Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ananda Bilqis

Mahasiswa Zaman AI: Antara Kemudahan dan Krisis Kreativitas

Teknologi | 2025-11-05 22:27:26

Di era digital, kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT, Gemini, dan Perplexity bukan lagi hal asing di kalangan mahasiswa. AI mampu membantu menyusun esai, menerjemahkan teks, hingga membuat presentasi dalam hitungan detik. Dengan AI semua tugas mahasiswa dapat terselesaikan dengan mudah. Namun, di balik kemudahan itu muncul pertanyaan penting: apakah mahasiswa masih benar-benar berpikir kreatif? Atau malah dengan adanya AI justru menghambat proses berpikir kreatif mahasiswa?

Kecerdasan Buatan (AI) 

Kaplan dan Haenlein (2020) menjelaskan bahwa AI merupakan sistem yang mampu menginterpretasi data, belajar dari pengalaman, serta beradaptasi untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks pendidikan, AI digunakan untuk mempersonalisasi pembelajaran, meningkatkan efisiensi, dan menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik (Hendri, 2024).

Berdasarkan penelitian di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan menunjukkan bahwa penggunaan AI dan kemandirian belajar secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap kreativitas mahasiswa. AI membantu mahasiswa dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas tugas, tetapi penggunaan AI yang berlebihan cenderung menurunkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas jika tidak diimbangi dengan kemandirian belajar (56,1% variasi kreativitas dapat dijelaskan oleh AI dan kemandirian belajar). Penelitian lain yang dilakukan oleh (Ulfah, 2024) dengan judul “Dampak Ketergantungan AI Terhadap Kemampuan Analisis dan Kreatif Mahasiswa”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa banyak mahasiswa menggunakan AI untuk mengerjakan tugas perkuliahan hal ini mengakibatkan melemahnya kemampuan menulis dan berpikir kritis mereka serta mengurangi kemampuan analisis mahasiswa.

AI sebagai Alat Pembantu atau Jalan Pintas?

Mahasiswa menggunakan AI untuk mengerjakan tugas. 
Mahasiswa menggunakan AI untuk mengerjakan tugas.

Mahasiswa kerap menyalin hasil AI tanpa memahami isinya. Mereka hanya mengandalkan AI sebagai jalan untuk menyelesaikan tugas saja, bukan sebagai alat bantu belajar. Sehingga, meskipun mereka mengerjakan tugas, mereka tidak paham sama sekali mengenai tugas tersebut. Akibatnya, mereka kehilangan proses paling penting dalam penulisan: membaca, menganalisis, dan mengolah gagasan. Tugas memang selesai, tetapi kemampuan berpikir kritis dan kreativitas tidak berkembang.

Di sisi lain, ada juga yang menggunakan AI secara bijak untuk mencari ide dan memperbaiki struktur tulisan. Mereka menjadikan AI sebagai alat bantu atau tempat inspirasi, sehingga mereka tidak hanya menyalin dari AI saja. Hasil akhirnya tetap ditulis ulang dengan gaya bahasa sendiri. Dalam hal ini, AI justru membantu meningkatkan kualitas tulisan dan memperluas wawasan.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa teknologi bukan penyebab utama menurunnya kreativitas. AI hanyalah alat, untuk hasilnya tetap bagaimana cara manusia memanfaatkannya. Entah dengan menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas dengan instan atau menggunakan AI sebagai sumber inspirasi yang membantu meningkatkan kualitas tulisannya. Dengan kata lain, krisis kreativitas bukan terletak pada kecanggihan teknologi, tetapi pada budaya belajar yang serba cepat, ingin praktis, dan enggan berproses.

Dalam konteks pendidikan, AI seharusnya menjadi mitra, bukan pengganti intelektualitas. Mahasiswa perlu membangun “etika digital” yang menyeimbangkan efisiensi teknologi dan kejujuran akademik. Mahasiswa dapat terlebih dahulu memeriksa informasi yang diberikan oleh AI, mengolah kembali tulisan dengan gaya bahasa sendiri, dan tetap menggunakan referensi ilmiah yang valid. Sehingga, dengan adanya AI ini dapat memberikan dampak yang lebih positif. AI tidak lagi menjadi jalan pintas, tetapi alat bantu yang membuat mahasiswa lebih produktif, kritis, dan kreatif.

Teknologi memang mempercepat langkah, tetapi kreativitas tetap menuntut proses berpikir yang jujur. Mahasiswa di era AI tidak cukup hanya pintar mencari jawaban, tetapi juga harus bijak menimbang makna dari setiap pengetahuan yang diperoleh. Tanpa kesadaran itu, kita hanya akan menjadi pengguna teknologi, bukan pencipta gagasan. Pada akhirnya, kecanggihan AI tidak akan berarti apa-apa jika manusia kehilangan kemampuan untuk belajar, merenung, dan menghasilkan ide orisinal. Kreativitas tidak lahir dari mesin, tetapi dari kemauan untuk terus berpikir, berproses, dan memahami.

Ananda Bilqis, Mahasiswa Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image