Kanker Payudara: Stadium Lanjut Bukan Takdir, Tapi Akibat
Eduaksi | 2025-11-03 16:39:08Setiap Oktober, pita merah muda ramai menghiasi ruang publik & kampanye kesehatan. Dari kampanye media sosial, kantor hingga kampus, banyak orang memakai pita kecil di dada – simbol kepedulian terhadap kanker payudara. Namun, di balik semangat kampanye itu, masih ada kenyataan pahit, banyak perempuan Indonesia baru datang ke dokter ketika kanker sudah berada di stadium lanjut.
Menurut data Globocan (2022), lebih dari 70.000 perempuan Indonesia didiagnosis kanker payudara setiap tahun. Angka ini seharusnya menjadi alarm keras, membuat kita bertanya, mengapa begitu banyak yang terlambat di diagnosis? Angka itu bukan sekadar statistik, tetapi potret nyata bahwa deteksi dini belum menjadi budaya. Promosi Kesehatan sering berhenti di permukaan, pada slogan dan seremonial, bukan pada perubahan perilaku nyata.
Laporan Tempo.co menyebut sebagian besar pasien menunda pemeriksaan karena rasa takut, malu, atau menganggap pemeriksaan payudara hanya perlu dilakukan bila ada keluhan. Saya bisa memahami hal itu. Bahkan, banyak daerah membicarakan payudara saja masih dianggap tabu. Namun, di sisi lain, kegiatan kampanya IHC bersama Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) menunjukkan masih banyak perempuan yang mau belajar SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri). Artinya, kesadaran itu sebenarnya ada, hanya perlu dikuatkan dan difasilitasi.
Masalah kanker payudara menurut saya bukan hanya isu medis, melainkan juga cerminan lemahnya penerapan prinsip promosi kesehatan dan perilaku sosial. Kanker payudara bukanlah takdir, melainkan tanda bahwa sistem kita belum sepenuhnya memberdayakan perempuan untuk peduli terhadap tubuhnya sendiri.
Prinsip Ottawa Charter for Health Promotion menjadi relevan disini. Dokumen yang dirumuskan WHO sejak 1986 menegaskan lima hal penting penting untuk membangun masyarakat sehat.
Pertama, kebijakan publik. Pemerintah perlu memastikan program deteksi dini seperti SADANIS (Pemeriksaan Payudara Secara Klinis) tersedia di semua puskesmas, bukan hanya di kota besar, tetapi juga di pelosok. Kebijakan yang efektif juga harus memastikan pemeriksaan payudara dapat dilakukan secara rutin dan gratis. Integrasi skrining kanker payudara dalam program nasional seperti Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular) juga perlu diperkuat.
Kedua, lingkungan yang mendukung. Faktor sosial turut memperparah keadaan, faktor ini sering kali membuat perempuan enggan memeriksakan diri karena topik ini masih dianggap tabu. Menurut saya, kampanye positif seperti yang dilakukan YKPI (Yayasan Kanker Payudara Indonesia) penting untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan. Lingkungan sosial yang mendukung bukan hanya spanduk dan seminar, tetapi sistem yang yang memungkinkan perempuan bertindak tanpa rasa takut atau malu.
Ketiga dan keempat, aksi komunitas dan pengembangan keterampilan individu. Edukasi bukan hanya tentang memberitahu, tetapi juga melatih. Mengajarkan perempuan cara melakukan SADARI bisa dilakukan di posyandu, komunitas ibu-ibu PKK, bahkan di kampus. Saya percaya kegiatan sederhana seperti ini, jika dilakukan konsisten, bisa menyelamatkan banyak nyawa.
Kelima, reorientasi layanan kesehatan. Fasilitas kesehatan seharusnya lebih aktif mendatangi masyarakat, bukan menunggu masyarakat datang dalam kondisi parah. Petugas kesehatan, kader, dan mahasiswa bisa menjadi ujung tombak dalam menyebarkan pengetahuan dan keberanian untuk deteksi dini.
Saya berpendapat bahwa promosi kesehatan di Indonesia tidak boleh berhenti pada slogan dan seremonial. Promosi kesehatan harus mendorong perubahan perilaku dan memberdayakan masyarakat. Kita tidak bisa berharap angka kanker payudara menurun jika masyarakat belum punya akses informasi dan fasilitas untuk bertindak. Promosi kesehatan bukan sekadar kegiatan tambahan, melainkan investasi masa depan bangsa.
Bagi saya, kanker payudara bukan kutukan atau takdir yang terelakkan, melainkan panggilan bagi kita semua untuk memperbaiki sistem. Ketika perempuan tidak tahu bagaimana memeriksa payudaranya sendiri, berarti negara belum hadir sepenuhnya. Ketika pemeriksaan dini sulit dijangkau, itu bukan takdir, tapi kegagalan kebijakan.
Sebagai calon tenaga kesehatan masyarakat saya percaya kita punya peran besar dalam mengubah keadaan ini. Melalui penyuluhan, kampanye digital, atau kegiatan pengabdian masyarakat, kita bisa menumbuhkan kesadaran baru, bahwa peduli pada tubuh sendiri adalah bentuk cinta dan keberanian. Karena, pada akhirnya, stadium lanjut bukan takdir – tapi akibat dari kesadaran yang bisa (dan harus) kita ubah. Saya percaya, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil, termasuk dari kita, perempuan muda yang berani peduli.
Sumber Referensi
Globocan. (2022). Indonesia Fact Sheet – Breast Cancer Statistics. World Health Organization.
World Health Organization. (1986). Ottawa Charter for Health Promotion. WHO Regional Office for Europe.
Tempo.co. (2025, Oktober 30). Alasan Kebanyakan Kondisi Kanker Payudara Pasien Sudah Stadium Lanjut Saat ke Dokter. https://share.google/J7T1frTDb8iwLR5G0
Tempo.co. (2025, Oktober 30). IHC Gandeng YKPI Galakkan Deteksi Dini Kanker Payudara. https://share.google/9JCwYWI6vS5gAqspa
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
