhirnya hanya merupakan perkumpulan orang-orang terpelajar.
B. Masa Radikal
1. Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan Indonesia (PI) didirikan pada tahun 1908 oleh orang-orang Indonesia yang berada di negeri Belanda, di antaranya adalah Sutan Kasayangan, R.M. Noto Suroto, mula-mula dengan nama Indische Vereeniging." Tujuannya adalah untuk memajukan kepentingan-kepentingan
bersama dari orang-orang yang berasal dari Indonesia, maksudnya orang-orang pribumi dan nonpribumi bukan Eropa, di negeri Belanda dan hubungan dengan orang Indonesia. Pada mulanya organisasi ini hanya bersifat oganisasi sosial. Akan tetapi, semenjak berakhirnya Perang Dunia I perasaan antikolonialisme dan imperialisme di kalangan pemimpin-pemimpin Indische Vereeniging makin menonjol. Lebih-lebih sejak adanya seruan Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson setelah Perang Dunia 1 berakhir, kesadaran mereka tentang hak dari bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri dan merdeka dari penjajahan Belanda makin kuat.
Perkembangan baru dalam tubuh organisasi itu juga membawa perubahan nama yang kini diganti menjadi Indonesische Vereening pada tahun 1922. Pada tahun 1925 di samping nama dalam bahasa Belanda dipakai juga nama Perhimpunan Indonesia (PI) dan lama-lama hanya nama PI saja yang dipakai. Dengan demikian, semakin tegas bergerak memasuki bidang politik. Perubahan ini juga didorong oleh bangkitnya seluruh bangsa-bangsa terjajah Asia dan Afrika untuk menuntut kemerdekaan.
Majalah Hindia Poetra bulan Maret 1923 menyebutkan karangan asas PI
sebagai berikut:
Mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab hanya kepada Rakyat Indonesia semata-mata, bahwa hal yang demikian itu hanya akan dapat dicapai oleh orang Indonesia sendiri bukan dengan pertolongan siapa pun juga, bahwa segala jenis perpecahan tenaga haruslah dihindarkan, supaya tujuan itu lekas tercapai."
Semenjak tahun 1923, PI aktif berjuang bahkan memelopori dari jauh perjuangan kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia dengan berjiwa per-satuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang murni dan kompak. Berdasar-kan perubahan ini PI ke luar dari Indonesisch Verbond van Studeerenden (suatu perkumpulan yang bertujuan menggabungkan organisasi-organisasi mahasiswa Indonesia, Belanda, Indo Belanda, dan peranakan Cina yang berorientasi ke Indonesia dalam satu kerja sama) pada tahun 1923 karena dianggap tidak perlu lagi. Dalam tahun itu juga diterbitkan suatu buku peringatan Pi yang menggemparkan kaum kolonialis Belanda: Gedenkboek 1908-1923: Indonesische Vereeniging. Langkah selanjutnya dari sikap radikal PI ini ialah mengubah nama majalahnya dari Hindia Poetra menjadi Indo-nesia Merdeka tahun 1924.
Meningkatnya aktivitas ke arah politik terutama sejak datangnya dua orang mahasiswa ke negeri Belanda, yaitu A. Subardjo tahun 1919 dan Mohammad Hatta pada tahun 1921, dan keduanya kemudian pernah mengetuai Pl. Dengan bertambah banyaknya mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda berubah pula kekuatan Pl. Pada permulaan tahun 1925 dibuatlah suatu anggaran dasar baru yang merupakan penegasan yang lebih luas lagi dari perjuangan Pl. Di dalamnya disebutkan bahwa kemer-dekaan penuh bagi Indonesia hanya akan diperoleh dengan aksi bersama yang dilakukan serentak oleh seluruh kaum nasiolis dan berdasarkan atas kekuatan sendiri. Untuk itu, sangat diperlukan kekompakan rakyat seluruh nya. Di dalam segala penjajahan kolonial, kepentingan antara pihak yang menjajah dengan pihak yang dijajah, yang memang sangat bertentangan menjadi masalah penting. Penjajahan itu memang membawa pengaruh yang merusak jasmani dan rohani orang Indonesia dan merusak kehidupan lahir batin.
Sementara itu, kegiatannya meningkat menjadi nasional-demokratis, non-kooperasi dan meninggalkan sikap kerja sama dengan kaum penjajah, bahkan menjadi internasional dan anti-kolonial. Di bidang internasional ini PI bertemu dan bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan dan tokoh-tokoh pemuda serta mahasiswa yang berasal dari negeri-negeri jajahan di Asia dan Afrika yang mempunyai cita-cita yang sama dengan Indonesia. Pl memang berusaha supaya masalah Indonesia mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Hubungan dengan beberapa organisasi internasional diadakan seperti Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, dan Komintern. Dalam kongres ke-6 Liga Demokratie Internasional untuk Perdamaian pada bulan Agustus 1926 di Paris (Prancis), Moh. Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan untuk kemerdekaan Indonesia."
Kejadian ini menyebabkan Pemerintah Belanda bertambah curiga pada Pl. Kecurigaan ini bertambah lagi sewaktu Moh. Hatta atas nama PI menandatangani suatu perjanjian (rahasia) dengan Semaun (PKI) pada tanggal 5 Desember 1926 yang isinya menyatakan bahwa PKI mengakui kepemimpinan PI dan akan dikembangkan menjadi partai rakyat kebang-saan Indonesia, selama PI secara konsekuen tetap menjalankan politik untuk kemerdekaan Indonesia. Perjanjian ini, karena dinilai oleh Komintern sebagai suatu kesalahan besar, dibatalkan kembali oleh Semaun.
Dalam Kongres I Liga pada bulan Februari 1927 di Berlin yang dihadiri antara lain oleh wakil-wakil pergerakan di negeri jajahan, PI yang bertindak atas nama PPPKI di Indonesia juga mengirimkan wakil-wakilnya, Moh. Hatta, Nazir Pamoentjak, Gatot, dan A. Subardjo. Kongres mengambil keputusan antara lain:
1. menyatakan simpati sebesar-besarnya kepada pergerakan kemerdekaan Indonesia dan akan menyokong usaha tersebut dengan segala daya;
2. menuntut dengan keras kepada pemerintah Belanda: kebebasan bekerja untuk pergerakan rakyat Indonesia.
Dalam kongres kedua di Brussel tahun 1927, Pl juga ikut, tetapi sewaktu Liga didominasi oleh kaum komunis, PI keluar dari Liga.
Kegiatan PI di kalangan internasional ini menimbulkan reaksi yang keras dari pemerintah Belanda. Atas tuduhan "dengan tulisan menghasut di muka umum untuk memberontak terhadap pemerintah", maka pada tanggal 10 Juni 1927 empat anggota Pl yaitu Moh. Hatta, Nazir Pamoentjak, Abdulmadjid Djojoadiningrat, dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan ditahan sampai tanggal 8 Maret 1928. Namun, dalam pemeriksaan di sidang peng-adilan di Den Haag tanggal 22 Maret 1928, karena tidak terbukti bersalah, mereka dibebaskan.
Dalam kalangan pergerakan di Indonesia sendiri tampak berangsur-angsur semakin berhasil dipengaruhi oleh PL. Bahkan ada kejadian penting yang timbul di tanah air yang secara langsung mendapat ilham dari PI seperti lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, Jong Indonesie (Pemuda Indonesia) tahun 1927, dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926.
2. Partai Komunis Indonesia
Benih-benih paham Marxis datang dari luar negeri dan mulai ditanam-kan di bumi Indonesia pada masa sebelum Perang Dunia 1, yaitu dengan datangnya seorang pemimpin buruh negeri Belanda bernama H.J.F.M. Sneevliet, la adalah anggota Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat.
Di Indonesia ia mula-mula bekerja sebagai anggota staf redaksi pada surat kabar Soerabajaasch Handelsblad, tidak lama kemudian pada tahun 1913 ia pindah ke Semarang dan menjadi sekretaris pada Semarangse Handelsvereniging. Bagi Sneevliet tinggal di Semarang adalah me kan karena Semarang adalah pusat Vereniging van Spoor e Personeel (VSTP), serikat buruh yang tertua di Indonesia dan pa merupakan suatu perkumpulan yang sudah tersusun baik.
sosialis yang berpengalaman dalam waktu singkat ia berhasil membawa VSTP ke arah yang lebih radikal. Atas prakarsanya pada tanggal 9 Mei 1914.
bersama-sama dengan orang-orang sosialis lainnya seperti J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan Bergsma berhasil didirikan suatu organisasi yang diberi nama Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV). Pada tahun 1915, ISDV menerbitkan majalah Het Vrije Woord dengan redaksi Sneevliet, Bergsma, dan Adolf Baars. Sneevliet dan kawan-kawan merasa bahwa ISDV tidak dapat berkembang karena tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, mereka menganggap adalah lebih efektif untuk bersekutu dengan gerakan yang lebih besar yang dapat bertindak sebagai jembatan kepada massa rakyat Indonesia. Mula-mula bersekutu dengan Insulinde yang mempunyai anggota lebih besar daripada ISDV (tahun 1917 lebih kurang 6.000 orang). Akan tetapi, karena tidak memenuhi sasaran tujuan ISDV, sesudah satu tahun, kerja sama itu bubar. Sasaran kemudian dialihkan kepada Sarekat Islam yang pada masa itu (1916) mempunyai ratusan ribu anggota dan merupakan satu gerakan raksasa di dalam pergerakan nasional Indonesia, dengan menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal dengan nama "blok di dalam", ISDV berhasil menyusup ke dalam SI. Caranya ialah dengan menjadikan anggota ISDV menjadi anggota SI dan sebaliknya menjadikan anggota Sl menjadi anggota ISDV. Dalam waktu satu tahun Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan anggota-anggota SI. Mereka memperkuat pegaruhnya dengan jalan menunggangi keadaan buruk akibat Perang Dunia I dan panen padi yang jelek serta ketidakpuasan buruh perkebunan sebab upah yang rendah dan membubungnya harga-harga.
Ada beberapa hal yang menyebabkan berhasilnya ISDV melakukan
infiltrasi ke dalam tubuh Sl:
1. Central Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat masih sangat
lemah kekuasaannya. Tiap-tiap cabang Sl bertindak sendiri-sendiri secara bebas. Para pemimpin lokal yang kuat mempunyai pengaruh yang menentukan di dalam SI cabang.
2. Kondisi kepartaian pada masa itu memungkinkan orang untuk sekaligus menjadi anggota lebih dari satu partai. Hal ini disebabkan pada mulanya organisasi-organisasi itu didirikan bukan sebagai suatu partai politik melainkan sebagai suatu organisasi guna mendukung berbagai kepentingan sosial budaya dan ekonomi. Di kalangan kaum terpelajar menjadi kebiasaan bagi setiap orang untuk memasuki berbagai macam organisasi yang dianggapnya dapat membantu kepentingannya.
Kemudian Sneevliet dan kawan-kawan berhasil mengambil alih bebe-rapa pemimpin muda Sl menjadi pemimpin ISDV. Yang terpenting antara
pemimpin muda itu adalah Semaun dan Darsono yang pada tahun 1916 menjadi anggota St cabang Surabaya. Surabaya pada waktu itu adalah pusat CSI. Tidak lama kemudian Semaun pindah ke Semarang ketika itu SI cabang Semarang telah mendapat pengaruh kuat dari ISDV. Semaun berhasil mengembangkan keanggotaannya dengan pesat, dari 1.700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang setahun kemudian. Akan tetapi, karena orientasi yang Marxistis, di bawah pengaruh ISDV, mereka menjadi lawan CSI yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Sl Semarang menyerang CSI sama sengitnya seperti mereka menyerang pemerintah kolonial dan kapitalis asing. Oleh karena campur tangan ISDV dalam pertikaian antara SCI dengan SI Semarang, dalam kongresnya bulan Oktober 1917 Sarekat Islam memutuskan untuk menghentikan segala hubungan dengan ISDV.
Sementara itu, di dalam ISDV sendiri timbul perpecahan. Oleh karena sikap pemimpinnya yang terlalu radikal, golongan yang moderat di dalam ISDV mengundurkan diri. Pada bulan September 1917 mereka membentuk SDAP cabang Hindia Belanda yang kemudian menjadi Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP).
Pada waktu pecah revolusi Bolsyewik di Rusia, tubuh ISDV telah bersih dari unsur-unsur yang moderat dan dapat dikatakan sikapnya telah bersifat komunistis. Berita tentang kemenangan kaum Bolsyewik disambut dengan penuh antusiasme. Baars dengan berapi-api menyerukan agar revolusi Rusia diikuti sekarang juga di Hindia Belanda. Pada akhir tahun 1917 ISDV mulai mengerahkan serdadu-serdadu dan pelaut-pelaut Belanda untuk aksi-aksi mereka. Dalam waktu 3 bulan mereka berhasil mengumpulkan 3.000 orang ke dalam gerakan tersebut. Kaum merah mengorganisasi demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh serdadu-serdadu dan pelaut-pelaut yang berkelahi dengan polisi. Darsono melalui surat kabar ISDV menyerukan dikobarkannya pemberontakan dan dikibarkannya bendera merah, sedangkan partai-partai yang moderat seperti Budi Utomo, Insulinde, SDAP Hindia Belanda dan SI mendesak pemerintah kolonial Belanda untuk menggantikan Volksraad dengan parlemen pilihan rakyat. Krisis November segera mereda ketika Gubernur Jenderal van Limburg Stirum menjanjikan akan dilakukan perubahan-perubahan yang luas. Ketika suasana dapat dikuasai, pemerintah kolonial segera mengambil tindakan-tindakan keras. Anggota-anggota militer yang indisipliner dan menimbulkan kekacauan dihukum berat, sedangkan pegawai negeri yang terlibat dimutasikan. Sneevliet diusir, sedangkan Darsono, Abdul Muis, dan beberapa pemimpin Indonesia lainnya ditangkap. Dengan tindakan ini ISDV mengalami depresi. Akhir 1918 merupakan akhir masa pertama pertumbuhan 15DV. Dengan demikian, pada akhir tahun 1918 gerakan kaum sosialis dapat dikatakan mati
Dalam usahanya untuk menyalurkan aktivis partai-partai agar tidak membahayakan, pemerintah kolonial berusaha untuk mengalihkan kegiatan politik mereka kepada kegiatan ekonomi sebagai usaha untuk membantu menaikkan taraf hidup rakyat sesuai dengan "politik etis". Ketika pemerintah kolonial bermaksud untuk mengalihkan SI menjadi organisasi buruh, hal ini sangat ditunggu dengan penuh minat oleh ISDV, karena hal ini akan dapat meningkatkan pengaruh SI Semarang yang lebih dekat hubungannya dengan persoalan buruh. Lagi pula hal itu mungkin akan menyebabkan para pemimpin CSI lebih memerhatikan ideologi kaum sosialis radikal dan mengurangi titik beratnya pada persoalan agama. Hal ini dianggap penting oleh ISDV, oleh karena ISDV sendiri terbatas kemampuannya untuk mengorganisasi kaum buruh, walaupun mempunyai pengikut-pengikut di kalangan pekerja-pekerja perkebunan, kuli-kuli, dan buruh-buruh pertanian yang tidak mempunyai tanah dan yang merupakan jumlah terbesar kaum buruh Indonesia.
Ketika SDAP di negeri Belanda pada tahun 1918 mempermaklumkan dirinya menjadi Partai Komunis Belanda (CPN), beberapa anggota bangsa Eropa di dalam ISDV mengusulkan untuk mengikuti jejak itu. Sebagai hasil gagasan mereka, pada kongres ISDV ke-7 di bulan Mei 1920 dibicarakan usul untuk menggantikan ISDV menjadi Perserikatan Kommunist di Hindia. Di antara sponsor utama terdapat Baars. Baars menyatakan dirinya berbicara atas nama para anggota yang menginginkan agar organisasi membedakan dirinya dari kaum sosialis revisions dan menyatakan hubungan ke-keluargaannya dengan partai yang kemudian menjurus ke arah "Komintern". Demikian pula Bergsma dan Semaun menyatakan keinginan untuk mengubah nama ISDV, dengan tujuan untuk membedakan diri dengan "kaum sosialis palsu" dan untuk mengidentifikasikan diri dengan Komintern. Menurut Bergsma, ISDV sudah sejak lama menjadi komunis.
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa sikap Rusia mengenai komunisme, antara lain sebagai berikut.
a. Sangat memandang kecil potensi kaum tani di dalam revolusi proletar. Hal ini didasarkan fakta bahwa revolusi Bolsyewik dimenangkan tanpa ikut sertanya secara aktif kaum tani. Mereka memandang kaum tani sebagai "borjuis kecil". Pandangan ini baru berubah ketika kelak Mao Tse-tung berhasil memperoleh kemenangan dengan mendasarkan diri kepada potensi kaum tani. Ketika itu gerakan komunis internasional baru menyadari bahwa di wilayah Asia, petani dapat menjadi kekuatan yang menggerakkan revolusi proletar dan bukan hanya alat untuk mem-peroleh dukungan massa.
b. Berhubung dengan politiknya terhadap negara-negara yang masih dijajah di Asia, berlainan dengan sikapnya terhadap Islam di negaranya sendiri, Rusia menganggap bahwa agama Islam dapat dipergunakan sebagai alat propaganda untuk menarik persahabatan dan simpati rakyat-rakyat yang beragama Islam di negeri-negeri Timur. Akan tetapi, Rusia menentang usaha-usaha pembentukan "pan-Islamisme" yang dianggap bersifat kenasionalan dan keagamaan karena bertentangan dengan kepentingan Komintern.
