Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Halimatus Sakdiyah

Guru Adalah Kunci Mutu Bangsa, Tapi Masih Diperlakukan Seperti Operator Sistem

Pendidikan dan Literasi | 2025-10-28 23:28:13

Guru, Pilar yang Mulai Ditinggalkan oleh Sistemnya Sendiri

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa guru adalah penentu mutu pendidikan. Tidak ada kurikulum yang berhasil tanpa guru yang bersemangat, dan tidak ada sistem pendidikan yang maju tanpa guru yang dihargai.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Guru di Indonesia kini lebih banyak dihadapkan pada layar komputer daripada wajah murid-muridnya. Mereka dibebani laporan, penginputan data, pelatihan administratif, dan target-target yang jauh dari esensi mendidik.

Ketika Birokrasi Menggeser Makna Pendidikan

Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Namun dalam sistem yang terlalu birokratis, pendidikan telah direduksi menjadi urusan administrasi. Guru tidak lagi dinilai dari kemampuan mendidik, melainkan dari kelengkapan dokumen, ketepatan unggah data, dan kesesuaian dengan format.

Kualitas pembelajaran tidak ditentukan oleh interaksi di kelas, tetapi oleh checklist yang telah disiapkan dari atas. Akibatnya, semangat mengajar menjadi formalitas, dan kreativitas perlahan mati.

“Education is freedom, not domestication.” Pendidikan adalah pembebasan, bukan penjinakan. Namun di negeri ini, birokrasi pendidikan justru menjinakkan guru agar patuh pada sistem, bukan berpikir kritis terhadapnya.

Guru yang Sibuk dengan Sistem, Murid yang Sibuk Menunggu

Ironi terbesar pendidikan kita hari ini adalah ketika murid kehilangan guru yang hadir secara penuh. Secara fisik, guru ada di kelas; tetapi pikirannya sibuk dengan laporan Dapodik, asesmen kinerja, dan berbagai platform digital yang terus berubah format.

Digitalisasi seharusnya membantu, bukan membebani. Namun di banyak sekolah, teknologi hanya menambah lapisan administratif baru tanpa memperbaiki proses belajar. Sementara guru dikejar tenggat waktu, siswa kehilangan waktu belajar yang bermakna.

Mutu pendidikan tidak mungkin lahir dari guru yang lelah, apalagi yang kehilangan makna dari profesinya.

Guru Bukan Operator, Tapi Arsitek Pembelajaran

Salah satu kesalahan terbesar sistem pendidikan kita adalah menempatkan guru sebagai “pelaksana.” Padahal, guru adalah arsitek pembelajaran, perancang masa depan bangsa yang bekerja di ruang paling dekat dengan anak-anak.

Manajemen mutu pendidikan harus menempatkan guru sebagai pusat inovasi, bukan sekadar penerima instruksi. Sistem yang sehat tidak menuntut kepatuhan semata, tetapi memberi ruang bagi kreativitas.

Dalam konteks manajemen mutu, ini disebut empowerment, pemberdayaan. Tanpa pemberdayaan, mutu hanyalah slogan kosong yang mengambang di atas kertas kebijakan.

“Quality begins with people who are empowered to improve their work.” Mutu dimulai dari orang-orang yang diberi ruang untuk memperbaiki pekerjaannya.

Guru yang diberdayakan akan menciptakan perubahan kecil setiap hari, di kelas, di interaksi dengan murid, dan di budaya sekolahnya. Guru yang diberi ruang berpikir akan menanamkan nilai, bukan sekadar menyampaikan materi.

Ketika Guru Dihargai Hanya di Hari Guru

Setiap tahun, pada 25 November, bangsa ini merayakan Hari Guru Nasional dengan tema dan slogan baru. Pidato demi pidato mengalir, foto-foto diunggah, karangan bunga dipajang.

Namun sehari setelahnya, guru kembali ke ruang kelas yang bocor, ke koneksi internet yang lemah, dan ke laporan yang menumpuk. Apresiasi yang sejati seharusnya tidak berhenti di seremoni, melainkan terwujud dalam kebijakan yang berpihak.

Guru yang bermutu tidak lahir dari upacara penghargaan, tetapi dari sistem yang mempercayainya.

Mutu Bangsa Dimulai dari Martabat Guru

Pendidikan bermutu hanya dapat lahir dari guru yang dimanusiakan. Ketika guru diperlakukan seperti operator, maka mutu pendidikan hanya akan menjadi hasil hitung statistik, bukan hasil pembentukan karakter.

Kita tidak mungkin berbicara tentang “Indonesia Emas 2045” jika guru masih harus berjuang sendirian di tengah tumpukan birokrasi. Kita tidak akan melahirkan generasi kreatif jika guru tidak diberi ruang untuk berkreasi.

Mutu bangsa adalah cerminan dari bagaimana kita memperlakukan gurunya. Sebagaimana pepatah lama mengatakan,

“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak membangun gedung sekolah, tetapi bangsa yang tahu menghormati gurunya.”

Guru bukan sekadar pelaksana kebijakan, mereka adalah penjaga peradaban. Selama guru masih diperlakukan sebagai operator sistem, pendidikan kita akan terus kehilangan ruhnya.

Sudah saatnya pemerintah berhenti mengukur mutu pendidikan dari angka dan laporan, dan mulai menilai dari seberapa bahagia guru mengajar dan murid belajar.

Karena mutu sejati tidak lahir dari sistem yang sempurna, melainkan dari manusia yang merasa dihargai dalam pekerjaannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image