Gulat Okol Made, Tradisi yang Menggulat Ingatan
Humaniora | 2025-10-31 13:58:56Kalau kita jalan jalan ke Surabaya, daripada sibuk foto di tunjungan apalagi ngopi di tempat yang namanya pakai bahasa asing, coba kisanak belok sedikit ke barat, ke Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep. Di sana, di tengah panas yang tidak kenal belas kasih, orang-orang berkumpul bukan untuk adu status, tapi adu badan. Namanya Gulat okol. Olahraga tradisional yang aromanya lebih jujur daripada debat politik di televisi.
Okol bukan sekadar gulat, tapi ritus sosial yangv lahir dari tanah, bukan dari sponsorship. Biasanya digelar saat sedekah bumi, sebuah perayaan syukur yang lebih tua dari usia motor kita. Laki-laki di desa berdiri di atas tanah berjerami, tubuhnya dililit selendang yang menjadi satu-satunya senjata. Tidak hanya laki-laki, tradisi ini juga melibatkan peran kaum hawa untuk ikut berpartisipasi. Tak ada sarung tinju, tak ada pelindung kepala, hanya keberanian dan kehormatan. Dua orang saling berhadapan, saling menarik, menjatuhkan, namum tidak untuk menghancurkan. Tujuan mereka bukan melukai, melainkan menjaga keseimbangan: siapa yang jatuh, harus bangkit lagi.
Mereka menyebutnya olahraga, tapi sejatinya itu filsafat. Gulat Okol mengajarkan bahwa kekalahan bukanlah kehinaan, melainkan bagian dari ritme hidup. Bahwa tubuh bisa tergeletak, tapi lniat harus tegak. Dalam setiap pelukan keras dan jatuhan ke tanah, ada pelajaran tentang kerendahan hati: tanah adalah ibu, tempat semua manusia akhirnya bersandar.
Kalau diperhatikan, Gulat Okol ini mirip demokrasi dalam versi rakyat. Semua punya hak untuk turun gelanggang, tidak peduli anak petani atau penggembala. Pemenangnya ditentukan bukan oleh kekuasaan atau ketenaran, tapi oleh siapa yang tahan menahan diri dan menahan rasa sakit. Tak heran, Gulat Okol di Desa Made tidak pernah kehilangan penontonnya. Warga berdatangan, perempuan menyiapkan makanan, anak anak bersorak, para sesepuh duduk khidmat. Semua bersatu dalam satu lingkar, pesta rakyat yang tak butuh influencer untuk mempromosikannya.
secara antropologis, Gulat Okol adalah jejak purba hubungan manusia dengan tanah. Ia bukan sekedar tontonan, tapi simbol reciprocity, pertukaran antara manusia dan alam. Dalam masyarakat penggembala seperti Made, tanah bukan sekadar pijakan, tapi ruang hidup tempat manusia dan hewan saling berbagi napas. Karena itu setiap jatuh dalam gulat ini adalah cara menyatu dengan tanah yang tiap hari mereka pijak, tanah tempat rumput tumbuh dan hidup digembalakan. Setiap bangun adalah doa agar ternak tetap gemuk dan rezeki tak tersesat di padang.
Namun sayangnya, di tengah gempuran konten yang mengukur nilai dari jumlah penonton, tradisi seperti Okol mulai tersingkir. Ia tidak tampil di TikTok dengan filter lembut, tidak dijual dalam bentuk merchandise. Okol bertahan di ruang ruang sunyi yang jarang disentuh kamera. Tapi justru di situlah keindahannya. Ia tidak sibuk mencari panggung, karena sudah lama hidup di panggung yang sesungguhnya, tanah.
Mungkin itulah yang tidak dimiliki olahraga modern, roh. Di Made, semangat Okol bukan kompetisi, tapi pengingat bahwa hidup adalah latihan jatuh dan bangkit. Ia mengajarkan spiritualitas tubuh, bahwa setiap luka adalah tanda kita pernah berjuang.
Kalau kita datang ke sana dan menyaksikan satu pertandingan saja, kita akan paham mengapa warga Made menyebutnya bukan sekadar hiburan, tapi warisan. Ada getaran aneh saat dua orang saling menarik di bawah terik matahari, sementara suara gamelan desa mengalun pelan. Seolah bumi sendiri ikut bersorak, menertawakan manusia yang mencoba melawan gravitasi, tapi diam diam justru sedang belajar kembali kepada tanah.
Di tengah kota yang makin sibuk mengurus event dan branding, Gulat Okol tetap hidup di pinggiran. Sederhana, tapi mengandung hikmah yang sulit ditemukan di gedung gedung berAC. Dari Made, kita belajar, yang paling kuat bukan yang mampu menjatuhkan, tapi yang berani bangkit setelah rebah. Karena hidup, sebagaimana Okol, hanyalah pertarungan kecil di tengah ladang yang luas, dan satu satunya yang perlu dijaga adalah hati yang tidak lepas dari bumi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