Pada kongres istimewa tanggal 24 Desember 1920 PKI mengambil keputusan untuk berafiliasi dengan organisasi Komintern. Afiliasi dengan Komintern menyebab-kan PKI harus menyesuaikan sikapnya sesuai dengan garis politik Asia daripada Komintern. Salah satu pandangan yang harus diubahnya ialah sikap terhadap partai-partai nonkomunis menurut garis Komintern yang diputuskan dalam kongres tahun 1920 (yaitu taktik yang disebut "front persatuan dari atas"), suatu taktik Komintern yang meliputi masa 1920 1927, maka PKI mulai bersiap-siap untuk berpartisipasi dalam Volksraad.
Dalam usaha mencapai "front persatuan", pada bulan Desember 1919 partai-partai SI, Sarekat Hindia (dahulu Insulinde), dan ISDV/PKI membentuk Persatuan Pergerakan Kemerdekaan Rakyat (PPKR). Akan tetapi, tidak lama kemudian timbul perbedaan paham di dalam tubuh PPKR Tokoh ISDV/PKI terlalu menonjolkan unsur internasional dalam program perjuangan PPKR, Sarekat Islam mengutamakan unsur "Islam" sebagai landasan untuk mempersatukan bangsa, sedangkan Sarekat Hindia (Insulinde) justru menekankan kepada unsur "kenasionalan" sebagai unsur
Sementara itu, dalam tubuh SI terjadilah perpecahan yang disebabkan perbedaan tujuan dan taktik perjuangan antara golongan "kiri" dan "kanan". Terhadap golongan Sl-kiri ini yang disebut Afdeling B, pemerintah kolonial Belanda mengambil tindakan yang keras. Pemimpin golongan kiri, antara lain, Semaun, Alimin, dan Darsono. Mereka merupakan pemimpin-pemimpin St dari cabang Semarang yang nota bene adalah pemimpin-pemimpin PKI setempat. Pemimpin yang berhaluan kanan berpusat di Yogyakarta dan dipimpin oleh Abdul Muis, Agus Salim, dan Suryopranoto.
Dalam hal ini peran H.O.S. Tjokroaminoto sangat menentukan sebagai tenaga pemersatu terhadap kedua aliran yang berbeda itu. Akan tetapi, per-tentangan itu makin lama makin mendalam juga. Dalam usaha untuk menguasai kaum buruh, timbullah kompetisi antara Semaun dengan Suryo-pranoto. Golongan kiri kemudian mendirikan organisasi yang dinamai Revolutionnaire Vak-Centrale (RVC) dan berkedudukan di Semarang
Dengan munculnya pendirian Komintern yang menentang cita-cita pan-Islamisme, jurang pertentangan antara golongan kiri dan kanan makin melebar. Di dalam konferensi SI bulan Maret 1921, Haji Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah, mengedarkan brosur di mana dinyatakan bahwa pan-Islamisme tidak mungkin tercapai apabila tetap bekerja sama dengan komunis; juga Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Berhubung dengan kecaman-kecaman Darsono (SI Semarang) terhadap beleid keuangan Tjokroaminoto dalam bulan Oktober 1920 dan penentangan SI Semarang yang menyatakan bahwa agama dan politik jangan dicampur-adukkan di dalam SI, Tjokroaminoto menjadi condong ke arah golongan kanan.
Pengaruh golongan kanan ini makin lama makin berkembang sehingga akhirnya kantor pusat CSI dipindahkan dari Surabaya ke Yogyakarta. Dalam kongres Sl tanggal 6-10 Oktober 1921 pertentangan-pertentangan itu makin memuncak juga. Agus Salim dan Abdul Muis mendesak agar ditetapkan peraturan disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Terhadap usul ini Tan Malaka meminta agar terhadap disiplin partai itu diadakan pengecualian terhadap PKI. Menurut Tan Malaka, perjuangan Islam itu dari Pada tanggal 25 Oktober 1922 PKI menggerakkan cabang-cabang yang prokomunis tersebut untuk mengimbangi pengaruh SI-Tjokroaminoto. Mereka mendapat julukan "SI Merah". Pada permulaan bulan November 1922 PKI menghimpun mereka ke dalam suatu organisasi yang dinamakan Perserikatan Islam (PSI). Nama ini kemudian diganti menjadi Sarekat Rakyat.
la berusaha untuk mengonsolidasikan dahulu kedudukan PKI terutama di kalangan organisasi buruh di samping untuk menghindari clash dengan pemerintah kolonial Belanda. la berusaha pula untuk memperbaiki kembali kerja sama dalam "kubu SI". la pun berusaha untuk merealisasikan taktik "front persatuan". Akan tetapi, usaha untuk memasuki kembali kubu SI mendapat kegagalan, oleh karena, pada konggres SI bulan Februari 1923 di Madiun, Tjokroaminoto mempertajam ketentuan disiplin partai dan meningkatkan pendidikan kader SI dalam usaha memperkuat organisasi partai. Sesudah kongres ini, berakhirlah pengaruh PKI di dalam SI yang asli.Dalam melakukan propagandanya PKI tidak segan-segan mempergunakan kepercayaan rakyat kepada ramalan Joyoboyo dan Ratu Adil, serta Hadis dan ayat-ayat Alquran seperti yang dilakukan oleh Haji Misbach dan Kiyai Samin. Pada masa inilah PKI mulai mengembangkan tenaganya di seluruh kepulauan Indonesia. Dari pusat kekuatannya di Jawa Tengah (Semarang, Solo, dan Madiun) PKI meluaskan. cabang-cabangnya ke Minangkabau, Aceh, Makassar, Ternate, Bali, dan Lombok.esudah kongres bulan Juni 1924, PKI dengan giat berusaha mem-bangun Sarekat Rakyat. PKI juga mulai membentuk organisasi pemuda dengan nama Barisan Muda, dan mulai memperhitungkan partisipasi kaum perempuan di dalam organisasi. PKI kemudian tumbuh menjadi suatu partai politik dengan jumlah massa yang sangat besar. Akan tetapi, disebabkan jumlah anggota intinya kecil, partai kurang dapat melakukan kontrol dan menanamkan disiplin serta ideologi partai kepada massanya. Hal ini akan terlihat akibatnya ketika pada akhir tahun 1924 beberapa cabang Sarekat Rakyat mengambil inisiatif sendiri menyelenggarakan aksi-aksi teror terhadap instruksi dari PKI. Sebagai akibatnya, timbul gerakan-gerakan anti-komunis di kalangan masyarakat Islam yang fanatik dan mengakibatkan diambilnya tindakan-tindakan keras oleh pemerintah kolonial. Akhirnya, pada kongres PKI bulan Desember 1924 di Kota Gede, Yogyakarta, para pemimpin PKI mengambil prakarsa untuk melebur Sarekat Rakyat ke dalam PKI.
Akhirnya, pemberontakan meletus pada tanggal 13 November 1926 di Jakarta, disusul dengan tindakan-tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam waktu satu hari pemberontakan di Jakarta telah ditumpas dan dalam waktu satu minggu di seluruh Jawa. Di Sumatra Barat baru pada tanggal 1 Januari 1927 pemberontakan meletus, tetapi dalam waktu tiga hari sudah dapat ditindas oleh pemerintah Belanda. Kelihatan betapa benarnya perkiraan pemimpin-pemimpin PKI yang tidak menyetujui pemberontakan sebab massa sama sekali tidak siap dan organisasi PKI sendiri masih kacau. Dengan pemberontakan yang sejak semula sudah diperkirakan akan gagal itu, pemimpin-pemimpin PKI telah mengorbankan ribuan pengikutnya serta ribuan patriot yang bukan pengikut mereka tetapi dapat dihasut untuk ikut berontak. Puluhan ribu ditangkap, dipenjarakan, dan ada yang dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas, Irian Jaya.
Sukar untuk menilai "Pemberontakan 1926" itu sebagai suatu peristiwa yang dapat dibanggakan dalam Sejarah Nasional Indonesia Sesuai dengan doktrin tersebut, timbul dugaan bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda akan melunakkan sikapnya terhadap kaum komunis di Indonesia. Karena itulah digiatkan kembali gerakan komunis di Indonesia.
3. Partai Nasional Indonesia
Sesudah PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah akibat pemberontakannya tahun 1926/1927, dirasakan perlunya suatu wadah baru untuk menyalurkan hasrat dan aspirasi rakyat yang tidak mungkin ditampung oleh organisasi-organisasi politik yang telah ada pada waktu itu. Sejalan dengan hal itu, politik kolonial pemerintah Belanda yang reaksioner dan tumbuhnya gagasan nasionalisme modern di Indonesia telah memberi jalan ke arah terbentuknya suatu gerakan yang bercorak nasional murni dan bersifat radikal. Pengambil inisiatif gerakan ini ialah Ir. Sukarno yang pada tahun 1925 mendirikan Algemeene Studie Club di Bandung. Pada tahun 1926, dua tahun setelah terbitnya karya H.O.S. Tjokroaminoto tentang Islam dan Sosialisme, Ir. Soekarno memasukkan unsur kekuatan ideologi ketiga yaitu nasionalisme dalam karangannya "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme". Ketiga kekuatan ideologi itu merupakan landasan pergerakan nasional secara garis besar dan oleh Ir. Sukarno juga dianggap dapat dipakai sebagai alat pemersatu pergerakan rakyat Indonesia. Ketiga kekuatan ideologi tersebut kemudian hari terkenal dengan singkatan Nasakom.Pada tanggal 4 Juli 1927 atas inisiatif Algemeene Studie Club diadakanlah rapat pendirian Perserikatan Nasional Indonesia. Rapat pembentukan partai ini dihadiri oleh Ir. Sukarno, dr. Tjipto Mangunkusumo, Soedjadi, Mr. Iskaq
Walaupun hubungan secara organisasi antara PNI dengan PI tidak ada, PNI mempunyai hubungan sangat erat dengan Pl di negeri Belanda. Kegelapan di daerah jajahan disoroti oleh gerakan ini yang mulai mengadakan propa-ganda yang intensif secara lisan dan tulisan. Sasaran pokoknya ialah tercapainya Indonesia merdeka dan pembebasan para tahanan Digul. Caranya ialah dengan memadu semangat kebangsaan menjadi kekuatan nasional dengan memperdalam keinsafan rakyat dengan mengarahkan pada pergerakan rakyat yang sadar. Untuk memperoleh pergerakan yang sadar, perkumpulan perlu mempunyai asas dan tujuan yang terang dan tegas, perlu mempunyai suatu teori nasionalisme yang radikal yang dapat menimbulkan kemauan yang satu, kemauan nasional. Jika kemauan nasional cukup tersebar dan masuk mendalam di hati sanubari rakyat, kemauan nasional ini menjadi satu perbuatan nasional. Ini yang disebut trilogi: nationale geest-nationale wil-nationale daad.
Berdasarkan atas pengetahuan ini, dalam anggaran dasarnya, PNI menyatakan bahwa tujuan PNI adalah bekerja untuk kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini hendak dicapai dengan asas "percaya pada diri sendiri". Artinya, memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial dengan kekuatan dan kebiasaan sendiri, antara lain dengan mendirikan sekolah-sekolah, poliklinik-poliklinik, bank nasional, dan perkumpulan-perkumpulan koperasi. Itulah sebabnya PNI tidak mau ikut dalam dewan-dewan yang diadakan oleh pemerintah (sikap nonkooperasi). Yang dapat menjadi anggota PNI adalah semua orang Indonesia yang sekurang-kurangnya telah berumur 18 tahun. Orang-orang Asia lainnya dapat juga menjadi anggota PNI tetapi hanya sebagai anggota luar biasa.
ita-cita persatuan yang selalu ditekankan dalam rapat-rapat umum PNI ternyata dalam waktu singkat dapat diwujudkan. Dalam rapat tanggal 17-18 Desember 1927 di Bandung, PNI, Partai Sarekat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Soematranen Bond, Kaum Betawi, Indonesische Studieclub, dan Algeemene Studieclub sepakat mendirikan suatu federasi yaitu Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Dalam rapat PNI di Bandung tanggal 24-26 Maret disusun Program asas dan daftar usaha (Benginsel en werk-program). Program asas dan daftar usaha, suatu anggaran dasar PNI, kemudian disahkan pada Kongres PNI I di Surabaya pada tanggal 27-30 Mei 1928Hal ini merusak struktur sosial, ekonomi, dan politik Indonesia dan menghalang-halangi usaha memperbaikinya. Syarat utama untuk mem-perbaiki kembali susunan masyarakat Indonesia ialah kemerdekaan politik. Kemerdekaan politik berarti "berhentinya pemerintahan Belanda". Karena alasan-alasan ekonomi dan sosial, Belanda tentu tidak akan dengan sukarela pergi dari Indonesia. Oleh karena itu, PNI yakin bahwa hanya dengan kekuatan sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari luar, dengan persatuan Indonesia tanpa membedakan agama dan kelas, kemerdekaan akan dapat dicapai. Imperialisme yang menindas Indonesia pada hakikatnya adalah imperialisme internasional yang juga menguasai daerah-daerah lain di Asia. Oleh karena itu, usaha bangsa Indonesia melawan imperialisme internasional harus dipersatukan.
Pengaruh PNI dalam usaha mempersatukan seluruh kekuatan Indonesia dan persatuan Indonesia tidak hanya dalam organisasi-organisasi politik tetapi juga dalam gerakan pemuda. Dalam Kongres Pemuda Indonesia kedua di Jakarta tanggal 26-27 Oktober 1928 kelihatan pengaruh tersebut. Pada penutupan kongres tanggal 28 Oktober diucapkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Dalam tahun 1930 hampir semua perkumpulan pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda.Pada tanggal 18-20 Mei 1929 diadakanlah kongres PNI yang kedua di Jakarta. Di samping memilih kembali Pengurus Besar PNI yang lama juga telah diambil keputusan
1. Bidang ekonomi/sosial: menyokong perkembangan Bank Nasional Indo-nesia, mendirikan koperasi-koperasi, studiefonds dan fonds-korban atau partijfonds (untuk anggota-anggota yang kena tindakan pengamanan pemerintah), dan serikat-serikat sekerja, serta mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit.
2. Bidang politik: mengadakan hubungan dengan Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda dan menunjuk Pl sebagai wakil PPPKI di luar negeri.
Sesuatu yang juga menarik dalam kongres ini ialah disinggungnya masalah transmigrasi untuk mengatasi kemelaratan rakyat (terutama di daerah yang berpenduduk padat).
Semenjak kongres kedua ini kegiatan PNI makin meningkat, terutama untuk usaha konsolidasi kekuatan. Kepada anggota-anggota diadakan kursus-kursus yang terbagi atas dua:
1. Kursus pimpinan, biasa diikuti oleh 10-12 orang. Hanya diadakan di Bandung, dan guru-gururnya adalah Ir. Soekarno, Mr. Iskaq Tjokroadisoerjo, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan Manadi.
2. Kursus biasa di daerah-daerah, yang diadakan oleh Cursus Commissie di mana pelajaran diberikan secara sederhana dan mudah dimengerti. Semua pengikut kurus ini kemudian diuji dan bila lulus barulah mereka diterima menjadi anggota.
Di samping itu, diadakan klub-klub diskusi yang melatih anggota-anggota memecahkan persoalan-persoalan dan meningkatkan kemampuan pengetahuan anggota. Jelas bahwa cara-cara yang dilakukan PNI ini telah memperkuat posisi dan pengaruh PNI di kalangan masyarakat. Sukses yang dicapai ini dalam waktu yang singkat juga berkat filsafat PNI yaitu marhaenisme. Kemudian marhaenisme ditafsirkan sebagai Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi-kondisi dan situasi Indonesia."
Kemajuan-kemajuan yang diperoleh PNI dalam usahanya membawa rakyat untuk memperoleh kemerdekaan telah mengkhawatirkan orang-orang reaksioner Belanda di Indonesia, yang kemudian membentuk suatu organisasi bernama Vaderlandsche Club tahun 1929, yang mendesak pemerintah agar segera mengambil tindakan tegas terhadap PNL. Begitu pun surat kabar-surat kabar Belanda mengadakan kampanye yang aktif melawan PNI
Sebenarnya Pemerintah Kolonial Belanda memang sudah mulai khawatir dan curiga terhadap kemajuan-kemajuan yang dicapai PNI. Pemerintah dengan terus terang pada tanggal 9 Juli 1929 telah menyatakan kecurigaannya terhadap PNI. Selanjutnya pada tanggal 6 Agustus 1929 mengeluarkan ancaman-ancaman terhadap PNI. Walaupun ada ancaman dan provokasi, PNI tetap jalan terus mengadakan kegiatan-kegiatan partai. Dalam rapat umum tanggal 15 September 1929 di Bandung, Bung Karno,
ertumbuhan PNI dengan berbagai cara, PNI malah semakin berkembang subur. Juga diramalkan oleh Bung Karno bahwa Perang Pasifik akan pecah dan kalau orang Indonesia tidak bersiap-siap menghadapinya kemungkinan itu, bangsa Indonesia akan menjadi korban. Sebaliknya apabila dilakukan persiapan-persiapan tidak perlu merasa khawatir.
Kecemasan Pemerintah Kolonial Belanda bertambah sesudah pemerintah mendapat laporan bahwa di kalangan tentara dan polisi terdapat pula pengaruh propaganda PNI. Oleh karena itu, tindakan yang lebih keras diambil, antara lain Gubernur Jawa Barat melarang polisi menjadi anggota PNI pada akhir bulan Oktober 1929. Begitu pun panglima tentara kolonial Belanda mengeluarkan larangan serupa kepada semua anggota militer dan pegawai negeri yang berada di bawah wewenang Departement van Oorlog. Bahkan ten-tara juga dilarang membaca surat kabar yang bernada perjuangan kemerdekaan."
