Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Ekologi Kemandirian: Ketika Urban Farming Menjadi Sekolah Kehidupan

Gaya Hidup | 2025-10-30 15:18:26

Oleh : Muliadi Saleh

“Barang siapa menanam satu biji dengan kesadaran, maka ia sedang menanam sepotong langit di bumi.”

— Jalaluddin Rumi

Urban farming, atau pertanian kota, bukan sekadar tren gaya hidup hijau. Ia adalah jawaban cerdas atas kegelisahan modernitas. Manusia semakin berjarak yang semakin lebar dengan sumber pangannya sendiri. Maraknya gaya konsumsi yang serba instan, menanam dan berkebun menjadi antitesa, sebuah bentuk perlawanan. Ia melawan lupa. Melawan tren. Melawan kemalasan untuk berpikir tentang asal makanan, tentang tangan-tangan yang bekerja di ladang, tentang tanah yang memberi makan tapi jarang kita syukuri.

Menanam sebagai Gerakan Kesadaran

Pakar ekologi sosial, Prof. Emil Salim mengatakan, keberlanjutan tidak akan pernah lahir dari kebijakan semata, tetapi dari kesadaran ekologis warga. “Kemandirian pangan adalah kemandirian jiwa,” katanya. Urban farming menjadi wujud nyata dari kesadaran itu—praktik yang menyatukan aspek pangan, pendidikan, sosial, dan spiritual dalam satu ruang kecil yang disebut kebun kota.

Dalam kebun-kebun mini itu, warga belajar tentang proses dan kesabaran. Tentang bagaimana daun tak tumbuh karena dipaksa, tapi karena dipelihara. Di sana, anak-anak mengenal siklus hidup dengan cara yang paling sederhana: dari benih menjadi kecambah, dari bunga menjadi buah. Sementara orang dewasa belajar kembali bahwa kehidupan, seperti tanaman, butuh keseimbangan antara memberi dan menerima.

Di banyak kota di Indonesia, termasuk di Makassar, banyak komunitas urban farming bermunculan—bukan hanya karena tren, tetapi karena kebutuhan untuk menjadi mandiri. Di tengah fluktuasi harga pangan dan ketergantungan pada pasokan luar kota, kebun di lahan sempit menjadi oase ketahanan pangan mikro. Dari hidroponik di balkon, tanaman pot di teras rumah, hingga vertikultur di dinding apartemen, semuanya menunjukkan bahwa ruang tak pernah terlalu kecil bagi yang ingin tumbuh.

Kebun Sebagai Sekolah Kehidupan

“Barang siapa mengenal tanahnya, ia mengenal dirinya.”

— Ibnu Arabi

Filsafat sufi selalu mengajarkan hubungan batin antara manusia dan alam. Menurut Ibnu Arabi, alam adalah cermin diri manusia. Maka, ketika seseorang menanam, sesungguhnya ia sedang bercermin pada hakikat keberadaannya sendiri. Kebun menjadi ruang kontemplasi: tempat manusia belajar tentang keterhubungan antara tubuh, tanah, dan langit.

Di sinilah urban farming- kebun kota bertransformasi menjadi sekolah kehidupan. Di kebun, setiap tindakan kecil punya makna besar. Saat kita menyiram tanaman, sesungguhnya kita sedang belajar memberi kehidupan. Saat memanen, kita belajar menerima dengan rasa syukur. Dan ketika tanaman layu, kita belajar ikhlas. Semua itu membentuk kesadaran ekologis yang tak bisa diajarkan oleh buku semata, melainkan harus dialami oleh tangan dan hati.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, urban farming membuka ruang ekonomi alternatif. Sebuah studi menunjukkan bahwa program kebun kota di daerah padat penduduk mampu meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga hingga 25%, sekaligus menumbuhkan pendapatan tambahan dari hasil sayur organik. Namun, yang lebih berharga bukan sekadar hasil panennya, melainkan tumbuhnya rasa percaya diri warga kota—bahwa mereka bisa menciptakan pangan sendiri, bukan hanya menunggu dari pasar.

Dari Ketergantungan Menuju Kemandirian

Pemberdayaan sejati bukan tentang memberi bantuan, melainkan yang menumbuhkan daya. Urban farming menjadi medium nyata untuk itu. Ia mengajarkan bahwa manusia punya daya untuk menghidupkan lingkungan dan dirinya sendiri. Bahwa ekonomi lokal bisa tumbuh dari kebersamaan, bukan semata dari kapital besar.

Kebun kota tidak hanya menghidupi tubuh, tapi juga menyehatkan jiwa. Dalam kesibukan yang menyesakkan, menanam memberi jeda, sebuah ruang hening di tengah kebisingan. Ia membangun koneksi antarwarga—dari berbagi bibit hingga berbagi hasil panen—yang menumbuhkan solidaritas sosial baru. Tak berlebihan jika kebun kota disebut sebagai “ekosistem harapan”.

Pemberdayaan yang tumbuh dari tanah kota ini menandai perubahan paradigma: dari konsumsi menuju produksi, dari ketergantungan menuju kemandirian, dari keluhan menuju tindakan. Karena sejatinya, seperti kata Rumi, “tanah tidak butuh manusia, manusialah yang butuh tanah untuk menemukan dirinya kembali.”

Makna Ekologi Kemandirian

Urban farming bukan hanya soal pangan, tapi soal kesadaran ekologis manusia modern. Ia mengajarkan bahwa kesejahteraan tidak selalu datang dari pusat kekuasaan, tetapi bisa tumbuh dari tepi—dari balkon sempit, dari atap rumah, dari teras dan pekarangan rumah, dari tangan-tangan yang berani dan mulai menanam.

Kemandirian sejati lahir dari hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dalam konteks bangsa, gerakan ini bisa menjadi pondasi etika baru pembangunan: pembangunan yang bukan lagi menaklukkan alam, tapi berdialog dengannya.

Kota yang mandiri pangan bukanlah kota yang punya gudang besar, melainkan kota yang punya warga yang mau menanam. Karena di sanalah letak kedaulatan yang paling hakiki—kedaulatan atas rasa, atas kehidupan, atas masa depan.

Mungkin, inilah makna terdalam dari ekologi kemandirian: bahwa ketika kita kembali menanam, kita sedang menumbuhkan diri kita sendiri.

“Tanamlah benih kebaikan, meski di tanah yang keras; sebab setiap benih yang ditanam dengan ikhlas akan menemukan tanahnya sendiri.”

— Jalaluddin Rumi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image