Pentingnya Someone to Talk dalam Menjaga Kesehatan Jiwa dan Raga Gen Z
Edukasi | 2025-11-01 18:06:35Di tengah derasnya arus informasi, tekanan dari keluarga, serta tuntutan untuk selalu terlihat “baik-baik saja”, generasi Z hidup pada era yang saling terhubung. Namun, banyak dari mereka masih merasa sendirian. Fenomena tersebut membuat kebutuhan akan “someone to talk” atau seseorang yang dapat diajak bicara menjadi sangat penting. Tak hanya untuk kesehatan mental, tetapi juga sebagai penyeimbang antara jiwa dan raga secara keseluruhan.
1. Gen Z: Generasi yang Paling Terhubung, Tapi Paling Kesepian
Generasi Z terkenal akan generasi digital yang selalu online. Mereka dapat terhubung dengan banyak orang di dunia maya. Namun, koneksi emosional yang nyata tergolong minim. Menurut beberapa survei psikologis, tingkat kesepian dan gangguan kecemasan pada Gen Z lebih besar dari generasi sebelumnya.
Di balik unggahan yang ceria dan penuh warna di sosial media, mereka banyak menyimpan beban dan luka, seperti rasa insecure, tekanan akademik, ekspektasi keluarga, masalah percintaan, hingga ketakutan akan masa depan. Dalam menyikapi hal tersebut, memiliki seseorang yang mau mendengarkan sepenuh hati tanpa menghakimi dapat menjadi penolong besar.
2. “Someone to Talk” Bukan Sekadar Teman Curhat
Istilah “someone to talk” bukan sekadar teman untuk bercerita, melainkan sosok yang bisa memberi ruang aman, tempat di mana Gen Z bisa menjadi diri sendiri tanpa perlu menjadi pribadi lain. Sosok tersebut dapat berupa teman dekat, anggota keluarga, orang asing yang baru dikenal di media sosial, bahkan psikolog. Hal terpenting bukan masalah siapa orangnya, tetapi apakah dia mau mendengarkan dengan tulus atau tidak.
Kehadiran “someone to talk” memberikan efek psikologis yang kuat, diantaranya:
- Menurunkan tingkat stres dan kecemasan.
- Meningkatkan hormon kebahagiaan seperti oksitosin dan dopamin.
- Mencegah gangguan psikosomatik, di mana tekanan batin memengaruhi kesehatan fisik.
3. Ketika Bicara Menjadi Terapi
Kebanyakan orang meremehkan kekuatan berbicara. Padahal, berbagi cerita dapat menjadi terapi sederhana yang membuat seseorang merasa lebih baik. Ketika seseorang meluapkan perasaannya, otak dapat memproses emosi yang semula terpendam. Hal tersebut membuat pikiran menjadi lebih jernih sehingga seseorang dapat mengambil keputusan dengan tenang. Bahkan, membicarakan masalah dapat menurunkan tekanan darah dan memperbaiki pola tidur seseorang. Dengan kata lain, berbicara tak hanya menyehatkan mental, tetapi juga memberikan dampak positif bagi tubuh.
4. Tantangan: Rasa Takut Dinilai dan Kurangnya Empati
Sayangnya, tidak semua orang merasa aman untuk bercerita. Selain takut over sharing, gen Z sering kali takut dianggap lemah, berlebihan, kebanyakan drama, bahkan memiliki iman yang lemah. Akibatnya, mereka lebih memilih menahan diri dan diam. Sementara itu, lingkungan sekitar terkadang kurang mendukung. Mereka lebih sibuk menyalahkan atau memberi nasihat dari pada mendengarkan. Padahal, yang dibutuhkan sering kali bukan solusi, melainkan empati.
5. Membangun Budaya “Mendengar”
Untuk menciptakan generasi yang sehat jiwa dan raganya, perlu dibangun budaya saling mendengarkan. Hal tersebut dapat dimulai dari hal kecil, seperti menanyakan kabar dengan tulus, mendengarkan tanpa menyela, dan validasi perasaan orang lain. Sekolah, kampus, maupun tempat kerja juga bisa berperan dengan menyediakan ruang konseling dan program pendampingan mental.
6. Kesimpulan: Karena Manusia Diciptakan untuk Terhubung
Pada akhirnya, “someone to talk” bukanlah kemewah saja, melainkan kebutuhan dasar manusia. Gen Z, dengan segala tantangan modern yang dihadapi, perlu memahami bahwa berbicara bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk sembuh. Tanpa kita sadari, menjadi pendengar yang baik dapat menjadi cara sederhana untuk menyelamatkan seseorang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