Kemudian tersebarlah desas-desus di kalangan rakyat bahwa PNI akan mengadakan pemberontakan pada tahun 1930. Karena desakan kaum
Empat orang tokoh PNI, yaitu: Ir. Soekarno (ketua PNI), R. Gatot Mang-koepraja (Sekretaris II PB PNI), Markoen Soemadiredja (Sekretaris II Pengurus PNI cabang Bandung), dan Soepriadinata (anggota PNI cabang Bandung) diajukan ke depan pengadilan di Bandung pada tanggal 18 Agustus 1930 sampai dengan 29 September 1930. Ir. Soekarno dalam pidato pembelaannya, yang terkenal dengan nama "Indonesia Menggugat", menandaskan: "Kini telah menjadi jelas bahwa Pergerakan Nasional di Indonesia bukanlah bikinan kaum intelektual dan komunis saja, tetapi merupakan reaksi umum yang wajar dari rakyat jajahan yang dalam batinnya telah merdeka. Revolusi Indonesia adalah revolusinya zaman sekarang, bukan revolusinya sekelom-pok-kelompok kecil kaum intelektual, tetapi revolusinya bagian terbesar rakyat dunia yang terbelakang dan diperbodoh". Berbeda dengan nasib pemimpin PL, pemimpin-pemimpin PNI dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan kolonial pada tanggal 22 Desember 1930.
Penangkapan atas pemimpin-pemimpin PNI, terutama Ir. Soekarno yang merupakan jiwa penggerak PNI merupakan pukulan yang sangat keras terhadap PNI. Pada Kongres Luar Biasa ke-2 di Jakarta, pada tanggal 25 April 1931, diambil keputusan untuk membubarkan PNI karena keadaan memaksa. Pembubaran ini menimbulkan perpecahan di kalangan pendukung-pendukung PNI, dan masing-masing pihak mendirikan Partai Indonesia (Partindo) oleh Mr. Sartono dkk., dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) oleh Moh. Hatta dan St. Syahrir dkk. Perbedaan antara keduanya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan persoalan pembaruan sosial. Mereka setuju bahwa kemerdekaan politik adalah tujuan perjuangan utama yang harus dicapai dengan taktik nonkoperasi. Akan tetapi, apabila PNI-Baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan sosial, Partindo Kedua organisasi itu tidak banyak berhasil dalam usahanya oleh karena politik yang sangat kolot dan keras dari Gubernur Jenderal de Jonge. Di samping itu, pemimpinnya kemudian ditangkap dan dibuang ke luar Jawa.
4. Partindo, PNI-Baru, dan Gerindo
Sebagaimana telah disinggung di atas, setelah penggeledahan dan penangkapan terhadap beberapa pemimpin PNI, Mr. Sartono dan Ir. Anwari mengambil alih pimpinan Pusat PNI. Pada tanggal 9 Januari 1930 Sartono dan Anwari mengeluarkan perintah kepada pengurus-pengurus cabang dan para anggotanya agar menghentikan semua kegiatan politik dan membatasi kegiatan pada bidang sosial dan ekonomi. Pada tanggal 22 Desember 1930 Landraad Bandung mengeluarkan keputusan terhadap Ir. Soekarno dkk. Keputusan itu memberikan angin akan rupa langkah baru yang akan diambil oleh Pengurus Besar PNI. Pada bulan Februari 1931 dilangsungkan kongres luar biasa PNI di Yogyakarta untuk membicarakan situasi politik waktu itu dan langkah-langkah yang akan ditempuh. Kongres antara lain memutuskan memberikan mandat kepada Pengurus Besar PNI tentang sikap selanjutnya yang akan diambil sesudah putusan dari Raad van Justitie.
Sesudah keluar putusan dari Raad van Justitie, dengan mandat yang diterima Pengurus Besar itu, pada tanggal 25 April 1951 (seminggu setelah keluar putusan dari Raad van Justtitie) atas putusan kongres luar biasa dinyatakan pembubaran PNI dengan alasan karena keadaan yang memaksa. Keputusan itu diambil antara lain atas pertimbangan bahwa putusan hukuman itu tidak hanya menimpa keempat pemimpin PNI, tetapi juga mengenai organisasi PNI. Kemudian pada tanggal 29 April 1931 di Jakarta didirikan partai politik baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo). Pada dasarnya, Partindo adalah PNI dengan nama lain. Para pemimpinnya yakin bahwa cara itu akan mencegah tindakan dari pemerintah menentang Partindo."
Dalam maklumatnya tertanggal 30 April 1931 dalam majalah Persatuan Indonesia dinyatakan bahwa Partindo berdiri di atas dasar nasionalisme Indonesia, self help, dan tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia. Dalam mencapai tujuan itu Partindo yang dipimpin oleh Sartono akan mendasarkan
pada kekuataan sendiri. Anggota Partindo sebagian besar berasal dari anggota PNI. Pada permulaan bulan Februari 1932 Partindo mempunyai anggota sekitar 3.000 orang.
Golongan Merdeka tidak senang melihat pembubaran PNI itu yang kemudian disusul dengan didirikannya Partindo. Mereka tidak tinggal diam, tetapi berusaha untuk mendirikan suatu organisasi sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan Mohammad Hatta yang masih berada di negeri Belanda. Akhirnya pada akhir bulan Desember 1931 di Yogyakarta didirikan organisasi baru bagi mereka dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia (disingkat PNI-Baru).
Jika PNI-Baru dibandingkan dengan Partindo, pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang besar. Kedua organisasi itu berdiri di atas dasar yang tidak jauh berbeda, yaitu nasionalisme Indonesia dan demokrasi. Tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia yang hendak dicapai dengan kekuatan sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun (self-help) dan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial (nonkooperasi). Perbedaan adalah dalam cara untuk mencapai tujuan. PNI-Baru berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat dicapai dengan agitasi belaka, tetapi memerlukan kerja yang terorganisasi. Kemerdekaan hanya dapat dicapai melalui usaha-usaha orang-orang yang terdidik."
Tidak lama sesudah PNI-Baru lahir, Ir. Soekarno yang baru menjalani setengah hukuman yang dijatuhkan kepadanya, pada tanggal 31 Desember 1931 dibebaskan dari penjara. Ia kemudian selama enam bulan lebih berusaha keras untuk menyatukan kedua partai itu, tetapi tidak berhasil, dan akhirnya ia masuk Partindo,Setelah Ir. Soekarno kembali dan memimpin Partindo, partai ini yang sebelumnya kurang berani jika dibandingkan dengan PNI mengalami perkembangan pesat. Jumlah anggotanya dan cabangnya meningkat.
pidato-pidatonya makin lama makin berani. PNI-Baru baru berkembang pesat setelah organisasi ini dipimpin oleh Sutan Syahrir dan kemudian Mohammad Hatta. Pada tahun 1932 PNI-Baru sering mengadakan rapat propaganda. Materi yang disampaikan antara lain tentang riwayat pergerakan nasional Indonesia, kemerdekaan Indonesia, kedudukan daerah jajahan dan daya upaya untuk mencapai kemerdekaan itu, persatuan, kapitalisme, dan imperialisme. Jumlah anggota meningkat walaupun kalah jika dibandingkan dengan Partindo.
Makin meningkatnya perjuangan kedua partai ini menimbulkan rasa khawatir di kalangan pmerintah. Kemudian dibuatlah berbagai macam peraturan yang bermaksud hendak mengekang perkembangannya. Tindakan pertama yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal de Jonge adalah dengan dikeluarkannya ordonansi pengekangan pers. Sejak berlakunya ordonansi ini tahun 1931 sampai tahun 1936 (selama pemerintahan de Jonge) sebanyak 27 surat kabar menjadi korban.etelah keluar ordonansi, kebebasan berbicara dalam rapat-rapat menjadi sangat terbatas. Polisi yang biasa menghadiri rapat-rapat dianjurkan agak bertindak lebih keras. Atas dasar itu, polisi-polisi dapat bertindak sesuka hati. Mereka dapat memberhentikan pembicara-pembicara dalam suatu rapat jika sekiranya materi yang dibicarakan menyinggung pemerintah. Demikian pula jika dalam rapat-rapat partai diperlihatkan simbol-simbol nasional Indonesia.
lainnya dari PNI-Baru antara lain Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir yang ditangkap pada bulan Februari 1934. Hatta dan Syahrir dibuang ke Boven Digul dan dari sana kemudian pada bulan Desember 1935 dipindahkan ke Bandanaira.
Usaha pemerintah untuk mematikan kedua organisasi tersebut masih dilakukan. Beberapa hari setelah penangkapan Ir. Soekarno, pada tanggal 1. Agustus 1933 dikeluarkan larangan untuk mengadakan rapat di seluruh Indonesia.
Dengan adanya penangkapan-penangkapan terhadap beberapa pemimpin Partindo dan PNI-Baru dan larangan mengadakan rapat dan berkumpul, keadaan gerakan nonkooperasi tidak berdaya lagi. Orang-orang yang mempunyai keberanian mengikuti jejak para pemimpin yang telah diasingkan, akhirnya juga ditangkap dan diasingkan.
Pengalaman pahit yang dialami oleh kaum nonkooperasi menimbulkan kesangsian di kalangan mereka akan keberhasilan politik perjuangannya. Gatot Mangkupraja, bekas ketua Pengurus Besar Partindo, mengusulkan agar golongan nonkooperator mengurangi kegiatannya di lapangan politik dan sebaliknya banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah sosial dan ekonomi. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia tidak tergantung sama sekali pada perjuangan di bidang politik, tetapi juga tergantung pada keadaan internasional terhadap Indonesia. Kegiatan sosial yang dimaksud adalah mendirikan sekolah-sekolah serta mengeluarkan buku-buku pengetahuan berbahasa Indonesia atau daerah. Dengan jalan demikian, bangsa Indonesia akan maju dengan sendirinya.
Setahun sebelumnya, pada tahun 1934, ketika terjadi pengasingan terhadap pemimpin-pemimpin Partindo dan PNI-Baru, pernah juga dinyatakan dalam Djawa Barat bahwa orang akan mencapai hasil yang lebih
Dari suara-suara di atas, akhirnya Partindo pada tanggal 18 November 1936 dibubarkan. Sehubungan dengan pembubaran partai tersebut, sedangkan PNI-Baru lumpuh, macetlah gerak dari perkumpulan-perkumpulan nonkooperator. Beberapa bekas pemimpin Partindo yang aktif tidak senang melihat keadaan yang demikian. Mereka berusaha agar perjuangan mencapai tujuannya tetap dapat berjalan.
Dalam keadaan yang demikian, Sanusi Pane, pemimpin surat kabar Kebangoenan, pada awal tahun 1937 mengemukakan pandangannya tentang sikap yang sebaiknya ditempuh oleh bekas anggota Partindo khususnya dan nonkooperator umumnya. Dengan terus terang ia menyalahkan sikap yang diambil oleh Partindo yang dipandangnya terlalu agresif. Diharapkan agar dalam suasana yang sudah berubah orang juga mau mengubah sikapnya. terhadap pemerintah.
Dengan lahirnya Gerindo, partai sayap kiri pergerakan nasiaonal dengan wajahnya yang baru, yaitu kooperasi, berjalan lagi. Asas Gerindo yaitu kebangsaan-kerakyatan. Gerindo berjuang untuk mencapai kemerdekaan nasional. Asas kebangsaan Gerindo tidak didasarkan atas dasar "satu darah, satu turunan". Asas kerakyatan (demokrasi) dari Gerindo adalah demokrasi dalam berbagai lapangan masyarakat, yaitu demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. Menurut Gerindo, yang menjadi pedoman. partai adalah asas dan tujuan partai. Setiap anggota harus tunduk pada aturan partai.
Jalan untuk mencapai tujuan itu ialah: (a) membimbing rakyat sampai mencapai tingkat keinsafan politik, ekonomi, dan sosial; (b) menyusun kekuatan rakyat di luar dan di dalam dewan-dewan. Gerindo mengutamakan kegiatan di bidang politik karena kemenangan di bidang tersebut merupakan jalan utama membawa rakyat ke susunan ekonomi dan sosial yang lebih sempurna. Gerindo menjunjung tinggi demokrasi, menggambarkan tujuan politik sebagai satu parlemen yang sepenuhnya bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia; tujuan ekonomi sebagai susunan ekonomi yang berdasar-kan kooperasi di bawah pengawasan negara; tujuan sosial sebagai satu lingkungan hidup berdasarkan hak dan kewajiban yang sama antara berbagai macam penduduk. Jalan kedua untuk mencapai tujuannya ialah bahwa Gerindo menempuh asas self-help dan kooperasi. Gerindo bekerja sama dengan pemerintah dengan mengirim wakil-wakilnya duduk dalam Volksraad dan dewan-dewan lainnya.
Lahirnya Gerindo disambut gembira oleh para bekas anggota Partindo. Dalam waktu singkat mereka mendirikan cabang-cabang. Cabang-cabang Gerindo tersebar hampir merata di seluruh Indonesia. Pada umumnya suatu cabang Partindo secara otomatis menjadi cabang Gerindo. Pemerintah kolonial masih berusaha untuk menghambat perkembangannya. Kecurigaan pemerintah terhadap para mantan anggota Partindo tidak hilang sehingga ada beberapa rapat pendirian cabang Gerindo dibubarkan.
Mengenai dewan-dewan, Gerindo mempergunakan dewan-dewan sebagai alat perjuangan dan tempat menyusun kekuatannya untuk meme-ngaruhi kemajuan rakyat. Partai ini tidak puas terhadap susunan dan kekuasaan dewan-dewan yang ada. Gerindo menuntut parlemen yang sejati, penuh, dan bertanggung jawab terhadap rakyat. Untuk itu, Gerindo menuntut hak memilih umum dan langsung. Partai ini akan menyusun kekuatannya dalam dewan-dewan. Ditetapkan agar semua wakilnya dalam dewan-dewan menjalankan kewajiban sesuai keinginan rakyat. Gerindo menetapkan syarat-syarat dalam mengajukan wakil-wakilnya di dewan-dewan, dan menetapkan. disiplin (apa yang harus dilakukan) terhadap anggotanya yang duduk di dewan-dewan.
Sehubungan dengan rencana pembentukan badan federasi baru Gabungan Politik Indonesia (Gapi), Gerindo ikut serta dalam rapat dan masuk menjadi anggota. Setelah pemberlakuan negara dalam keadaan perang pada tanggal 11 Mei 1940, suasana pergerakan sepi. Gerindo menunda perjuang-annya di bidang politik dan semua kegiatannya dicurahkan di lapangan ekonomi dan sosial. Setelah pecah Perang Pasifik, pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Gerindo sebagai partai yang anti-fasisime menentang Jepang. Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, semua organisasi politik termasuk Gerindo, kecuali Majelis Ismail A'la Indonesia (MIAI), dibubarkan oleh Jepang.
C. Akhir Masa Hindia Belanda
1. Fraksi Nasional
Ide pembentukan Fraksi Nasional di dalam Volksraad muncul dari anggota Volksraad Moh. Husni Thamrin, ketua perkumpulan Kaum Betawi, karena pengaruh faktor-faktor yang timbul saat itu. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan politik di luar Volksraad, terutama terhadap PNI.
b. Anggapan dan perlakuan yang sama oleh pemerintah terhadap semua gerakan nasional baik non maupun kooperasi. Terutama dalam peristiwa penggeledahan tokoh-tokoh PNI yang juga dilakukan terhadap anggota-anggota perkumpulan yang bersifat moderat dan bersifat kooperasi.
c. Didirikannya Vaderlandsche Club (VC) tahun 1929 sebagai protes terhadap "ethisch beleid" Gubernur Jenderal de Graef.
Zentgraaff pendiri VC berpendapat bahwa kehidupan nasional Belanda. yang lebih kuat akan merupakan alat untuk "menghadapi tuntutan-tuntutan gila dari nasionalisme timur","
Fraksi ini didirikan tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta dan beranggotakan 10 orang anggota Volksraad yaitu wakil-wakil dari daerah-daerah di Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Menurut Moh. Husni Thamrin yang ditunjuk sebagai ketua, sedikitnya jumlah anggota bukanlah merupakan suatu masalah karena yang penting adalah mutu dari anggota-anggota tersebut. Dalam tindakannya Fraksi Nasional lebih memusatkan usahanya di dalam lingkungan Volksraad. Sesuai dengan keadaan yang memengaruhi timbulnya, Fraksi Nasional mempunyai tujuan sebagai berikut:
Menjamin adanya kemerdekaan nasional dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya, dengan jalan:
a. mengusahakan perubahan-perubahan ketatanegaraan;
b. berusaha menghapuskan perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual sebagai antitesis kolonial;
c. mengusahakan kedua hal tersebut di atas dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Meskipun pemakaian kata fraksi kurang tepat sebab anggota-anggota-nya bukan berasal dari satu partai politik atau perkumpulan yang sama bahkan ada yang tidak berpartai, hal tersebut biasa terjadi di dalam Volksraad di mana suatu golongan disebut fraksi. Dari tujuannya jelas kelihatan bahwa Fraksi Nasional condong bersifat radikal meskipun mereka tetap duduk di dalam Volksraad dan menjadi anggota dewan itu.
Kegiatan pertama dari fraksi ini adalah pembelaan terhadap pemimpin-pemimpin PNI yang ditangkap di dalam sidang-sidang Volksraad, terutama sebelum tokoh-tokoh PNI tersebut diadili pada bulan Agustus 1930. Anggota-anggota Fraksi Nasional, terutama Moh. Husni Thamrin, berpendapat bahwa tindakan penggeledahan dan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PNI oleh pemerintah itu tidak dapat dipertanggungjawabkan bahkan banyak di antara mereka yang bukan anggota PNI juga digeledah dan dicurigai. Daftar penggeledahan dan penangkapan yang dilakukan polisi di beberapa tempat di kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi oleh Thamrin telah diberikan kepada sidang Volksraad. Dengan peristiwa ini terbukti bahwa pemerintah dalam tindakannya telah berlaku tidak bijaksana dan tidak adil terhadap pergerakan rakyat Indonesia.
