Air Bukan Barang Dagangan: Kritik Atas Praktik Kapitalisasi Sumber Daya Alam
Kebijakan | 2025-11-04 21:52:47
Kasus mengenai sumber air yang digunakan dalam industri air minum dalam kemasan (AMDK) kembali menarik perhatian publik setelah kunjungan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ke salah satu pabrik Aqua di Subang. Dalam kunjungan tersebut, Dedi mengungkap bahwa air yang digunakan ternyata bukan berasal langsung dari mata air pegunungan sebagaimana sering digambarkan dalam iklan, melainkan dari hasil pengeboran. Temuan ini menimbulkan beragam reaksi di masyarakat. Sebagian pihak menilai praktik tersebut memungkinkan terjadinya persepsi masyarakat, karena istilah “udara pegunungan” seolah mengindikasikan pengambilan langsung dari sumber alami di permukaan. Para ahli hidrogeologi kemudian mengatakan bahwa udara yang dimaksud memang berasal dari sistem akuifer di kawasan pegunungan, namun tetap memerlukan pengawasan karena aktivitas pengeboran dalam skala besar dapat berdampak pada ekosistem udara di sekitarnya.Menanganggap polemik tersebut, pihak Danone Indonesia selaku produsen Aqua memberikan klarifikasi resmi. Mereka menegaskan bahwa sumber air yang digunakan bukanlah air tanah dangkal, melainkan air dari akuifer dalam di kawasan pegunungan dengan kedalaman 60 hingga 140 meter. Udara tersebut dilindungi secara alami oleh lapisan kedap udara, sehingga bebas dari kontaminasi manusia. Danone juga menyebut seluruh proses pengambilan air telah mendapat izin resmi dari pemerintah dan diumumkan oleh Kementerian ESDM serta Badan Geologi. Selain itu, perusahaan menekankan adanya kebijakan perlindungan air tanah dalam (Ground Water Resources Policy) yang bertujuan menjaga kelestarian dan kebermanfaatan sumber air di sekitar area operasional. Namun demikian, masyarakat tetap melihat sejauh mana praktik tersebut memperhatikan keseimbangan lingkungan, terutama di wilayah yang berpotensi mengalami penurunan permukaan udara tanah.Sementara itu, polemik ini juga mendapat sorotan dari Indonesia Halal Watch (IHW). Lembaga tersebut menilai bahwa dugaan ketidaksesuaian antara klaim iklan dengan praktik nyata dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius. Jika terbukti menggunakan bahan baku air yang berbeda dari sampel awal saat pengajuan izin edar ke BPOM dan sertifikasi halal ke BPJPH, maka produsen dapat dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sanksi tersebut dapat berupa pencabutan izin edar, pembatalan sertifikasi halal, hingga penarikan materi iklan dari ruang publik. Selain berimplikasi hukum, kasus ini juga berdampak pada reputasi perusahaan dan kepercayaan masyarakat terhadap industri AMDK. IHW menegaskan bahwa integritas dan transparansi produsen adalah kunci dalam menjaga kepercayaan masyarakat serta menjamin keamanan dan kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat.Melalui berbagai fakta tersebut, persoalan udara di Indonesia bukan sekadar masalah teknis pengambilan sumber udara, tetapi sudah menyentuh ranah struktural, yakni penguasaan sumber daya alam oleh pihak tertentu.Eksploitasi akuifer dapat menyebabkan penurunan muka air tanah, hilangnya mata air, serta amblesan tanah di sekitar kawasan industri. Dampaknya meluas, tidak hanya pada lingkungan pabrik, namun juga pada kehidupan masyarakat sekitar. Ironisnya, warga yang tinggal dekat sumber air justru sering mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Hal ini menunjukkan ketimpangan akses akibat orientasi ekonomi yang menempatkan udara sebagai komoditas, bukan hak dasar manusia.Dalam sistem ekonomi kapitalis, air dijadikan objek bisnis tanpa memperhatikan keseimbangan alam. Demi keuntungan, perusahaan bahkan menggunakan citra manipulatif seperti label “air pegunungan murni,” padahal diambil dari pengeboran tanah.Masalah ini diperparah oleh lemahnya regulasi dan pengawasan. Pemerintah belum mampu memaksakan batas penggunaan sumber daya udara secara adil. Lembaga seperti Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Ditjen SDA di bawah Kementerian PUPR pun belum efektif menghentikan praktik kapitalisasi udara. Akibatnya, hak publik atas air bersih semakin terpinggirkan.Dalam pandangan Islam, air dan sumber daya alam lainnya termasuk dalam kategori kepemilikan umum (al-milkiyyah al-'āmmah) yang tidak boleh dimonopoli oleh individu maupun korporasi. Air merupakan hak dasar setiap manusia yang harus dapat diakses tanpa batas ekonomi maupun status sosial. Rasulullah ﷺ bersabda : المُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ : فِي