Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nadia Kamila Lokeswari

Obat Keras, Tapi Dijual Bebas: Di Mana Peran Kita Sebagai Konsumen Cerdas?

Eduaksi | 2025-10-29 08:35:38
Sumber : https://www.tempo.co/gaya-hidup/apa-itu-obat-daftar-g-bagaimana-ciri-cirinya-ini-daftar-obat-keras-itu-315863

Dalam kehidupan sehari-hari, membeli obat di apotek menjadi hal yang sangat biasa. Namun, dibalik kemudahan itu, ada persoalan yang jarang disadari banyak orang yaitu penjualan obat keras tanpa resep dokter. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, obat keras hanya boleh diserahkan ke pasien dengan resep dokter oleh apoteker di apotek. Akan tetapi, kenyataan di lapangan masih menunjukkan banyak pelanggaran terhadap ketentuan ini.

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 919/MENKES/PER/X/1993 tentang Kriteria dan Penggolongan Obat membagi obat menjadi 3, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat keras. Obat keras dapat dikenali dari logo lingkaran merah dengan huruf “K” berwarna hitam di tengahnya (Wardhani et al., 2023). Sayangnya, logo tersebut masih sering diabaikan oleh konsumen maupun sebagian tenaga kefarmasian.

Berdasarkan pengamatan di beberapa apotek, praktik ini masih sering terjadi. Tidak sedikit masyarakat yang datang langsung meminta obat keras, seperti antibiotik, obat tidur, atau obat penghilang nyeri kuat tanpa membawa resep dokter. Ironinya, ada apotek yang tetap melayani permintaan tersebut dengan alasan “pasien sudah pernah minum obat yang sama sebelumnya” atau “takut kehilangan pelanggan”. Kebiasaan seperti ini tampak sederhana, tetapi sangat melanggar aturan dan dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

Penggunaan obat keras tanpa pengawasan dokter memiliki risiko yang sangat besar. Obat jenis ini memiliki efek farmakologis yang kuat dan dapat menimbulkan efek samping serius jika digunakan tidak sesuai dosis atau indikasinya (Fakaubun et al., 2024). Misalnya, penggunaan antibiotik tanpa resep dapat menyebabkan resistensi bakteri, yakni kondisi ketika obat tidak lagi efektif melawan infeksi (Mallah et al., 2022). Begitu juga dengan obat penenang atau obat tidur yang berpotensi menimbulkan ketergantungan bila digunakan sembarangan.

Namun, menyalahkan apoteker sepenuhnya tentu tidaklah adil. Dalam banyak kasus, apoteker berada di posisi sulit. Di satu sisi, apoteker wajib menegakkan aturan dan menjaga keselamatan pasien. Di sisi lain, ada tekanan sosial dan ekonomi dari konsumen yang mendesak agar permintaannya dipenuhi. “Kalau apotek ini tidak mau, saya beli di tempat lain saja,” begitu kira-kira ancaman halus yang sering muncul. Situasi ini menunjukkan bahwa masalah penjualan obat keras bukan hanya soal pelanggaran aturan, melainkan juga refleksi rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penggunaan obat secara rasional.

Peran apoteker sebenarnya sangat krusial dalam mengedukasi masyarakat. Apoteker tidak hanya “penjaga obat”, tetapi juga penjaga keselamatan pasien. Ketika apoteker menolak menjual obat keras tanpa resep, hal itu bukan karena ingin mempersulit, melainkan karena mereka menjalankan tanggung jawab profesi untuk melindungi pasien dari risiko pengobatan yang tidak tepat. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang salah paham dan menganggap apoteker terlalu “kaku” atau “ribet”.

Oleh karena itu, solusi dari persoalan ini tidak hanya memperketat pengawasan atau memberikan sanksi, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bersama. Masyarakat perlu memahami bahwa tidak semua obat dapat diminum secara sembarang. Obat keras diciptakan untuk kondisi tertentu yang harus dikontrol oleh dokter. Pemerintah dan institusi pendidikan kesehatan juga perlu memperbanyak kampanye publik mengenai bahaya penggunaan obat keras tanpa resep agar informasi ini lebih mudah dijangkau.

Kita pun sebagai konsumen memiliki peran besar. Menjadi konsumen cerdas berarti mengetahui batasan, tahu kapan harus berkonsultasi dengan tenaga medis, dan tidak memaksa apotek untuk menjual obat keras tanpa dasar yang sah. Jika apoteker menolak memberikan obat tertentu tanpa resep, kita seharusnya sebagai konsumen berterima kasih, bukan marah. Itu artinya mereka bekerja dengan benar.

Pada akhirnya, masalah penjualan obat keras tanpa resep bukan hanya urusan peraturan, melainkan juga urusan kesadaran dan tanggung jawab bersama. Apoteker memiliki kewajiban profesional, sementara masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan obat dengan bijak. Ketika keduanya saling mendukung, kita dapat menciptakan sistem kesehatan yang lebih aman, tertib, dan beretika. Obat bukan sekadar dagangan, melainkan instrumen penyembuhan yang jika disalahgunakan dapat berbalik menjadi sumber bahaya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image