Thamrin berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa buruk yang sering menimpa pergerakan rakyat adalah berpangkal kepada artikel 169 swb, juga artikel 153 bis dan 161 bis. Oleh karena itu, ia mengajukan suatu mosi kepada Volksraad mengenai artikel-artikel ini, mosi ini diterima oleh sidang setelah mendapat tantangan dari mosi Frui (VC). Kemudian dibentuk suatu komisi untuk meninjau kembali artikel-artikel tersebut. Usul Thamrin agar sidang perkara pemimpin-pemimpin PNI yang dituduh melanggar artikel-artikel itu dilakukan di hadapan majelis yang lebih tinggi (Hooggerechtschof) dan bukan pada landraad, ditolak oleh pemerintah dengan alasan bahwa pengadilan tertinggi itu hanya untuk suatu penuntutan politik, sedang bukti-bukti sifatnya berkenaan dengan hukum pidana.
Sementara itu, masalah pertahanan juga dibicarakan dalam sidang Volksraad pada tahun 1930, di mana pemerintah bermaksud akan mening-katkannya. Maksud ini ditentang oleh anggota-anggota Fraksi Nasional. Mereka berpendapat bahwa peningkatan kekuatan pertahanan itu pasti akan memerlukan biaya besar sedangkan keadaan keuangan negara sangat buruk, dan lagi tidak ada manfaatnya bagi Indonesia. Daerah-daerah di seluruh Indonesia tidak mempunyai sesuatu yang harus dipertahankan juga tidak kemerdekaan, sedangkan yang dimaksud dengan pertahanan terhadap serangan musuh adalah pertahanan terhadap kemerdekaannya. Jelas ia tidak mempunyai kemerdekaan karena Indonesia adalah daerah jajahan. Oleh karena itu, adalah lebih baik biaya tersebut digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat Indonesia.
Sesuai dengan keadaan kehidupan sosial-ekonomi yang sangat tertekan akibat depresi ekonomi, kegiatan fraksi juga terutama ditujukan untuk memperbaiki keadaan sosial-ekonomi rakyat. Apalagi kehidupan di bidang politik memang sangat ditekan sekali oleh pemerintah de Jonge. Masalah sosial yang banyak dibicarakan pada waktu itu adalah bidang pendidikan akibat dengan diumumkannya peraturan sekolah-sekolah liar (wilde schoolen ordonnantie) oleh pemerintah. Dijalankannya peraturan ini pasti akan menghambat kemajuan. rakyat Indonesia bahkan juga dari golongan Cina, India, dan Arab, karena itu dengan dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara peraturan ini ditentang dengan keras. Anggota-anggota Fraksi Nasional di dalam sidang Volksraad juga menuntut agar pemerintah mencabut segera peraturan tersebut. Bahkan M.H. Thamrin. bermaksud akan keluar dari Volksraad apabila tuntutan itu gagal. Melihat kemungkinan jejak Thamrin akan diikuti pula oleh anggota-anggota lainnya, bila hal itu memang terjadi berarti Volksraad akan kehilangan artinya oleh karena wakil-wakil bangsa Indonesia praktis tidak ada. Setelah melihat reaksi-reaksi baik di luar maupun di dalam Volksraad, yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat, pemerintah kolonial dengan terpaksa mencabut peraturan tersebut.
Di bawah tekanan politik Gubernur Jenderal de Jonge politik non-kooperasi menjadi lumpuh, akibatnya muncul kaum kooperator yang di dalam Volksraad oleh Fraksi Nasional dan di luar Volksraad oleh Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan pada tahun 1935. Dalam masa itu muncullah Petisi Sutardjo pada tahun 1936, yang berisi usul Indonesia berdiri sendiri tetapi tidak lepas dari kerja sama Belanda. Petisi yang meng-hebohkan kalangan pergerakan, ada yang pro dan kontra akhirnya gagal
Usul Muhammad Yamin ini tidak disetujui oleh Mohammad Husni Thamrin. Oleh karena itu, pada tanggal 10 Juli 1939 atas prakarsa Muhammad Yamin di Volksraad berdiri Golongan Nasional Indonesia (GNI) di samping Fraksi Nasional. Badan ini tidak mewakili partai-partai di Volksraad melainkan mewakili golongan-golongan rakyat. Dalam arti tertentu GNI ini bersifat provinsialistis. Semua anggotanya, yaitu Muhammad Yamin, Soangkupon, Abdul Rasyid, dan Tajuddin Noor adalah utusan-utusan dari luar Jawa. Anggota Fraksi Nasional dari luar Jawa yang tetap setia pada badan tersebut adalah Mukhtar dan Lapian.
Tanggapan pers terhadap kejadian itu ada yang menyambut baik yaitu sebagai usaha untuk meningkatkan perjuangan nasional, sedang suara lain mengkhawatirkan tindakan itu sebagai pemecahbelahan dan akan memper-lemah perjuangan." Dalam asas tujuannya, kedua kelompok itu tidak banyak bedanya. Untuk mengurus kepentingan-kepentingan di daerah luar Jawa, orang-orang Sumatra juga bisa tetap berada di Fraksi Nasional."
Tahun 1941 Fraksi Nasional dan GNI berfusi menjadi Fraksi Nasional Indonesi (Frani). Tujuan singkat dan tegas yaitu memperjuangkan Indonesia Merdeka.
2. Petisi Sutardjo
Gagasan dari petisi ini dicetuskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB) dan wakil dari organisasi ini di dalam sidang Voksraad pada bulan Juli 1936. Petisi ini, diusulkan di luar tanggung jawab PPBB. Landasan usul adalah Pasal 1
Usul yang menyangkut perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijakan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Padahal menurut Sutardjo, hubungan baik antara Indonesia dan negeri Belanda perlu ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak lebih-lebih adanya bayangan bahaya pecahnya perang di Pasifik. Hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia). Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
(1) Pulau Jawa dijadikan satu provinsi, sedangkan daerah-daerah di luar Pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah (groeps-gemeen-schappen) yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
(2) Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah (binnenlandsbestuur) dihapus. (3) Gubernur Jenderal diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan (onschendbaar).
(4) Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab.
(5) Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya.
(6) Raad van Indie: anggota-anggota biasa dan seorang Vice President diangkat oleh raja; di samping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara.
(7) Dibentuknya Dewan Kerajaan (Rijksraad) sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan bukan seorang menteri atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen.
(8) Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal usul, dan cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan di sini diadakan seleksi yang ketat.
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda. Pers Belanda, seperti Preanger Bode, Java Bode, Het Bataviaasch Niewsblad, menuduh usul petisi sebagai suatu "permainan yang berbahaya", revolusioner, belum waktunya, dan tidak sesuai dengan keadaan. Golongan reaksioner Belanda, seperti Vaderlandsche Club, berpendapat Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri. Akan tetapi, ada juga orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah yang menyetujui petisi, dengan mengirim surat kepada Sutardjo. Pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peran rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya.
bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat.
1. Kelompok van Helsdingen-Notosoeroto," terdiri dari wakil-wakil: Christelijke Staatspartij (CSP), Vaderlandsche Club, Ondernemersgroep, Indische Katholieke Partly dan beberapa anggota partai/organisasi lainnya yang menolak usul petisi karena rakyat Indonesia belum mampu (matang) untuk berdiri sendiri. Van Helsdingen (wakil CSP) mengusulkan supaya dibentuk suatu komisi (staatscommissie) yang terdiri dari wakil-wakil Indonesia dan Belanda yang ahli dalam soal-soal jajahan dengan tugas mengontrol tindakan Menteri Jajahan. Anggota Volksraad ini juga membantah adanya persatuan antara suku bangsa di Indonesia (seperti yang diakui oleh Sutardjo dkk.), yang menurut pendapatnya hanya ada bila diikat oleh Pax Neerlandica.
2. Kelompok Sukardjo Wirjopranoto, yang terdiri dari beberapa anggota Fraksi Nasional, yang dengan tegas menolak usul petisi karena tidak ada gunanya. Soekardjo Wirjopranoto sendiri berpendapat petisi ini dapat melemahkan bahkan mematikan cita-cita Indonesia Merdeka. Dengan keras ia bahkan menuduh Sutardjo menjalankan politik "opportunis-tische politiek", 300
3. Kelompok Suroso, yang terdiri dari wakil-wakil Fraksi Nasional, Politiek-Economische Bond (PEB), Indo-Europeesch Verbond (IEV), dan beberapa nasionalis lainnya, berpendapat bahwa Indonesia sudah cukup matang dan sudah sepantasnya pemerintah Belanda memberikan lebih banyak hak-hak kepada Indonesia. Indo-Europeesche Verbond pada tahap pertama meminta supaya dibentuk suatu Dewan Kerajaan (Rijksraad), anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Indonesia dan Belanda, yang bertugas akan menimbang setiap perselisihan antara Indonesia dan Belanda.
Dalam membela usul petisi, Sutardjo mengatakan keadaan dalam negeri sebenarnya bukanlah masalah primer tetapi sekunder. Masalah yang pokok adalah hubungan kerajaan antara negeri Belanda dengan Indonesia, untuk mana Indonesia harus berdiri sendiri sehingga dapat berkembang ke arahSewaktu anggaran belanja Indonesia (Indische Begrooting) tahun 1937 dibicarakan di dalam Staten Generaal pada bulan Februari 1937, Petisi Sutardjo juga dibicarakan. Akan tetapi, keputusan apakah petisi akan diterima. atau ditolak masih menunggu saran-saran dari Gubernur Jenderal di Indonesia. Pada bulan Mei 1937 di Jakarta dibentuklah Komite Petisi Sutardjo (CPS) yang akan memperjuangkan petisi. Untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad bulan Juli 1937 Sutardjo kembali memajukan usul rencana apa yang sebaiknya dijalankan pemerintah Belanda dalam usaha menuju Indonesia berdiri sendiri. Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan
Sementara itu, di negeri Belanda, petisi juga dipropagandakan, antara lain oleh Perhimpunan Indonesia dengan menerbitkan brosur-brosur mengenai petisi. Atas sokongan Perhimpunan Indonesia itu, majalah Toedjoean Rakjat (di Jakarta) menuduh Perhimpunan Indonesia telah menyalahi anggaran dasarnya. Atas tuduhan ini, Perhimpunan Indonesia berpendapat bahwa untuk menghadapi ancaman fasisme terhadap negeri Belanda dan Indonesia, dipandang perlu untuk memperbaiki hubungan yang telah ada antara kedua belah pihak. Antara lain ialah agar pemerintah Belanda memenuhi maksud yang terkandung dalam petisi yaitu mengadakan suatu konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda. Juga Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi) di negeri Belanda memperkenalkan petisi kepada anggota-anggotanya dan orang-orang Belanda. 108
Di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1937 dibentuk Central Comite Petisi Sutardjo (CCPS), dan di daerah-daerah dibentuk cabang Comite Petisi Sutardjo. Dalam CCPS tidak terdapat anggota-anggota Parindra dan orang Indo-Belanda yang menyokong petisi. Mr. Sartono yang menjadi anggota CCPS berpendapat Petisi Sutardjo menuju ke arah kemajuan bagi Indonesia. 110
Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dalam pengumuman PB Gerindo tanggal 5 Oktober 1937 menyatakan bahwa Gerindo hanya menyokong diadakannya konferensi dari wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda, tetapi tidak menyetujui isi petisi. Gerindo berkeyakinan bahwa CCPS akan lebih berhasil apabila terdiri dari wakil-wakil resmi perkumpulan-perkumpulan dan partai-partai di Indonesia.Untuk mendapatkan sokongan dari berbagai partai dan golongan terhadap petisi, CCPS pada tanggal 21 November 1937 mengadakan suatu rapat bersama dengan mengundang wakil-wakil: Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Arab Indonesia, Persatuan Minahasa, Perkumpulan
Politik Katholik di Indonesia (PPKI), PSII dan organisasi-organisasi serta pemimpin yang menyokong petisi. PSII karena tidak menyetujui petisi tidak mengirimkan wakilnya pada rapat itu. Selanjutnya pada tanggal 28 Novem-ber 1937 suatu rapat umum kembali diadakan di Jakarta. Dalam rapat itu Amir Sjarifuddin, salah seorang pemimpin Gerindo, menyatakan bahwa petisi ini sudah salah jalan, yaitu dari atas (Volksraad) turun ke bawah (rakyat) bukan seperti biasanya dari rakyat ke Volksraad. 114
Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) menuduh gerakan yang sedang dijalankan oleh CCPS sebagai suatu gerakan yang naif, gerakan anak-anak kecil yang menuntut perubahan politik tanpa mempunyai sandaran dan sendi organisasi rakyat yang kuat dan sentosa. PB PSII melarang dengan keras semua anggota dan organisasi massanya untuk mencampuri gerakan CCPS. Parindra agak berbeda sikapnya dengan PSII. Keputusan rapat Parindra di Solo tanggal 12 Desember 1937 berpendapat bahwa walaupun Parindra menolak petisi, karena maksud petisi berlawanan dengan tujuan yang dicita-citakan oleh partai-partai politik bangsa Indonesia terutama yang dicita-citakan Parindra, tetapi maksud untuk mengadakan suatu konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda, disokong oleh Parindra. Sebelum ini yaitu pada bulan November 1936, Parindra menyerukan supaya kaum pergerakan menyokong petisi. Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) berpendapat karena tujuan PNI-Baru adalah Indonesia Merdeka jadi bukan berdiri sendiri dalam lingkungan kerajaan Belanda, maka PNI-Baru menolak dan melarang anggota-anggotanya membantu petisi dengan jalan apa pun.
Walaupun petisi tidak disetujui oleh empat partai, yang pada waktu itu cukup mempunyai pengaruh besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, petisi juga disokong oleh banyak organisasi yaitu partai-partai/organisasi-organisasi: PBBB, Chung Hua Hui, Groep IEV, PEB, Penyadar, Pasoendan, PPKI, PAI, dan Perserikatan Indonesia serta beberapa nasionalis seperti H. Agus Salim dan Mr. Sartono.129 Juga Sarekat Ambon dan Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia.
Pada tanggal 19 Desember 1937, CCPS mengumumkan pada semua partai-partai/organisasi-organisasi tersebut diminta supaya pengurus-pengurus cabangnya bekerja sama dengan penyokong-penyokong petisi untuk membentuk sub-komite petisi di daerah-daerah. 12 Atas anjuran Kasimo, cabang-cabang PPKI dengan aktif telah mendirikan sub-sub komite tersebut. Selama tahun 1938, CCPS dan sub-komite telah melakukan sejumlah rapat-rapat umum untuk menyokong petisi.
Pada waktu pembicaraan mengenai rencana anggaran belanja Hindia Belanda dalam Tweede Kamer pada bulan Februari 1938, Petisi Sutardjo juga dibicarakan. Kebanyakan anggota Tweede Kamer tidak menyetujui petisi. Menteri Jajahan, Welter, sebagai wakil pemerintah Belanda dalam sidang itu. menyatakan bahwa jalan yang terbaik untuk perubahan pemerintahan Hindia Belanda adalah dengan menjalankan desentralisasi yaitu dengan meletakkan dasar otonom pada tingkat bawah (pemerintah daerah), 5 dan mengharapkan supaya Tweede Kamer tidak lagi mempersoalkan Petisi Sutardjo. Pandangan Gubernur Jenderal sangat diharapkan untuk dapat memberi advis pada keputusan Ratu akan petisi. 126
Sesuai dengan laporan Menteri Jajahan pada Tweede Kamer, pada tahun 1938 telah mulai dijalankan beberapa perubahan dalam pemerintahan di Indonesia. Pada hakikatnya perubahan-perubahan tersebut tidak sesuai dengan keinginan golongan nasionalis. 177
Pada sidang Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan ditolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederlands-Indie, Adviseur voor Inlandse Zaken, 128 Directeur van Onderwijs en Eredienst, telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang terang. Juga mengingat akan ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini, tidak dapat disetujui keinginan untuk mengadakan konferensi untuk menyusun rencana bagi
Akhirnya dengan keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal 16 Novem-ber 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri", Surat keputusan itu disampaikan pada sidang Volksraad tanggal 29 November 1938,Penolakan yang diambil tanpa keputusan sidang Staten Generaal itu 13 sangat mengecewakan para pemimpin pergerakan rakyat Indonesia, 134 Sutardjo sebagai pencetus ide petisi menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan terhadap petisi telah memperlihatkan sikap sombong dan ceroboh pemerintah Belanda; di samping mendemonstrasikan sampai seberapa jauh sebenarnya kedudukan Volksraad dalam pemerintahan. Ia memperingat-kan pemerintah Belanda bahwa sikap yang diambil terhadap petisi adalah keliru.
Maksud CCPS untuk mengadakan suatu konferensi akhirnya tidak dapat dilaksanakan karena pada waktu itu beberapa partai politik bermaksud akan mengadakan Nationale Concentratie (yang kemudian setelah terbentuk bernama Gabungan Politik Indonesia atau disingkat GAPI). Sutardjo kemudian memutuskan bahwa tugas untuk memperjuangkan petisi selesai sudah. Oleh karena itu, dalam rapat pengurus CCPS yang diadakan pada tanggal 11 Mei 1939 di Jakarta telah diputuskan untuk membubarkan CCPS. Keputusan ini diambil di samping adanya keinginan untuk mengadakan Nationale Concentratie juga untuk menjaga jangan timbul salah paham atau kekecewaan di dalam masyarakat Indonesia.