الْمَاءِ، وَالْكَلَإِ، وَالنَّارِ، dan حَرَامٌ“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api; dan menjualnya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah, no. 2472)Hadits ini menegaskan bahwa udara adalah milik bersama umat, bukan barang dagangan yang dapat dikomersialisasi hingga merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, eksploitasi dilakukan oleh perusahaan besar tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan maupun hak warga sekitar yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.Negara memiliki tanggung jawab sebagai pengelola amanah publik untuk memastikan setiap warga mendapat akses air bersih secara adil. Dalam Islam, negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan umum kepada segelintir pihak, melainkan harus mengatur dan mengelolanya demi kemaslahatan umat. Prinsip ini selaras dengan firman Allah SWT: Perlindungan Lingkungan dan Perlindungan Lingkungan“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaiki.” (QS. Al-A'rāf : 56) Ayat ini menjadi dasar moral bahwa segala bentuk eksploitasi yang berlebihan terhadap alam, termasuk udara, merupakan bentuk kerusakan (fasād) yang harus dicegah. Dalam konteks ini, negara wajib membuat regulasi ketat terhadap aktivitas industri yang berpotensi merusak sumber daya udara dan lingkungan. Selain itu, Islam juga menuntun agar aktivitas ekonomi dilakukan dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab. Bisnis yang menipu publik—seperti memanipulasi label udara “pegunungan murni” demi keuntungan—jelas bertentangan dengan etika Islam. Rasulullah ﷺ bersabda :مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا“Barang siapa yang menipu kami, maka dia bukan dari golongan kami.(HR.Muslim, no.102)Dengan demikian, solusi yang ditawarkan Islam terhadap kapitalisasi air adalah mengembalikan fungsi air sebagai amanah publik yang dikelola secara adil, transparan, dan berkelanjutan oleh negara.Islam privatisasi sumber air untuk keuntungan segelintir pihak, dan menempatkan kemaslahatan masyarakat serta kelestarian alam sebagai prinsip utama dalam pengelolaannya.Persoalan kapitalisasi udara di Indonesia menampilkan bagaimana sumber daya vital yang seharusnya menjadi hak bersama justru berubah menjadi komoditas ekonomi yang dikuasai oleh segelintir pihak. Di tengah meningkatkan kebutuhan masyarakat air bersih, praktik akan eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan besar memperparah ketimpangan akses dan dampak serius terhadap lingkungan lainnya sebagai pengelola dan pelindung hak masyarakat terhadap sumber daya masyarakat. Dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar dalam tata kelola udara — seperti kejujuran, keadilan, dan larangan melakukan kerusakan di bumi — maka keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam dapat terjaga. Air sejatinya bukan sekedar kebutuhan hidup, namun juga simbol amanah dan keadilan sosial. Ketika pengelolaannya dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka keberkahan dan kemaslahatan bagi seluruh makhluk dapat terwujud secara nyata.melainkan amanah Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Prinsip keadilan dan tanggung jawab dalam Islam menyatakan bahwa negara wajib hadir sebagai pengelola dan pelindung hak masyarakat terhadap sumber daya publik. Dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar dalam tata kelola udara — seperti kejujuran, keadilan, dan larangan melakukan kerusakan di bumi — maka keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam dapat terjaga. Air sejatinya bukan sekedar kebutuhan hidup, namun juga simbol amanah dan keadilan sosial. Ketika pengelolaannya dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka keberkahan dan kemaslahatan bagi seluruh makhluk dapat terwujud secara nyata.melainkan amanah Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Prinsip keadilan dan tanggung jawab dalam Islam menyatakan bahwa negara wajib hadir sebagai pengelola dan pelindung hak masyarakat terhadap sumber daya daya publik. Dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar dalam tata kelola udara — seperti kejujuran, keadilan, dan larangan melakukan kerusakan di bumi — maka keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam dapat terjaga. Air sejatinya bukan sekedar kebutuhan hidup, namun juga simbol amanah dan keadilan sosial. Ketika pengelolaannya dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka keberkahan dan kemaslahatan bagi seluruh makhluk dapat terwujud secara nyata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
