Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Narasi dan Refleksi Indah Surah Al-Baqarah Ayat 22

Agama | 2025-10-31 17:47:44

Muliadi Saleh

اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَقُوْلُ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

الَّذِيْ جَعَلَ لَـكُمُ الْاَ رْضَ فِرَا شًا وَّا لسَّمَآءَ بِنَآءً ۖ وَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَ خْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّـكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَا دًا وَّاَنْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ

"(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui."

(QS. Al-Baqarah [2]: 22)

---

Ayat ini adalah sapaan lembut Allah kepada hati manusia—sebuah undangan untuk mengenali sumber segala kehidupan. Dalam kalimat yang sederhana namun tak terpermanai maknanya, Allah menyingkapkan keseimbangan semesta: bumi sebagai firaasyan—hamparan lembut yang menampung langkah dan mimpi manusia; langit sebagai binaa-an—atap kokoh yang melindungi, menaungi, dan mengatur ritme waktu.

Lalu, dari langit yang sama, Dia menurunkan hujan—tetes rahmat yang membawa kehidupan. Dari hujan itu, tumbuhlah buah-buahan, rerumputan, dan padi yang menguning di ladang-ladang. Semua itu disebut rizqan lakum — “rezeki untukmu.”

Kalimat yang tampak biasa, namun sejatinya adalah pengingat yang dalam: rezeki bukan hasil keringat semata, tapi pancaran kasih Tuhan yang bekerja melalui hukum-hukum alam.

Di dunia modern yang penuh beton dan bising mesin, kita kerap lupa bahwa bumi ini bukan sekadar ruang produksi, tapi hamparan kasih. Kita memperlakukan tanah sebagai objek eksploitasi, bukan rahim kehidupan. Langit yang dulu biru kini sesak oleh asap dan cahaya buatan; air hujan yang dulu disyukuri kini sering dicaci karena banjir yang kita undang sendiri.

Dalam keangkuhan teknologi dan ekonomi, manusia nyaris menjadikan dirinya “tandingan-tandingan bagi Allah”—membangun sistem yang seolah tak membutuhkan langit dan bumi.

Padahal, setiap tetes hujan masih jatuh dengan izin yang sama; setiap tunas yang tumbuh masih mengucap tasbih yang sama.

Seorang sufi pernah berkata: “Segala yang tampak adalah bayangan dari Yang Tak Tampak. Maka, siapa yang hanya melihat bayangan, akan kehilangan Cinta yang memancarkan cahaya.” — Ibn ‘Arabi

Maka, melihat bumi dan langit sejatinya adalah ziarah batin. Setiap butir tanah, setiap aroma hujan, adalah ayat diam yang menuntun pada pengakuan. Tuhan bukan hanya di masjid atau mushaf; Dia hadir di percik embun pagi, di desir angin yang menggoyang daun, di suara ayam jantan yang membangunkan fajar.

Refleksi ini terasa semakin relevan hari ini, di tengah krisis ekologis dan spiritual yang melanda dunia. Ketika manusia kehilangan rasa takjub pada ciptaan, ia kehilangan rasa syukur pada Sang Pencipta.

Ayat ini mengajarkan kembali keseimbangan antara akal dan rasa, antara kerja dan doa.

Bumi ini bukan “ladang tanpa Tuhan”, melainkan panggung di mana kasih-Nya terus bekerja dalam senyap.

Dan setiap kali kita menanam, menyiram, atau menatap langit selepas hujan, semoga kita teringat:

semua itu adalah bagian dari zikir panjang semesta.

Sebagaimana Jalaluddin Rumi menulis dengan bening:

“Apa yang kamu cari di luar, telah lama bersemayam di dalam. Air hujan itu adalah rahmat yang sama—datang dari langit, tapi menumbuhkan taman di hatimu.”

Refleksi :

Surah Al-Baqarah ayat 22 bukan hanya pengingat tentang penciptaan, tapi juga tentang kesadaran ekologis dan spiritual. Ia menegaskan bahwa bumi, langit, air, dan buah adalah rantai kasih yang tak boleh diputus oleh keserakahan manusia.

Mengenal ayat ini berarti kembali menundukkan ego, dan kembali bersujud di tanah yang sama tempat kita berasal—

seraya berbisik dalam hati:

Tidak ada tandingan bagi-Mu, ya Allah. Bahkan bumi yang kupijak pun bersujud kepada-Mu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image