3. Gabungan Politik Indonesia
Suatu gagasan untuk membina kerja sama di antara partai-partai politik dalam bentuk federasi timbul kembali pada tahun 1939. Menurut Mohammad Husni Thamrin, pendiri federasi itu, pembentukan federasi pada mulanya dianjurkan oleh PSII pada bulan April 1938 dengan pembentukan Badan Perantara Partai-Partai Politik Indonesia (Bapeppi). Oleh karena pembentukannya kurang lancar, Parindra mengambil inisiatif untuk mem-bentuk kembali Konsentrasi Nasional. Sebagai alasan yang mendorong dan mempercepat terbentuknya federasi tersebut adalah:
a. kegagalan Petisi Sutardjo
b. kegentingan internasional akibat timbulnya fasisme;
c. sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan-kepentingan bangsa Indonesia.
Ketiga hal tersebut merupakan tantangan bagi pemimpin-pemimpin Indonesia, lebih-lebih makin gawatnya situasi internasional akibat mening-katnya pengaruh fasisme. Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara-negara fasisme, yaitu negara-negara Jerman, Italia, dan Jepang, tidaklah menggembirakan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pers Indonesia menyerukan agar kekalahan dalam forum Volksraad (perjuangan Petisi Sutardjo) dianggap sebagai cambuk untuk menuntut dan menyusun barisan kembali dalam suatu wadah persatuan berupa konsentrasi nasional.
Parindra berpendapat bahwa perjuangan konsentrasi nasional haruslah: ke dalam, dapat menyadarkan dan menggerakkan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintah sendiri; ke luar, dapat menggugah pemerintah Belanda untuk menyadari cita-cita bangsa Indonesia dan kemudian memberikan perubahan-perubahan dalam pemerintahan di Indonesia. Kemudian diadakan pendekatan dan perundingan dengan partai-partai dan organisasi-organisasi seperti PSII, Gerindo, PII, Pasundan, Persatuan Minahasa, dan Partai Katholik untuk membicarakan masa depan Indonesia. Pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerja sama partai-partai politik dan organisasi-organisasi dengan diberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
alam anggaran dasar diterangkan bahwa GAPI berdasarkan kepada:
a. hak untuk menentukan diri sendiri;
b. persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, dan sosial,
c. persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia
Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, GAPI menyerukan agar perjuangan GAPI disokong oleh semua lapisan rakyat Indonesia. Seruan itu disambut hangat oleh pers Indonesia dengan memberitakan secara panjang lebar mengenai GAPI bahkan sikap beberapa negara di Asia dalam menghadapi bahaya fasisme juga diuraikan secara khusus. GAPI sendiri juga mengadakan rapat-rapat umum yang mencapai puncaknya pada tanggal 12 Desember 1939 di mana tidak kurang dari 100 tempat di Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan GAPI. Seakan-akan udara Indonesia gemuruh dengan seruan Indonesia berparlemen.
Sungguhpun kenyataannya memang demikian, untuk menyokong aksinya, GAPI kemudian membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Kongres Rakyat Indonesia diresmikan sewaktu diadakannya Kongres Rakyat Indonesia yang pertama tanggal 25 Desember 1939 di Jakarta. Tujuannya adalah Indonesia Raya, bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya, dan sasaran pertama yang hendak dicapai ialah Indonesia berparlemen penuh.Keputusan penting lain dari kongres ialah penetapan bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia, serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.Pada bulan Agustus 1940, waktu negeri Belanda telah dikuasai oleh Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegara-an di Indonesia dengan menggunakan hukum tata negara dalam masa genting (nood staatsrecht). Isi resolusi yaitu mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, mengubah fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden) menjadi menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen tersebut. Kepada rakyat serta organisasi-organisasi politik, sosial, dan ekonomi yang tidak tergabung dalam GAPI supaya menyokong usaha GAPL Resolusi ini dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wihelmina, dan kabinet Belanda di London.
Untuk lebih memperjelas tuntutan, dibentuklah suatu panitia yang bertugas menyusun bentuk dan susunan ketatanegaraan Indonesia yang diinginkan. Hasil panitia ini kemudian disampaikan dalam pertemuan antara wakil-wakil GAPI dengan Komisi Visman pada tanggal 14 Februari 1941 di gedung Raad van Indie, Jakarta.
Pertemuan itu tidak menghasilkan hal-hal yang baru, malah pertemuan itu sendiri yang banyak dibicarakan oleh kalangan pergerakan sehingga ada yang menganggap usaha GAPI tidak radikal lagi. Harapan kemudian ditumpukan kepada menteri Jajahan Welter dan van Kleffens yang akan berkunjung untuk melihat keadaan di Indonesia pada bulan April 1941. Ternyata kunjungan itu hanya menambah kekecewaan bagi kalangan pergerakan karena Welter tidak memberikan langkah-langkah baru ke arah perubahan ketatanegaraan. Malah harapan itu makin sirna dengan adanya pidato Ratu Wihelmina di London dan pidato Gubernur Jenderal di Volksraad mengenai hari depan Indonesia, 149
Oleh karena situasi politik makin gawat akibat bayangan Perang Dunia II, pemerintah kolonial memperketat izin mengadakan rapat-rapat. Kemudian kepada rakyat Indonesia disodorkan peraturan wajib bela (inheemse militie).
D. Gerakan Perempuan dan Pemuda
1. Gerakan Perempuan
a. Pendahuluan
Kehidupan kaum perempuan Indonesia sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20 tidak dapat digeneralisasikan. Keragaman kehidupan di berbagai wilayah Indonesia pada masa itu menghasilkan perbedaan yang besar dalam kehidupan sosial-ekonomi dan agama. Pada umumnya kehidupan masyarakat di Indonesia masih bersifat agraris, mayoritas penduduk hidup dari mengolah tanah. Dalam alam kehidupan yang seperti itu, laki-laki dan perempuan bersama-sama berperan dalam kegiatan sehari-hari. Di perdesaan ternyata kaum perempuan secara ekonomi tidak selalu tergantung pada kaum laki-laki sebagai pencari nafkah. Mereka juga giat mengolah sawah atau kebunnya. Selain itu, tidak sedikit yang berwiraswasta menjadi pedagang, mereka berhak memiliki harta benda atas namanya sendiri.
Dalam hal mengolah tanah, menanam, memelihara tanaman dan mengolah hasil panen, kaum perempuan di perdesaan tidak kalah kegiatannya dari kaum laki-laki. Di bidang industri perumahan, seperti pertenunan, batik, kerajinan tangan, dan membuat makanan, peran perempuan besar sekali; bahkan bagi yang sudah menikah sekalipun mereka tetap mempunyai kebebasan untuk bekerja dan berkarya. Dari sini kita melihat bahwa kaum perempuan Indonesia mempunyai kedudukan dan peran yang penting dalam masyarakat di samping perannya sebagai ibu rumah tangga. Mereka juga mempunyai pengaruh yang menentukan dalam,
persoalan-persoalan dalam rumah tangganya. Di beberapa tempat di Indonesia, misalnya di Ambon, perempuan berhak menjadi anggota dewan desa, dewan gereja, atau di pengadilan.
Lebih lanjut dari fakta-fakta sejarah yang menggambarkan kenyataan masa lampau, terlihat bahwa di Indonesia perempuan dapat mendapat kedudukan, wewenang, dan kekuasaan tertinggi dalam negara yaitu sebagai kepala negara. Hal ini bertentangan dengan gambaran di mana kaum perempuan sebagai golongan tersendiri, dibedakan dari kaum laki-laki dan menempati kedudukan yang rendah dan hidup dalam kekangan yang tidak memungkinkan mereka berkembang.
Pada zaman Majapahit (1294-1525) misalnya, tercatat raja putri Tribuana Tungga Dewi ibunda raja Hayamwuruk (1328-1350) yang terkenal itu mempunyai kedudukan sebagai permaisuri raja bukan sekadar sebagai istri raja, melainkan juga berperan dalam menentukan jalannya pemerintahan. Di wilayah-wilayah yang lain di Indonesia pernah dikenal juga penguasa perempuan. Antara tahun 1641-1699 kesultanan Aceh dipimpin oleh seorang sultanah (sultan perempuan) yang terkenal yaitu Sultanah Sri Tajul Alam Safiatuddin Shah.
Sultanah ini adalah putri Sultan Iskandar Muda yang dinobatkan pada tahun 1641. Pada mulanya suaminya yang berasal dari Pahang (Semenanjung Melayu) diangkat menggantikan Sultan Iskandar Muda dan bergelar Sultan Alaudin Mughayat Syah Iskandar Sani. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris.
Timbul masalah siapa yang akan menggantikannya untuk menduduki takhta kerajaan. Para ulama dan pejabat negara memutuskan bahwa Permasuri Sultan Mughayat Syah Iskandar Sani berhak menggantikan kedudukan suaminya. Hal ini tidaklah melanggar hukum adat Aceh dan hukum Islam. Pada tahun 1641 permasuri dinobatkan sebagai Sultanah dan memerintah selama 30 tahun.
Di bawah pemerintahannya kesultanan Aceh mengalami kemajuan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Tokoh-tokoh pemikir Islam seperti Abdul Rauf, Hamzah Fansuri, dan Nuruddin ar-Raniri menghasilkan karya-karya tulisan yang dipelajari oleh para cendekiawan hingga dewasa ini. Sultanah sendiri adalah seorang terpelajar yang menguasai bahasa Melayu, Arab, Persia, Spanyol, Urdu, dan sudah tentu bahasa Aceh.
Sultanah Safiatuddin ini juga berhasil menghadapi orang Belanda (VOC) yang hendak menanamkan monopoli dagang. Kesultanan Aceh kaya akan komoditas yang laku di pasar dunia pada masa itu, seperti lada, timah, dan kapur barus. Oleh karena itu, sudah sejak lama Aceh menjadi pusat perdagangan internasional, karena letaknya juga sangat strategis di jalur pelayaran dari Barat ke Timur dan sebaliknya.Bercermin pada pengalaman dirinya sendiri, Sultanah Safiatuddin mendorong semangat kemajuan untuk perempuan. Ia berpendapat bahwa agama Islam tidak,
Membedakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Perempuan di samping kodratnya menjadi ibu, mempunyai hak untuk meningkatkan kehidupan pribadinya. Mereka juga berhak memperoleh pendidikan, misalnya mempelajari bahasa Arab, agar mampu membaca dan memahami isi kitab suci Alquran. Oleh karena itu, Sultanah Safiatuddin memerintahkan agar lembaga-lembaga pendidikan yang ada membuka kesempatan kepada kaum perempuan berdasarkan keyakinan tentang perlunya perempuan memperoleh pendidikan dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki. Kita melihat bahwa Aceh dalam perjalanan sejarahnya telah menghasilkan tokoh-tokoh perjuang perempuan yang terkemuka.
Kita mengenal Laksamana Malahayati yang terkenal keberanian dan kemampuannya memimpin armada Aceh dalam menghadapi kapal-kapal Belanda di bawah bendera VOC dan armada Portugis. Kontak pertama armada Aceh di bawah komando Laksamana Malahayati dengan kapal Belanda terjadi pada bulan Juni 1599. Ketika itu dua buah kapal Belanda dipimpin oleh dua orang bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederic de Houtman tiba di Aceh. Dalam konflik yang terjadi Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederic de Houtman
ditangkap dan dipenjara selama dua tahun. Setelah itu masih berdatangan armada dagang Belanda yang lain, misalnya pada tahun 1601 di bawah pimpinan Laksamana Yakob van Neck.
Pada tahun 1602 beberapa kapal Belanda di bawah pimpinan Gerard de Roy dan Laurens Bicker merapat di pelabuhan Aceh. Mereka datang sebagai utusan pemerintah Belanda yang menghendaki menjalin hubungan dagang dengan kesultanan Aceh dan memohon agar pelaut-pelaut Belanda yang ditawan dibebaskan. Dengan membayar ganti rugi atas tenggelamnya kapal Aceh oleh Paulus van Carlden pada tahun 1600, Sultan atas nasihat Laksamana Malahayati menerima utusan Belanda tersebut dan memberi izin kepada orang Belanda. untuk berdagang di Aceh, Frederick de Houtman dan anak buahnya pun dibebaskan. Selain menghadapi kapal-kapal Belanda Laksamana Malahayati dengan armadanya juga berhasil dengan baik ketika berhadapan dengan armada Inggris dan Portugis,Kita juga mengenal tokoh-tokoh pejuang perempuan Aceh lainnya seperti Cut Mutia, Cut Nya Dien, dan Pocut Baren. Mereka dengan gagah berani berjuang, menghadapi pasukan Belanda. dengan marsosenya yang terkenal. Di samping itu, setelah Sultanah Safiatuddin, Aceh diperintah oleh tiga penguasa perempuan yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatudin Syah (1673-1678), Inayat Zakiyahtudin Syah (1678-1688), dan Komalat Zainatudin Syah (1688-1699)
elain di Aceh, di wilayah-wilayah lain di kepulauan Indonesia juga dikenal tokoh-tokoh perempuan yang berkuasa. Misalnya di Sulawesi Selatan pada tahun 1856 Siti Aisyah We Tenriolle diangkat sebagai datuk atau (raja) di kerajaan Tanette. Ia seorang yang cerdas dan berpengalaman luas yang memerintah daerah kekuasaannya dengan efektif. Ia juga menaruh perhatian pada kesusastraan di antaranya ia menguasai epos La Galigo yang berbentukpuisi. Dalam bahasa Bugis, epos ini mencakup sekitar 2.000 halaman folio bertulis. We Tenriolle membuat suatu ikhtisar dari epos ini yang menunjukkan bahwa ia memahami isinya. Pada tahun1908 di usianya yang sudah tua ia mendirikan sekolah yang memberikan pendidikan modern pertama di Tanette yang dibuka baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan.Di Maluku, khususnya di Pulau Saparua, dikenal seorang perempuan yang ikut berjuang melawan Belanda. Ia adalah Martha Christina Tiahahu yang meninggal pada tahun 1818 dalam perjalanan pembuangan setelah tertangkap pada tahun 1817. Putri dari Paulus Tiahahu yang gigih menentang Belanda dan bersama dengan tokoh pejuang Maluku lainnya di antaranya Thomas Matulessy (Kapitan Patimura) berhasil merebut benteng Belanda Berverwijk di pulau Nusa Laut. Pada bulan November 1817, benteng tersebut dapat dikuasai oleh Belanda lagi. Paulus Tiahahu tertangkap pada tanggal 17 November 1817 dan ayah Christina dihukum mati. Christina melanjutkan perjuangan ayahnya sampai tertangkap pada akhir tahun 1817. Bersama dengan 38 tahanan lainnya diangkut dengan kapal untuk dibuang ke Pulau Jawa. Pada tanggal 2 Januari 1818 di atas kapal yang mengangkutnya Christina meninggal karena sakit. Jenazahnya dibuang ke laut.Di akhir abad ke-19 di Jawa juga dikenal tokoh-tokoh perempuan yang menentang pemerintah jajahan. Dua di antaranya adalah Nyai Ageng Serang atau Raden Ayu Ageng Serang dan Ratnaningsih. Nyai Ageng Serang adalah putri Pangeran Natapradja yang bersahabat dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta). Ketika Perang Diponegoro meletus pada tahun 1825 Nyai Ageng Serang menggabungkan diri pada pasukan Diponegoro, walaupun usianya sudah lanjut. Ia mengikuti jejak ayah dan saudaranya menentang Belanda. Ia meninggal pada tahun 1828 dalam usia 76 tahun dan dimakamkan di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Ratnaningsih adalah istri Pangeran Diponegoro yang giat mendampingi suaminya dalam medan perang. Ia memimpin Lasykar Srikandi, dan mahir menunggang kuda dan memanah.
Bahkan dari isu-isu itu tetap merupakan permasalahan dan menjadi kepedulian para perempuan dewasa
ini. Di antara isu-isu itu adalah:
(1) pendidikan untuk perempuan,
(2) perkawinan anak-anak dan poligami, dan
(3) hak politik.
Pendidikan untuk Perempuan
Sebelum masa kolonial, kaum perempuan Indonesia sudah tentu mendapat pendidikan secara tidak formal. Di bawah asuhan dan pengawasan orang tuanya, gadis-gadis dididik agar dapat menjadi ibu dan istri yang baik. Mereka umumnya menikah pada usia yang sangat muda. Sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan yang ada diperuntukkan bagi anak laki-laki dan umumnya bersifat keagamaan. Para pemuda itu dididik agar mampu membaca dan memahami kitab-kitab suci dan kitab-kitab yang berisi ajaran keagamaan, karena mereka yang akan menjadi pemimpin dalam kehidupan kemasyarakatan dan keluarga pada khususnya. Keadaan berubah ketika datang kekuasaan kolonial Belanda.Sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Belanda mempunyai berbagai tujuan. Terutama adalah untuk mendukung kepentingan pemerintah kolonial Belanda yang membutuhkan banyak tenaga untuk menjalankan pemerintahan. Untuk kaum nasionalis pendidikan itu penting untuk membangkitkan kesadaran akan harga diri dan identitas sebagai orang.politik etis yang diusulkan oleh J. Th van Deventer khususnya di bidang edukasi membawa pengaruh yang besar bagi pendidikan kaum perempuan. Direktur Pendidikan Hindia Belanda yaitu J.H. Abendanon dan istrinya Rosa mendorong dibukanya kesempatan pendidikan untuk perempuan. Namun, pemerintah Hindia Belanda tidak memberi dukungan pada usulnya itu. Oleh karena itu, bersama dengan beberapa teman Belandanya, Abendanon dan istrinya, membuka sekolah yang dinamakan Kartini pada tahun 1913. Telah dibahas di bab sebelumnya bahwa sekolah Kartini yang dikhususkan untuk gadis-gadis Jawa ini berkembang dan didirikan di beberapa tempat seperti di Jakarta (1913), Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Indramayu, Surabaya, dan Rembang (1918). Dari sini kita melihat bahwa cita-cita Kartini untuk memajukan kaum perempuan Indonesia mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat.
