Kualitas Tidur Cerminan Kualitas Hidup
Gaya Hidup | 2025-11-04 12:23:00Di kota yang tak pernah benar - benar tidur, banyak orang justru kehilangan haknya untuk beristirahat. Dari tenaga medis yang berjaga di rumah sakit hingga ojek online yang masih melaju di jalanan dini hari, tidur nyenyak kini seolah menjadi kemewahan yang tak semua orang bisa miliki. Padahal, kualitas tidur sering kali menjadi cermin dari kualitas hidup itu sendiri, seberapa sehat, seimbang, dan manusiawi kehidupan yang kita jalani.
Selama ini, tidur dianggap urusan pribadi, baik masalah disiplin waktu maupun gaya hidup. Namun, ketika semakin banyak orang sulit tidur karena tekanan kerja, stres ekonomi, atau tuntutan sosial, sebenarnya kita sedang berbicara tentang masalah kesehatan masyarakat yang lebih luas. Tidur yang cukup bukan hanya tanda tubuh sehat, tetapi juga indikator kesejahteraan sosial yang seharusnya menjadi perhatian publik.
Dalam beberapa tahun terakhir, isu sleep health mulai mendapat perhatian global. World Health Organization (WHO) menegaskan bahwa tidur memiliki peran vital dalam menjaga fungsi otak, sistem imun, dan keseimbangan hormon. Tetapi lebih dari itu, kualitas tidur juga mencerminkan kondisi sosial seseorang, apakah ia memiliki waktu, ruang, dan rasa aman untuk beristirahat.
Mereka yang hidup dalam ritme kerja manusiawi, lingkungan yang mendukung, dan tekanan ekonomi yang wajar cenderung memiliki kualitas tidur lebih baik. Sebaliknya, mereka yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi dan tekanan sosial kerap mengalami gangguan tidur kronis. Fenomena ini tampak jelas di kalangan pekerja dengan jam kerja tidak tetap, misalnya perawat, petugas keamanan, sopir jarak jauh, hingga pekerja lepas yang harus terus mengejar target.
Masalahnya bukan terletak pada ketidakdisiplinan individu, melainkan pada sistem kerja yang tidak ramah terhadap ritme biologis manusia. Tidur menjadi potret keadilan sosial, siapa yang bisa tidur dengan tenang dan siapa yang tidak.
Istirahat seharusnya menjadi hak dasar manusia. Namun dalam kenyataan, tidak semua orang punya kesempatan yang sama untuk tidur dengan nyaman. Mereka yang berada di lapisan ekonomi bawah sering kali harus bekerja lebih lama demi memenuhi kebutuhan hidup. Sementara itu, kelompok menengah ke atas dapat mengatur waktu istirahat, bahkan membeli kenyamanan melalui teknologi tidur dan terapi relaksasi.
Fenomena ini menimbulkan “kesenjangan tidur” (sleep gap), yakni sebuah bentuk ketimpangan sosial yang jarang disadari. Semakin rendah kondisi ekonomi seseorang, semakin besar risiko ia mengalami kekurangan tidur. Di balik narasi tentang “pekerja keras” dan “dedikasi tanpa batas”, sering tersembunyi realitas pahit bahwa orang tidak tidur bukan karena ingin, tetapi karena harus.
Kualitas tidur akhirnya menjadi cermin dari struktur sosial. Masyarakat yang adil semestinya memberi ruang bagi semua warganya untuk beristirahat dengan layak, bukan hanya bagi mereka yang punya privilese waktu dan sumber daya.
Masyarakat modern kerap menempatkan tidur sebagai simbol kemalasan. Kita sering mendengar kalimat seperti “tidur bisa nanti” atau “orang sukses tidak butuh banyak tidur”. Paradigma ini tumbuh dari budaya hustle yang menilai manusia berdasarkan seberapa lama ia terjaga.
Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kurang tidur menurunkan kemampuan kognitif, daya fokus, dan imunitas tubuh. Dalam jangka panjang, kekurangan tidur tidak membuat seseorang lebih produktif, justru menurunkan kualitas kerja dan kesehatannya.
Di era digital, krisis tidur ini semakin parah. Gawai, notifikasi, dan doomscrolling membuat banyak orang kehilangan batas antara waktu aktif dan waktu istirahat. Malam yang seharusnya menjadi waktu pemulihan berubah menjadi perpanjangan dari kesibukan siang hari. Kita hidup dalam budaya yang menyanjung produktivitas, tetapi melupakan kemanusiaan.
Krisis tidur bukan hanya persoalan pribadi. Ia adalah isu kesehatan masyarakat yang perlu ditangani secara sistemik. Pemerintah dan lembaga kesehatan dapat berperan besar, mulai dari mengatur jam kerja yang manusiawi, menyediakan ruang istirahat bagi pekerja malam, hingga melakukan kampanye tentang pentingnya tidur sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Sayangnya, kebijakan publik sering kali hanya menyoroti pola makan dan olahraga, sementara tidur nyaris tak mendapat porsi edukasi yang layak. Padahal, kualitas tidur memiliki pengaruh langsung terhadap kesehatan mental, produktivitas, dan stabilitas emosi masyarakat.
Kualitas tidur mencerminkan kualitas hidup dan keadilan sosial. Bila semakin banyak orang sulit tidur karena tekanan hidup dan budaya kerja yang menindas, berarti kita belum benar-benar hidup dalam sistem yang manusiawi. Sudah saatnya kita berhenti melihat tidur sebagai kemalasan. Tidur adalah hak dasar dan bentuk pemulihan diri. Masyarakat yang sehat bukanlah yang tak pernah tidur, melainkan yang bisa tidur dengan tenang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