Memasuki tahun 1910-an semakin banyak perempuan Indonesia memasuki dunia pendidikan Barat dan menjadi anggota elite modern, jumlah mereka memang masih kecil, bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan populasi perempuan di Hindia Belanda. Namun, peran mereka dalam usaha memajukan bangsa dan meningkatkan semangat kebangsaan khususnya di kalangan perempuan tidaklah kecil. Pendidikan untuk anak-anak gadis pun semakin,
diterima dengan baik oleh masyarakat, khususnya kelas menengah dan atas. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada umumnya memang masih terbatas di kalangan tersebut. Suatu hal yang patut diingat bahwa kesempatan memperoleh pendidikan telah membuka cakrawala baru bagi kaum perempuan Indonesia dan mendorong bangkitnya kesadaran untuk bergerak maju, meningkatkan peran dan statusnya dalam masyarakat, jumlahnya pun terus meningkat. Tahun 1909 anak gadis yang bersekolah di sekolah desa berjumlah 3.097 orang; tahun 1914 menjadi 19.455 orang, dan terus meningkat pada tahun 1919 berjumlah 36.649 orang. Selain sekolah Kartini, kita juga mengenal sekolah yang dibuka oleh Dewi Sartika di Jawa Barat, Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyah di Sumatera Barat, dan Maria Walanda Maramis diSulawesi Utara.Pada tahun 1914 pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu komisi,Oleh karena itu, kaum perempuan memerlukan pengetahuan modern untuk memahami dan mendukung gerakan kebangsaan yang sedang berkembang. Lebih lanjut mereka juga akan memahami arti kemerdekaan dan menjadi warga negara yang baik, yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan modern harus diberikan kepada kaum perempuan, artinya sekolah-sekolah yang ada harus membuka pintunya untuk para gadis yang berminat.
Memasuki tahun 1920-an organisasi-organisasi perempuan semakin dipengaruhi oleh kesadaran dan semangat nasionalisme. Misalnya pada bulan Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Resolusi pertama dari kongres ini berkaitan dengan pendidikan untuk anak-anak gadis. Kongres mendesak agar pemerintah meningkatkan jumlah sekolah untuk anak gadis sebab masih banyak orang tua yang enggan memasukan anak-anak perempuannya ke sekolah yang ko-edukasi.
perkawinan Anak-anak dan Poligami
Dorongan untuk memajukan pendidikan bagi perempuan antara lain bertujuan untuk mencegah gadis-gadis dipaksa menikah pada usia dini. Jika gadis-gadis mendapat pendidikan yang cukup, mereka akan menyadari tentang keadaan dan lingkungannya. Mereka mempunyai kemampuan untuk mandiri sehingga akan memungkinkan mereka menentukan jalan hidupnya. Jalan akan terbuka lebih lebar bagi mereka untuk menentukan arah hidupnya. Apakah akan menjadi ibu rumah tangga, akan meniti karier yang menjadi tujuan hidupnya, atau mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya.
Memang terjadi perdebatan tentang batas minimal usia bagi seseorang untuk menikah, khususnya bagi seorang gadis. Pada masa itu, umumnya para gadis tidak diajak berunding dalam menentukan nasibnya. Misalnya, di kalangan kelas atas atau bangsawan, gadis yang telah mencapai usia akil baliq akan dipingit artinya tidak bebas lagi bergerak di luar rumah tanpa pengawalan. Contohnya seperti yang dialami oleh R.A Kartini. Ia sangat prihatin pada perkawinan paksa gadis-gadis di usia yang sangat muda. Ia menganggap hal itu sebagai tindakan menekan hak-hak perempuan. Memang pada masa itu adalah hal yang biasa bagi seorang gadis dinikahkan pada usia 12 atau 13 tahun.
Di Sumatra Barat misalnya, surat kabar Sunting Melayu sering memuat artikel yang menentang perkawinan anak-anak. Seorang penulis mengemukakan bahwa anak gadis sebaiknya menikah setelah ia mencapai usia 18 tahun sehingga ia sudah dapat memahami kewajibannya sebagai istri dan ibu. Ia diharapkan sudah akan mampu mengurus anak yang dilahirkan. Ia juga berhak menentukan siapa yang akan dipilih menjadi suaminya
Pada tahun 1914 diterbitkan laporan dari Komisi Mindere Welvaart yang berisi antara lain pendapat dari beberapa tokoh perempuan Indonesia tentang perkawinan di bawah umur. Mereka semuanya menolak perkawinan anak-anak yang masih di bawah umur dan mengusulkan pada pemerintah Hindia-Belanda agar menghapuskannya.
Dewi Sartika seorang tokoh pendidik dari Bandung bahkan menyatakan bahwa perkawinan anak-anak adalah penyakit dalam masyarakat pribumi. Salah satu cara untuk menghapuskannya adalah dengan memberikan pendidikan kepada kaum perempuan. Anggota komisi yang lain adalah R. Ahmad Jayadiningrat, Residen Banten. Ia mengemukakan bahwa di Banten banyak terjadi perkawinan anak-anak. Salah satu penyebab adalah faktor ekonomi agar keluarga anak gadis lepas dari beban dan mengharapkan tenaga bantuan dari menantunya untuk menggarap sawah ladangnya.
Dampak dari perkawinan anak-anak adalah banyaknya perceraian dan poligami serta buruknya kesehatan si istri karena melahirkan dalam usia muda. Masalah perkawinan anak-anak ini juga diperdebatkan dalam sidang Volksraad. Namun, pemerintah Hindia Belanda sulit bertindak untuk mencegahnya karena banyak kaitannya dengan adat dan kebiasaan. Misalnya, ada kebiasaan yang disebut kawin gantung di mana pasangan anak-anak yang menikah tidak akan hidup bersama sebagai suami istri untuk beberapa waktu lamanya. Lagi pula ada harapan bagi beberapa kalangan bahwa dengan berkembangnya pendidikan dan terjadinya perubahan sosial praktik pernikah-an dini akan hilang dengan sendirinya.
la juga menyinggung tulisan Dr. Sutomo tentang perkawinan anak-anak seperti telah dikemukakan di atas. Mugarumah menggambarkan bagaimana anak gadis yang baru berumur 11 atai 12 tahun dikeluarkan dari sekolah oleh orang tuanya karena hendak dikawinkan. Lebih lanjut dikemukakan bagaimana seorang anak seumur itu jika mempunyai anak; apakah akan mampu memeliharanya. Lebih-lebih lagi apakah ia dapat memahami kewajibannya sebagai istri. Oleh karena itu, pembicara tersebut menyatakan perlunya anak-anak gadis diberi pendidikan yang cukup agar dapat menjalankan kewajibannya dengan baik. Ia juga menganjurkan agar Kongres dengan sekuat tenaga mengusahakan dihapuskannya perkawinan anak-anak,
Selain perkawinan anak-anak, kaum perempuan juga menaruh perhatian dan berusaha untuk menghilangkan ketidakadilan yang dialami kaum perempuan dalam perkawinan, di antaranya adalah sistem poligami, kawin paksa, dan perceraian. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan perkawinan dibahas dan dibicarakan dalam setiap KPI dan juga dalam organisasi-organisasi perempuan itu masing-masing. Misalnya, R.A.Sundari Sudirman wakil Putri Budi Sejati dari Surabaya dalam KPI I ini menyampai-kan pidatonya yang berjudul "Pergerakan Perempuan, Perkawinan dan Perceraian". Adapun inti dari pembicaraan yang dikemukakan oleh Ny. R.A.Sudirman ialah bahwa perempuan sebagai makhluk Tuhan jugaKPI sejak tahun 1928 dalam setiap pertemuannya selalu memasukkan masalah perkawinan dalam agendanya. Selain itu, juga mengajukan usul atau mosi kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk mengeluarkan peraturan atau undang-undang perkawinan. Misalnya, pada tahun 1937 pemerintah Hindia-Belanda menawarkan rancangan ordonansi perkawinan. Menurut rancangan ordonansi tersebut, ditentukan bahwa mereka yang mencatatkan perkawinan mereka secara sukarela diberlakukan asas monogami. Ternyata tidak semua organisasi perempuan anggota KPI menerima rancangan undang-undang tersebut. Beberapa organisasi yang berdasarkan Islam menolaknya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menarik kembali rancangan undang-undang tersebut.
beberapa perkumpulan perempuan Indonesia kemudian membentuk sebuah badan yang dinamakan Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak Indonesia (KPKPAI). Tujuan dan tugas dari lembaga ini adalah untuk memberi perlindungan kepada perempuan dan anak-anak dalam kehidupan perkawinan. Lembaga ini juga merencanakan suatu peraturan perkawinan dan membentuk Biro Konsultasi Perkawinan yang dipimpin oleh Ny. Maria Ulfah Santoso, S.H.
Hak di Bidang Politik dan Hak Pilih Aktif
Usaha gerakan perempuan untuk meningkatkan derajat kaumnya khususnya pribumi semakin lama semakin berkembang. Pada awalnya. usaha mereka masih sebatas lingkungan keluarga untuk kesejahteraan
kehidupan keluarga. Bagi perempuan khususnya adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan jaminan hak pribadi dalam kehidupan perkawinan. Kemudian sejalan dengan perkembangan semangat kebangsaan, kesadaran kaum perempuan Indonesia tentang hak politik pun semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan semakin banyaknya perempuan yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan Barat. Salah satu hak politik yang diperjuangkan ialah hak untuk memilih wakil-wakilnya dalam pemerintahan dan Dewan Rakyat (Volksraad).
Gerakan perempuan Indonesia menuntut hak bersuara berasal dari pengaruh yang didapat dari gerakan kaum perempuan Belanda di Hindia Belanda yang menuntut hak bersuara. Pada tahun 1918 dibuka Volksraad di mana beberapa kaum nasionalis pribumi diangkat sebagai anggotanya. Namun, tidak ada seorang perempuan pun yang menjadi anggota.
Ketika kaum perempuan di negeri Belanda mendapat hak bersuara atau hak memilih pada tahun 1919, para perempuan Belanda di Hindia Belanda juga menuntut hak yang sama diberikan kepada mereka. Mereka kemudian membentuk cabang Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht yang disingkat VVV (Asosiasi Hak Memilih Bagi Perempuan) di Hindia Belanda. Mereka mengaju-kan tuntutan hak suara dalam pemilihan wakil-wakilnya kepada Gubernur Jenderal. Namun, pemerintah kolonial tidak menanggapi tuntutan itu.16
Memasuki era 1920-an ada beberapa perempuan Indonesia yang bergabung dalam VVV. Dua orang yang terkenal ialah Rukmini Santoso adik R.A. Kartini dan Rangkayo Chailan Syamsu Datuk Tumenggung dari Sumatra Barat. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan hak pilih bagi perempuan semakin meningkat. Pada tahun 1935 seorang perempuan Belanda yaitu Ny. Razoux Schultz-Metzer diangkat sebagai anggota Volksraad. la mengajukan mosi yang berisi usulan agar segera dikeluarkan undang-undang hak pilih untuk semua golongan di Hindia Belanda. Usulan ini pun tidak ditanggapi oleh pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, dengan usaha yang gigih, pada tahun 1938 pemerintah Hindia Belanda memberikan hak pilih pasif dan baru pada tahun 1941 hak pilih aktif didapat oleh kaum perempuan Indonesia, ketika sidang Volksraad menyetujui dikeluarkan Ordonansi Pemilihan Anggota Dewan (Kiesordonantie Gemeenteraden). Akan tetapi, penggunaan hak pilih ini belum terlaksana, karena pada tahun 1942 bala tentara Jepang menjatuhkan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
b. Pertumbuhan dan Perkembangan Gerakan Perempuan
Semangat kebangsaan yang tumbuh dan berkembang pada awal abad ke-20 di Indonesia telah membawa pengaruh yang besar pada kaum perempuan pribumi. Salah satu faktor pendorongnya adalah pendidikan Barat yang menghasilkan elite baru dalam masyarakat kolonial yang disebut elite modern. Sama seperti kaum laki-laki, mereka ini tumbuh kesadarannya akan situasi dan kondisi hidup dalam masyarakat yang terjajah. Pendidikan Barat ini, seperti yang telah dinikmati antara lain oleh R.A Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, dan Rahma El Yunussiyah telah membantu kaum perempuan Indonesia menyatakan apa yang mereka butuhkan berdasarkan persepsi mereka sendiri. Mereka juga menyadari berbagai masalah yang dihadapi oleh orang Indonesia khususnya kaum perempuannya. Banyak hambatan yang dihadapi oleh kaum perempuan untuk dapat menentukan sendiri kehendaknya. Misalnya, masih ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah, karena tugasnya adalah di rumah menjadi istri dan ibu. Padahal, untuk dapat mendidik anak-anaknya, seorang ibu harus memahami dan mengetahui apa yang diperlukan oleh anaknya.
Oleh karena itu, dari beberapa orang yang beruntung dapat mengecap pendidikan Barat muncul tokoh-tokoh pergerakan perempuan. Pada awal abad ke-20 ini gerakan perempuan sering diidentifikasi dengan semangat nasionalisme. Namun, jika kita cermati sifat gerakan perempuan yang mendasar adalah semangat emansipasi. Tambahan lagi gerakan perempuan ini tidaklah mencerminkan dan mewakili keseluruhan kaum perempuan Indonesia. Perempuan yang hidup di perdesaan dan tidak berpendidikan atau perempuan dari kalangan etnik lain seperti Cina dan Arab tidak termasuk dalam gerakan perempuan ini. Gerakan perempuan ini didominasi oleh kaum perempuan terpelajar yang tinggal di wilayah perkotaan. Karena para pendirinya dan aktivisnya adalah kaum perempuan muda yang berpendidikan Barat, gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi perempuan itu terdapat di mana pendidikan Barat diadakan seperti di Jawa, di Sumatra, dan di Sulawesi Utara.
Yang dapat dianggap sebagai organisasi dan pelopor gerakan perempuan Indonesia adalah Putri Mardika yang dibentuk pada tahun 1912 di Jakarta atas bantuan Budi Utomo. Tujuan perkumpulan ini adalah memberi bantuan, bimbingan, dan penjelasan kepada para gadis pribumi dalam menuntut pelajaran. Melalui majalah yang diterbitkan yang juga bernama Poetri Mardika dikemukakan hal-hal yang berguna bagi kaum perempuan untuk menghilangkan rasa rendah diri dan meningkatkan derajatnya. Di samping itu, juga dibangkitkan kesadaran perempuan untuk berani bertindak di luar rumah dan menyatakan pendapatnya di muka umum. Organisasi ini juga memberi beasiswa kepada gadis-gadis yang ingin maju dan menerima anggota laki-laki. Ketuanya adalah R.A. Theresia Sabarudin dibantu oleh Sadikun Tondokusumo, R.A. Sutinah Joyopranoto, dan Rr. Rukmini. Walaupun Putri Mardika tidak berumur panjang, pengaruhnya cukup besar terhadap kaum perempuan pribumi yang berpendidikan.
Kemudian muncul berbagai organisasi perempuan di berbagai tempat, misalnya Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Hadi di Jepara (1915), Purborini di Tegal (1917), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), dan Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920). Di Bukittinggi, pada tahun 1920 terbentuk Serikat Kaum Ibu Sumatra dan di Gorontalo, Sulawesi Utara, pada tahun yang sama berdiri Gorontalosche Mohammedansche Vrouwen Vereeniging. Pada umumnya organisasi-organisasi ini bersifat sekuler dan bertujuan mempererat tali persaudaraan untuk bersama-sama mengusahakan kemajuan perempuan, meningkatkan kepandaian, mencari kesempatan lebih banyak untuk para gadis pribumi dalam memperoleh pendidikan, serta meningkatkan kesejahteraan perempuan dengan usaha menghapus ketidakadilan dalam keluarga dan masyarakat.
Di Minahasa, yang terletak tidak jauh dari Gorontalo berdiri organisasi yang bernama PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) pada tanggal 8 Juli 1917. Pelopornya adalan Maria Walanda Maramis (1872-1924) yang sejak lama menaruh perhatian pada pendidikan untuk para gadis walaupun dia sendiri hanya sempat bersekolah tiga tahun di sekolah desa. Sebagai anak yatim piatu, putri pedagang kecil, ia tidak berhak masuk ke sekolah yang lebih tinggi. Kesempatan mengembangkan diri akhirnya datang ketika ia menikah dengan Josef Frederik C. Walanda yang seorang guru.
Dengan bantuan dan dukungan suaminya ia belajar bahasa Belanda sehingga mampu membaca buku-buku dalam bahasa Belanda. Dari buku-buku yang dibacanya ia memperoleh banyak pengetahuan yang mendorong berkembangnya berbagai gagasan. Salah satu idenya adalah bagaimana cara-nya agar gadis-gadis yang lulus sekolah desa dapat melanjutkan pelajarannya tanpa terhalang oleh status orang tuanya. Maria sendiri mengalami bahwa ia tidak dapat melanjutkan studinya setelah lulus dari sekolah desa hanya disebabkan ayahnya sebagai pedagang kecil. Saudara-saudara sepupunya yang perempuan desa melanjutkan sekolahnya ke Miesjesschool karena pamannya yang juga memeliharanya adalah seorang Kepala Distrik dengan gelar mayor. Atas usaha kerasnya Maria Walanda Maramis berhasil membuka Sekolah Rumah Tangga PIKAT pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado. Pada awalnya sekolah ini diadakan di sebuah rumah milik seorang pedagang bangsa Belanda yang bernama A. Bollegraaf yang bersimpati pada usaha PIKAT. Para anggota PIKAT juga secara sukarela memberi sumbangan berupa barang-barang dan alat-alat yang diperlukan oleh sekolah ini. Sekolah ini menampung gadis-gadis yang baru menyelesaikan studinya di sekolah desa.
Langkah pertama yang diambil Nyai Ahmad Dahlan dalam mewujud-kan apa yang dicita-citakannya adalah dengan mengadakan pengajian bagi kaum perempuan dari segala usia di Kampung Kauman. Kegiatan semacam ini juga diselenggarakan di tempat lain. Bukan hanya pengajian, melainkan berbagai aktivitas yang berguna bagi perempuan juga dilakukan oleh para perempuan Muhammadiyah. Kelompok pengajian kaum perempuan Muhammadiyah ini kemudian dibina untuk membantu tugas-tugas bagian Penolong Kesengsaraan Oemat (PKO) Pengurus Besar Muhammadiyah dan diberi nama Sopo Tresno pada tahun 1914. Secara khusus tugasnya antara lain adalah menyantuni anak yatim piatu di samping kursus-kursus kepandaian putri.
Setelah Aisyiyah diresmikan berdirinya, Sopo Tresno pun resmi dibubarkan. Sebagaimana organisasi induknya, Aisyiyah tidak berpolitik dan hanya bergerak di bidang agama, pendidikan, dan sosial. Oleh karena itu, Aisyiyah bersama Muhammadiyah dapat mengembangkan kegiatannya.
Secara konkret usaha dan kegiatan Aisyiyah meliputi pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah, pertolongan pada anak yatim piatu, fakir miskin, janda yang telantar, korban bencana alam, dan sebagainya. Melalui pengajian dan pengajaran tentang berbagai keterampilan perempuan, diharapkan kaum perempuan dapat ikut bersama-sama kaum laki-laki membangun masyarakatnya. Para istri dapat menambah penghasilan keluarga dengan kegiatan perdagangan dan usaha di rumah. Aisyiyah juga menjalin hubungan dengan organisasi-organisasi perempuan lain di Hindia Belanda terbukti pada waktu diadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada tahun 1928 dan kongres-kongres perempuan lainnya Aisyiyah ikut aktif di dalamnya.
Memasuki tahun 1920-an gerakan kebangsaan semakin meningkat aktivitasnya. Sementara itu, pemerintah kolonial bereaksi dan bertindak semakin represif. Di kalangan kaum perempuan organisasi baru tumbuh dan berkembang dan organisasi-organisasi yang sudah ada pun berkembang kiprahnya walaupun harus selalu berhati-hati dalam mengeluarkan pernyata-an agar tidak ditindak oleh penguasa kolonial.
Dengan berkembangnya pendidikan untuk perempuan semakin banyak perempuan yang mampu berorganisasi. Organisasi-organisasi yang ada pun memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk menjadi anggotanya dan membentuk bagian perempuan, misalnya, Jong Java Meisjeskring, Taman Siswa (1922), dan Putri Indonesia (1927). Aisyiyah dari Muhammadiyah pun semakin berkembang. Pada tahun 1927 Sarekat Ambon mendirikan bagian perempuan yang dinamakan Ina Tuni.
Adapun kegiatannya terutama menyelenggarakan kursus-kursus keagama-an dan keterampilan perempuan. JIBDA diketuai oleh Ny. Rangkayo Datuk Tumenggung. Tokoh-tokoh lain dari JIBDA di antaranya adalah Sukaptinah (Ny. Sunaryo Mangunpuspito), Ny. Emma Puradiredja, Ny. Kasman Singodimedjo, dan Ny. Moh. Roem. Ketika Kongres Perempuan Indonesia I diadakan, JIBDA juga aktif turut berpartisipasi.
Bagian perempuan dari perkumpulan Pemuda Indonesia (Jong Indonesie) dibentuk di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta dengan nama Putri Indonesia. Sama seperti Pemuda Indonesia tujuannya adalah memperkuat dan mengem-bangkan semangat persatuan dan kebangsaan Indonesia. Hal ini banyak dipengaruhi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Anggota Putri Indonesia umumnya adalah gadis-gadis yang telah mengecap pendidikan Barat. Kesadaran kebangsaan mereka cepat berkembang di samping kesadaran untuk meningkatkan peran dan status kaum perempuan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Putri Indonesia menekankan pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan. Sebagai ibu rumah tangga pengetahuan umum juga diperlukan karena mereka adalah pendidik bagi anak-anaknya.
Pada tahun 1928 dibentuk dewan pengurus di Yogyakarta dengan susunan sebagai berikut:
Ketua: Suyatin (Ny. S. Kartowiyono)
Penulis:Ismudiati (Ny. Abdurrahman Saleh)
Bendahara:Sukaptinah (Ny. Sunaryo Manungpuspito)
Putri Indonesia cabang Bandung dipimpin oleh Suwarni Joyosaputro yang pada tahun 1929 menjadi Ketua Pengurus Besar Putri Indonesia yang berkedudukan di Bandung.
Kaum perempuan yang beragama Katolik pun tidak mau tinggal diam. Mereka membentuk organisasi yang diberi nama Wanita Katolik di Yogya-karta pada tanggal 26 Juni 1924. Adapun tujuan organisasi ini adalah memberi kesadaran kepada para anggotanya agar menjadi warga gereja dan warga negara yang baik. Mereka juga harus meningkatkan martabatnya sebagai perempuan Katolik. Setelah Wanita Katolik terbentuk, segera berdiri cabang-cabangnya di tempat-tempat yang banyak warga penganut Katolik, seperti di Solo, Klaten, Semarang, Magelang, Muntilan, dan Surabaya. Wanita Katolik juga turut aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928 di Yogyakarta.
Para pengurus Besar Budi Utomo pada tanggal 24 April 1921 mendirikan perkumpulan khusus perempuan di Yogyakarta yang dinamakan Wanito Utomo. Organisasi ini tidak khusus untuk para istri anggota Budi Utomo, tetapi juga menerima perempuan-perempuan lain di luar Budi Utomo yang berminat. Tujuannya adalah memajukan keterampilan perempuan sesuai
bertambah. Demikian juga dengan jumlah anggotanya yang semakin meningkat sejalan dengan semakin besarnya kesempatan belajar bagi kaum perempuan. Peningkatan perhatian ke arah politik juga semakin tampak jelas dengan bertambahnya jumlah kaum perempuan yang turut serta dan aktif dalam organisasi-organisasi yang sering disebut sebagai organisasi laki-laki seperti Sarekat Islam, PNI, dan PKI.
Atas inisiatif tujuh organisasi perempuan yaitu Wanito Utomo, Putri Indonesia, Aisyiyah, Wanita Taman Siswa, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling, Jong Java Meisjeskring, Wanita Katolik dengan tiga tokoh pem-rakarsa yaitu Ny. R.A. Sukonto, Nyi Hajar Dewantara, dan Suyatin (Ny. S. Kartowiyono) diadakan Kongres Perempuan Indonesia dari tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres diselenggarakan di Pendopo Joyodipuran, Yogyakarta milik seorang bangsawan keraton yang bernama R.T. Joyodipuro
Susunan Pengurus Kongres adalah sebagai berikut:
Ketua: Ny. R.A. Sukonto (Wanito Utomo)
Wakil Ketua:Nn. St. Munjiah (Aisyiyah)
Penulis I:. St. Sukaptinah (Ny. Mangunpuspito (JIBDA)
Penulis I:Nn. Sunaryati (Ny. Sukemi) (Putri Indonesia)
Bendahari I
: Ny. Harjodiningrat (Wanita Katolik)
Bendahari II:Nn. R.A. Suyatin (Ny. Kartowiyono) (Putri Indonesia)
: Anggota : Nyi Hajar Dewantara (Wanita Taman Siswa)
Anggota Ny. Driyowongso (Perempuan PSII = Partai Sarekat Islam Indonesia): Ny. Muridan Noto (Wanita PSII) Anggota: Ny. Umi Salamah (Wanita PSII) Anggota: Ny. Johanah (Aisyiyah
Anggota : Nn. Badiah Muryati (Jong Java Dames Afdeeling)Anggota : Nn. Hayinah (Ny. Mawardi) (Aisyiyah)
Anggota Nn. Ismudiyati (Ny. A. Saleh) (Wanito Utomo)
Anggota Ny. R.A. Mursandi (Wanita Katolik). Anggota ini berhalangan hadir.
Kongres Perempuan Indonesia I dibuka pada Sabtu malam tanggal 22 Desember 1928 dihadiri oleh sekitar 1.000 orang. Di samping anggota delegasi dari berbagai organisasi perempuan, hadir juga beberapa tokoh pergerakan nasional seperti Mr. Singgih dan Dr. Supomo dari Budi Utomo, Mr. Suyudi dari PNI, Dr. Sukiman dari PSI dan A.D. Haani dari Walfajri. Perhatian peserta selama kongres berlangsung yang tiga hari lama tetap besar. Menurut laporan walaupun hujan deras peserta tetap datang sehingga jumlahnya berkisar antara 500-750 orang.
Dari laporan kongres yang didokumentasikan secara lengkap dan dengan baik oleh Susan Blackburn, dapat diketahui ada 15 pembicara yang mewakili berbagai organisasi. Pokok permasalahan yang dikemukakan terutama berkisar pada masalah-masalah yang dihadapi kaum perempuan pada masa itu dan bagaimana menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Cara dan gaya para pembicara pun memiliki kekhasan sendiri. Misalnya Nyi Hajar Dewantara yang mengemukakan tentang perilaku atau adab yang baik bagi perempuan disampaikan dalam bahasa Jawa. Menurut Nyi Hajar perilaku adab yang baik adalah yang bersifat menghargai termasuk menghargai dirinya sendiri.
Usaha-usaha yang akan dijalankan antara lain menerbitkan surat kabar yang akan menjadi tempat bagi kaum perempuan Indonesia untuk mengemu-kakan gagasan dan kehendak yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya; membentuk studie fonds (badan derma) untuk membantu gadis-gadis yang tidak mampu bersekolah, mencegah perkawinan anak-anak, selain itu juga mengirim mosi kepada pemerintah Hindia Belanda agar.
1. secepatnya mengadakan dana untuk janda dan anak-anak,
2. jangan mencabut onderstand (tunjangan pensiun), dan
3. memperbanyak jumlah sekolah khusus untuk para gadis juga mengirim mosi kepada pengadilan agama agar setiap talak dikukuhkan secara tertulis sesuai dengan peraturan agama Islam.
Adapun susunan pengurus PPI pada tahun 1928 adalah sebagai berikut:
Ketua: Ny. R.A. Sukonto (Wanito Utomo)
Wakil Ketua:Nn. R.A. Suyatin (Ny. Kartowiyono)
Penulis I: Nn. St. Sukaptinah (Ny. Mangunpuspito)
Penulis II:Nn. Mugarumah
Bendahari: Ny. R.A. Harjodiningrat
Komisaris: Nyi Hajar Dewantara
Komisaris:Nn. St. Munjiyah.
Organisasi perempuan yang langsung bergabung dalam PPI adalah:
Perempuan Utomo (Mataram atau Yogyakarta),Wanita Katolik (Yogyakarta),Taman Siswa (Yogyakarta),Aisyiyah (Yogyakarta),Jong Islamieten Bond Bagian Wanita (Yogyakarta),Putri Indonesia (Yogyakarta),Jong Islamieten Bond Bagian Wanita (Jakarta),Jong Islamieten Bond Bagian Wanita (Tegal),Wanita Katolik (Solo),Karto Woro (Solo),Aisyiyah (Solo),Panti Krido Wanito (Pekalongan),Budi Wanito (Solo),Kusumo Rini (Kudus),Darmo Laksmi (Salatiga),Putri Indonesia (Surabaya),Wanita Sejati (Bandung),Margining Kautaman (Kemayoran),Putri Budi Sejati (Surabaya).
Pada bulan Mei 1929 PPI mengadakan pertemuan di Yogyakarta. Isu perkawinan anak merupakan topik yang menjadi pokok pembicaraan. Kemudian dari tanggal 28-31 Desember di Jakarta diadakan Kongres PPI II. Dalam kongres ini diadakan beberapa perubahan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART). Bentuk badan hukumnya diubah menjadi federasi dan namanya pun diubah. Perikatan Perempoean Indonesia (PPI) menjadi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan akhirnya dalam kongres ini diterima kesepakatan bahwa namanya menjadi Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII).
Selain itu, anggota PPII dianjurkan untuk memberi penyuluhan tentang kebersihan di kampung-kampung dan perlunya menyadari hidup bersih dan sehat untuk mengurangi jumlah kematian bayi. Yang penting adalah mening-katkan perhatian pada nasib perempuan dan anak-anak dengan membentuk Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A). Dewasa ini masalah tersebut dikenal dengan istilah human traficking (perdagangan manusia). Kongres juga memutuskan mengirim utusan ke All Asian Women Conference di Lahore pada bulan Januari 1931. Tujuannya agar terjalin hubungan kerja sama dengan organisasi perempuan di dunia inter-nasional. Wakil Indonesia yang dikirim ialah Sunaryati (Ny. Sukemi) dan R.A Rukmini adik R.A. Kartini.
Tahun 1932 diadakan Kongres PPII di Solo yang dipimpin oleh Ny. Mustajab. Kongres yang berlangsung selama lima hari (25-29 Maret) ini masih membicarakan hal-hal yang menjadi kepedulian kaum perempuan. Kegiatan semakin ditingkatkan seperti penerbitan surat kabar Isteri yang pusatnya dipindahkan ke Surabaya. Seri Derma ditingkatkan statusnya menjadi yayasan sehingga kiprahnya semakin meluas dan semakin banyak anak-anak gadis yang mendapat bantuan. Yang menarik adalah gerakan hidup sederhana berupa anjuran kepada orang kaya agar hidup sederhana dan kelebihan hartanya diberikan sebagai sumbangan bagi mereka yang kurang mampu. Juga anjuran pada para ibu agar mengamati perilaku dan pergaulan putra-putrinya supaya sesuai dengan sopan santun dan nilai-nilai ketimuran. Kongres juga mendorong kerja sama yang semakin erat antarsesama anggota dan kalau dimungkinkan mengadakan penggabungan. Hasilnya pada bulan Juni 1932 di Yogyakarta diadakan pertemuan dari beberapa organisasi dan membentuk Isteri Indonesia yang berasas kebangsaan, kerakyatan, dan bertujuan Indonesia Raya, Ketuanya pada periode 1932-1933 adalah Ny. Sh. Suparto, tahun 1933-1940 Ny. Sunaryo Mangunpuspito, dan periode 1940-1942 Ny. Maria Ulfah Santoso, S.H
Adapun dasar dari KPI II, sebagai berikut:
1. Kenasionalan artinya tiap-tiap perkumpulan yang turut haruslah mengakui bahwa Indonesia adalah tumpah darahnya dan bekerja untuk rakyat Indonesia pada umumnya.
2. Kesosialan artinya segala pembicaraan dan pekerjaan ditujukan kepada perbaikan masyarakat pada umumnya, dengan tiada memasukkan soal agama dan politik.
3. Kenetralan artinya:
a. bahwa tiap-tiap anggota wajib menghargai pendirian dan haluan masing-masing golongan;
b. perbedaan dalam paham dan haluan hendaknya dipandang sebagai suatu hal yang dapat menambah luas dan dalamnya pandangan masing-masing.
4. Keperempuanan artinya bahwa pekerjaan Kongres harus ditujukan kepada pembukaan segala jalan bagi perempuan Indonesia ke arah kemajuan dan ketinggian derajatnya untuk menjalankan kewajibannya sebagai Ibu bangsa. Konsep "Ibu Bangsa" ini sangat penting untuk ditelaah karena dalam KPI II ini ditekankan tentang kewajiban utama perempuan Indonesia adalah untuk berusaha menumbuhkan gerenasi baru yang lebih sadar akan kebangsaannya. Untuk mencapai hal itu harus dijalin hubungan yang baik antara generasi tua dan generasi muda, sehingga tercipta saling pengertian dan saling menghargai.
Untuk menjadi ibu bangsa yang baik, kaum perempuan harus memiliki pengetahuan yang baik. Oleh karena itu, salah satu tugas anggota kongres adalah kewajiban mengadakan usaha pemberantasan buta huruf (PBH). Salah satu anggota kongres yang aktif melakukan PBH adalah Aisyiyah. Bersama-sama dengan Muhammadiah, Aisyiyah bersama cabang-cabangnya yang tersebar di banyak tempat, terutama di Jawa dan Sumatra, menjalankan program kerja seperti yang diputuskan oleh KPI II, antara lain PBH di kalangan kaum ibu, memberantas perkawinan anak-anak dan kawin paksa, melindungi kaum istri yang tertindas, dan meningkatkan kecerdasan kaum perempuan melalui berbagai pendidikan dan pengajaran.Di bawah pimpinan Ny. Sri Mangunsarkoro dibentuk suatu badan yang berkewajiban menyelidiki keadaan kaum buruh perempuan di seluruh Indonesia. Badan ini dinamakan Badan Penyelidik Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI). Para anggota KPI berkewajiban untuk memberi bantuan kepada mereka yang mengalami ketidakadilan baik dalam pekerjaan maupun dalam perkawinan. Anjuran hidup sederhana juga terus digiatkan agar kelebihan kekayaan pada mereka yang berkecukupan dapat digunakan untuk perjuangan kebangsaan. Jumlah anggota KPI II bertambah besar dibandingkan dengan KPI I. Namun, masih ada organisasi perempuan yang tidak bergabung dalam KPI II misalnya Istri Sedar yang dipimpin oleh Ny. Suwarni Pringgodigdo. Organisasi yang dibentuk tahun 1930 ini semula ikut dalam KPI II. Akan tetapi, karena ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan prinsip yang dianutnya misalnya tentang kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan Islam yang mengizinkan poligami, Istri Sedar keluar dari ΚΡΙ ΙΙ,
Masalah-masalah besar yang dihadapi kaum perempuan Indonesia tetap menjadi perhatian utama dan masuk menjadi agenda dalam Kongres Perempuan Indonesia IV. Kongres ini diadakan pada tanggal 25-28 Juli 1941 dan dipimpin oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito. Perhatian organisasi-organisasi perempuan yang menjadi anggota KPI tetap besar membuat mereka semakin bersemangat memperjuangkan bukan saja hak-hak perempuan, melainkan juga hak-hak bangsa Indonesia secara keseluruhan.
etika kaum nasionalis Indonesia memperjuangkan hak-haknya melalui aksi menuntut "Indonesia Berparlemen" melalui GAPI (Gabungan Politik Indonesia), di Volksraad para anggota KPI turut mendukung aksi tersebut. Demikian juga ketika GAPI menolak diberlakukannya wajib militer bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi serangan bala tentara Jepang, kaum perempuan menyetujui dan memperkuat penolakan tersebut. Hal ini menun-jukkan semakin meningkat dan semakin kuat kesadaran dan semangat kebangsaan kaum perempuan Indonesia. Hal lain yang perjuangkan oleh kaum perempuan Indonesia melalui KPI adalah tuntutan diberikan hak memilih wakil-wakil rakyat bagi perempuan Indonesia. Kaum perempuan Indonesia berpendapat bahwa kaum perempuan Indonesia juga harus diikutsertakan menentukan kebijakan yang akan menentukan nasib bangsa melalui wakil-wakil yang dipilihnya; bukan wakil-wakil yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda seperti yang telah dilakukan untuk anggota beberapa dewan kota atau dewan daerah.
Selain semangat kebangsaan, unsur utama yang menjadi dasar pergerakan perempuan adalah semangat persatuan. Hal ini tercermin dalam Kongres Perempuan Indonesia di mana berbagai organisasi perempuan bersatu tanpa membedakan aliran, golongan, dan agama atau kepercayaan. Tujuannya adalah menjunjung tinggi kemanusiaan berdasarkan keadilan. Segala hal yang menjadi kepedulian dan diperjuangkan oleh kaum perempuan Indonesia di masa pergerakan kebangsaan terus berkembang hingga ke masa kini.
2. Gerakan Pemuda dan Kepanduan
Pergerakan Pemuda yang pertama didirikan ialah Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Sungguhpun perkumpulan ini segera akan menjadi perkumpulan kaum tua, pada waktu lahirnya sebagian besar dari promotor-promotornya ialah pemuda, murid beberapa sekolah menengah, di antaranya R. Sutomo dan R. Gunawan Mangunkusumo. Cita-cita untuk melangsungkan pergerakan nasional untuk tanah Jawa itu muncul dari M. Wahidin Sudiro Husodo seorang dokter pensiunan yang merasa tidak puas akan keadaan bangsa dan tanah airnya. Akan tetapi, pada kongresnya pertama Budi Utomo di Yogya pada tanggal 5 Oktober 1908, kelihatan bahwa perkumpulan tersebut bukan perkumpulan pemuda melainkan per-
kumpulan kaum tua, oleh karena semangat kongres itu bukan semangat pemuda dan yang memegang pimpinan semua kaum tua. Sebagian besar dari anggota perkumpulan terdiri dari ambtenaar-ambtenaar dari golongan bangsawan.
Ada satu hal yang dapat membuktikan bahwa pada waktu itu rasa persatuan sudah mulai tumbuh. Oleh karena anggota Budi Utomo terdiri dari penduduk Jawa, Madura, dan Bali, permusyawaratan dalam semua kongres memakai bahasa Indonesia.
Lama-kelamaan golongan pemuda merasa tidak puas terhadap Budi Utomo yang condong menjadi perkumpulan kaum tua. Makin disadari bahwa pemuda harus mempunyai perkumpulan sendiri, di mana pemuda dapat dididik secara pemuda untuk memenuhi kewajibannya di kelak kemudian hari.
Pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta dr. R. Satiman Wiryosandjoyo, Kadarman dan Sunardi dan beberapa pemuda lainnya bermufakat untuk mendirikan perkumpulan pemuda di mana yang diterima sebagai anggota hanya anak-anak sekolah menengah yang berasal dari Pulau Jawa dan Madura. Perkumpulan yang diberi nama Tri Koro Dharmo merupakan gerakan pemuda pertama yang sesungguhnya. Pada tahun itu juga didirikan cabang di Surabaya. Pada mulanya cabang Jakarta mempunyai lebih kurang 50 anggota. Majalah perkumpulannya juga bernama Tri Koro Dharmo yang diterbitkan untuk pertama kalinya pada tanggal 10 November 1915. Tujuan perkumpulan yakni mencapai Jawa Raya dengan jalan memperkukuh rasa persatuan antara pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok. Tri Koro Dharmo berarti tiga tujuan yang mulia: sakti, budi, dan bakti.
Asas perkumpulan yaitu:
1. menimbulkan pertalian antara murid-murid bumiputra pada sekolah. menengah, dan kursus perguruan kejuruan dan sekolah vak;
2. menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya;
3. membangkitkan dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan budaya Indonesia. 185
Namun, karena sifatnya masih Jawa sentris, pemuda-pemuda Sunda dan Madura merasa tidak senang. Untuk menghindari perpecahan, pada kongres di Solo ditetapkan bahwa mulai tanggal 12 Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java.
Perkembangan gerakan politik ternyata juga menyeret Jong Java sehingga masalah ini menjadi hangat dalam kongres VII tahun 1924. Ada usul supaya Jong Java tetap tidak dijadikan perkumpulan politik, tetapi kepada anggota yang sudah cukup dewasa diberi kebebasan berpolitik. Sikap ini disokong oleh Agus Salim yang mencoba memasukkan soal agama dalam ong Islamieten Bond juga menerbitkan majalah yang diberi nama Al-Noer. Untuk menggalang persatuan dengan perkum-pulan pemuda-pemuda Islam lainnya dibentuklah Pemuda Muslimin Indonesia. Sejalan dengan munculnya Jong Java, berdiri pula perkumpul-perkumpulan pemuda yang berdasarkan kedaerahannya seperti Pasundan, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Celebes (Sulawesi), dan Timorees Verbond yang kesemuanya bercita-cita ke arah kemajuan Indonesia, terutama memajukan budaya dan daerah masing-masing.
Jong Sumatranen Bond didirikan oleh murid-murid sekolah yang berasal dari Sumatra pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta, yang kemudian mempunyai cabang di Padang dan Bukittinggi. Tujuannya adalah memper-erat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra. Di antara pemimpin-pemimpin perkumpulan ini terdapat Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin. Dapat dilihat bahwa beberapa perkumpulan mengandung dalam susunannya atau bentuknya benih-benih yang dapat ditujukan ke arah persatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemuda-pemuda Indonesia merasa perlunya persatuan pemuda-pemuda Indonesia yang dituangkan dalam satu wadah sehingga dapat satu derap langkah yang sama dalam mencapai apa yang dicita-citakan oleh pemuda Indonesia umumnya
Selanjutnya pada tanggal 31 Agustus 1926 disahkanlah anggaran dasar perhimpunan baru yang bernama Jong Indonesia, dengan tujuan menanam-kan dan mewujudkan cita-cita persatuan seluruh Indonesia, dengan dasar nasionalisme menuju ke arah terwujudnya Indonesia Raya. Perhimpunan ini terlepas dari semua perkumpulan pemuda Indonesia, bersifat permanen dan diurus oleh satu komite atau dewan.
Usaha perhimpunan baru itu tidak dapat berbuat seperti yang diharapkan. Pada awal tahun 1927 oleh Algemene Studie Club di kota Bandung didirikan perkumpulan pemuda yang juga dinamakan Jong Indonesia, kelak diganti dengan nama Pemuda Indonesia. Tujuan perkumpulan ini tidak banyak bedanya dengan Jong Indonesia, hanya susunannya berlainan. Tidak berpolitik, tetapi anggota-anggota secara perseorangan boleh.
Atas inisiatif PPPI kembali pada tanggal 27-28 Oktober 1928 dilangsung-kan Kongres Pemuda Indonesia II untuk mempersatukan segala perkumpulan pemuda Indonesia yang ada dalam satu badan gabungan. Kongres menghasilkan sumpah pemuda yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda. Isinya tiga sendi persatuan Indonesia, yaitu persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa. Kepada kongres juga diperkenalkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman, dan bendera Merah Putih yang dipandang sebagai bendera pusaka bangsa Indonesia.
Oleh karena dinyatakan bahwa Indonesia Muda tidak berpolitik, aktivitasnya menjadi kurang kelihatan. Walaupun begitu pemerintah masih juga mencurigainya, sehingga murid beberapa sekolah pemerintah dilarang menjadi anggotanya, bahkan banyak dengan alasan yang tidak meyakinkan.
Politik reaksioner Gubernur Jenderal de Jonge (terutama tahun 1932-1937) tidak hanya melumpuhkan gerakan partai-partai politik tetapi juga organisasi-organisasi pemuda. Artikel 153 bis dan terbanyak menimbulkan korban bagi pemuda-pemuda. Adanya ordonansi sekolah-sekolah liar juga menjadi hal yang sangat menghebohkan. Melihat hal ini Indonesia Muda mencoba untuk mengadakan kongres pada tahun 1936, tetapi gagal karena tidak ada izin pemerintah. Barulah pada tahun 1938 dapat diadakan Kongres Pemuda Indonesia III di Yogyakarta. Hasilnya ialah federasi organisasi-organisasi pemuda dengan pusat di Jakarta. Kongres juga memutuskan mengenai kata "kemerdekaan Nusa dan Bangsa" diganti dengan "menjunjung martabat Nusa dan Bangsa". Ini disebabkan kata "kemerdekaan" tersebut tabu bagi pemerintah Belanda.Gerakan pemuda Indonesia tidak hanya terbatas di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri terutama di Eropa dan negara-negara Arab. Yang paling menonjol adalah Perhimpunan Indonesia, berpusat di negeri Belanda yang banyak melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa di kemudian hari. Konferensi-
konferensi internasional seperti Konferensi Pemuda Internasional (di Paris tahun 1937), 18 Konferensi Student Internasional (di Paris 1937), konferensi antara mahasiswa Belanda, Inggris, Cina, India, dan Indonesia (di Leiden tahun 1938) dan Kongres Pemuda Sedunia (di Amerika Serikat tahun 1939) dihadiri oleh utusan-utusan pemuda Indonesia. Kehadirannya tidak hanya. mempropagandakan nama Indonesia di luar negeri tetapi juga menggalang persahabatan dengan pemimpin-pemimpin pemuda bangsa lain dalam usaha mencapai cita-cita Indonesia Merdeka.
Pada masa pergerakan nasional, di samping ada gerakan politik, sosial, pemuda, dan perempuan, juga ada gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan di Hindia Belanda (Indonesia) merupakan perkembangan dari gerakan kepanduan yang didirikan di Inggris oleh Robert Stephenson Smyth Baden-Powell yang kemudian terkenal dengan sebutan Lord Baden-Powell. Dari Inggris organisasi kepanduan masuk ke negeri Belanda dan dari sana kemudian ke Hindia Belanda.
Kemudian pada awal tahun-tahun 1920-an Partai Komunis Indonesia (PKI)Anggotanya ialah murid-murid sekolah Sarekat Islam (SI) Merah dan Sarekat Rakyat (SR). Terutama di daerah Semarang banyak kepanduan komunis yang berhubungan dengan PKI. 194 Budi Utomo mendirikan Nationale Padvinderij (NP, tahun 1921); Jong Java (JJ) di Solo mendirikan Jong Java Padvinderij (JJP, tahun 1922);% Jong Islamieten Bond (JIB) di Jakarta mendirikan Nationaal Islamitische Padvinderij (Natipij, tahun 1925); Jong Sumatranen Bond (JSB) kemudian bernama Pemuda Sumatera (PS) di Jakarta mendirikan Pandu Pemuda Sumatra (PPS, tahun 1926), 1% SI mendirikan kepanduan bernama Sarekat Islam Afdeeling Padvinderij (SIAP, tahun 1927). Algemeene Studieclub di Bandung mendirikan Nationale Padvinders Organisatie (NPO).
saha yang kedua ini caranya dengan mengubah kalimat-kalimat dalam Anggaran Dasar (AD) sehingga longgar agar kepanduan-kepanduan Indonesia mau menggabungkan diri dengan mereka. Namun, hanya satu organisasi kepanduan yang masuk dalam NIPV yaitu kepanduan milik kaum teosofi bernama Jong Indonesische Padvinders Organisatie (JIPO, Maret 1927), sedangkan organisasi-organisasi kepanduan lainnya menolak. 198 Oleh karena penolakan tersebut, pada tahun itu juga NIPV melarang organisasi kepanduan Indonesia memakai istilah padvinders dan padvinderij.
Menanggapi larangan tersebut, H. Agus Salim dalam kongres kepanduan SI pertama (2-5 Februari 1928) di Banjarnegara, Jawa Tengah, mengusulkan agar istilah padvinders diganti dengan "pandu" (penunjuk jalan) dan padvinderij diganti dengan "kepanduan". Usul tersebut diterima sehingga nama kepanduan SI yang semula bernama Sarekat Islam Afdeling Padvinderij sejak itu bernama Sarekat Islam Afdeling Pandu (singkatannya sama, SIAP), 199
Pada bulan Juni 1929 di Jakarta atas prakarsa INPO diadakan konferensi pengurus-pengurus besar dari berbagai perkumpulan kepanduan. Hadir dalam kongres itu utusan dari INPO, PK, Natipij, PPS, dan SIAP. Konferensi sepakat untuk mendirikan badan federasi organisasi-organisasi kepanduan, bernama Persaudaraan Antara Pandu Indonesia (PAPI). Badan federasi ini dipimpin oleh Mr. Sunaryo, salah seorang pemimpin PNI. Tujuan PAPI adalah menyatukan berbagai pengurus besar kepanduan Indonesia dengan tujuan untuk mempertinggi derajat perkumpulan dan memperkuat hubungan satu sama lain. Organisasi kepanduan yang bergabung dalam PAPI adalah INPO, JJP, Natipij, SIAP, NP, Al Kasysyaaf dari Wal-Fajrie, dan Siswo Proyo dari Taman Siswa, sedangkan Hizbul Wathon tidak ikut bergabung.
Badan federasi tersebut tidak berumur panjang. Pada tanggal 15 Desember 1929 di Batavia diselenggarakan konferensi pengurus-pengurus besar dari berbagai organisasi kepanduan. Konferensi memutuskan membentuk dua badan fusi, satu untuk pandu-pandu nasional (nonagama) dan satu lagi untuk pandu-pandu Islam.
Badan fungsi kepanduan nasional akan mengikuti peraturan-peraturan kepanduan dunia, tetapi akan disesuaikan dengan keadaan yang khusus di Indonesia, dengan mengingat adat istiadat dan watak bangsa Indonesia. Fusi kepanduan-kepanduan nasional bernama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dilaksanakan pada awal tahun 1931 dimulai dengan 57 cabang. KBI berdiri sendiri, berhaluan kebangsaan yang diwujudkan antara lain dengan kain leher berwarna Merah Putih dan panji-panji Merah Putih. Pandu kebangsaan yang meleburkan diri adalah JJP, INPO, dan Pandu Pemuda Sumatra. 205 Namun, di luar KBI masih ada kepanduan kebangsaan lainnya, yaitu Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI) yang didirikan di Malang, Jawa Timur oleh PNI Baru tahun 1931
Hizbul Wathon dari Muhammadiyah, SIAP dari SI, Natitij dari Jong Islamieten Bond, dan Al-Kasysyaaf dari Wal-Fajrie lambat laun berfusi menjadi Islamitische Padvinders-Organisasi (Organisasi Pandu Islam). Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) dari Mangkunegaran, Solo, kepanduan-kepanduan nasional-budaya yang kecil seperti Siswo Proyo dari Taman Siswa tetap berdiri sendiri.
Berhubung di luar KBI masih ada organisasi-organisasi kepanduan, KBI dan organisasi kepanduan lain berusaha untuk menyatukannya dengan
membentuk badan federasi kepanduan. Dalam konferensi antara KBI, SIAP, Natipij, dan Hizbul Wathon di Bandung tanggal 30 April 1938 diputuskan untuk mendirikan badan federasi baru yang diberi nama Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI). Sebagai ketua terpilih Syamsu Harya Udaya dari KBI. Badan federasi tersebut mencakup semua organisasi kepanduan yang tidak menjadi anggota NIPV. Organisasi kepanduan yang bergabung dalam BPPKI (bulan Februari 1941) adalah KBI, SIAP, Kepanduan Islam Indonesia (KII), Hizbul Islam, Sinar Pandu Kita, Al Wathony, dan Kepanduan Asas Katolik Indonesia (KAKI). Organisasi kepanduan yang belum bergabung adalah Hizbul Wathon dan Kepanduan Masehi Indonesia (KMI),20
BPPKI pada tanggal 10 Februari 1941 mengadakan konferensi di Solo, yang memutuskan antara lain: Semua kepanduan Indonesia boleh masuk badan federasi; Merah Putih diakui sebagai bendera persatuan federasi; Perkemahan besar yang diberi nama Perkemahan Kepanduan Indonesia Umum (Perkino) akan diselenggarakan di Yogyakarta bulan Juli 1941; Perkino hanya boleh diikuti oleh kepanduan-kepanduan Indonesia yang tidak tergabung dalam NIPV; pengurus BPPKI terdiri atas wakil-wakil KBI (sebagai Ketua), SIAP sebagai sekretaris, dan Natipij (sebagai bendahara).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
