Pendidikan Tinggi Di Era AI: Apakah Mahasiswa Masih Perlu Berpikir Kritis
Pendidikan dan Literasi | 2025-10-28 20:38:54Di zaman sekarang semua yang serba digital, kehadiran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) seperti ChatGpt, Gemini AI, Blackbox AI, Grammarly, hingga Copilot sudah menjadi rekan akrab bagi mahasiswa. Dengan sekali klik, makalah bisa tersusun, pertanyaan terjawab, referensi tersaji, bahkan esai bisa terbentuk dalam hitungan menit. Kemudahan ini memang seperti “jalan pintas ataupun alternatif” bagi generasi akademik masa kini. Namun, di balik kemudahan itu munculah pertanyaan besar: apakah mahasiswa masih perlu berpikir kritis ketika teknologi mampu menyajikan semuanya dengan instan? Jika pendidikan tinggi bertujuan melahirkan insan cerdas serta mandiri, bukankah ketergantungan pada AI justru berpotensi dalam meruntuhkan esensi belajar itu sendiri?
Meski demikian halnya, tidak bisa dipungkiri bahwa AI juga membawa banyak manfaat nyata dalam dunia pendidikan tinggi. Bagi mahasiswa, AI dapat berperan sebagai “asisten belajar” yang siap sedia 24 jam dalam membantu mereka mencari referensi, merangkum literatur, hingga memberikan penjelasan pada materi yang belum mereka pahami. Selain mahasiswa, dosen pun dapat memanfaatkan AI untuk menciptakan metode pembelajaran yang lebih interaktif, misalnya dengan simulasi, analisis data, atau penilaian otomatis. Dengan cara ini, AI sebenarnya mampu membuka akses pengetahuan yang lebih luas dan mampu mendorong lahirnya inovasi dalam proses belajar mengajar.
Walaupun AI memberikan banyak kemudahan, AI juga ibarat pisau bermata dua. Jika digunakan dengan bijak, AI bisa menjadi alat bantu belajar yang efektif. Namun, bila disalahgunakan, ia justru berbalik menjadi ancaman bagi dunia pendidikan. Mahasiswa bisa menjadi ketergantungan pada AI, sehingga daya kritis dan kreativitasnya berkurang karena kebiasaan jawaban instan dalam hitungan detik itu. Selain itu, penggunaan AI juga rawan menimbulkan plagiarisme dan menurunkan integritas akademik, sebab suatu karya ilmiah bisa saja tersusun tanpa benar benar melalui proses berpikir. Tidak kalah penting, kesenjangan akses terhadap teknologi berpotensi memperlebar jurang antara mereka yang melek digital dengan mereka yang memiliki keterbatasan akan fasilitasnya. Bahkan, dosen beresiko kehilangan peran strategisnya sebagai pengajar jika mahasiswa lebih mempercayai jawaban AI daripada proses belajar mengajar di kelas. Tanpa pengawasan yang bijak, sisi tajam dari ‘mata pisau” ini bisa meruntuhkan tujuan utama Pendidikan tinggi, yaitu mencetak generasi yang kritis, mandiri, dan berkarakter.
Melihat dua sisi mata pisau ini, saya sendiri berpendapat bahwa AI tidak boleh menggantikan peran berpikir kritis mahasiswa maupun interaksi dengan dosen di ruang kuliah. AI seharusnya ditempatkan sebagai alat bantu, bukan mesin penentu instan dalam hitungan detik. Dalam konteks Indonesia, penggunaan AI di dunia pendidikan seharusnya tidak hanya dipandang dari aspek efisiensi dan teknologi semata. Lebih jauh, ia harus selaras dengan nilai- nilai Pancasila, sila kedua mengingatkan bahwa mahasiswa harus tetap menjunjung tinggi kemanusiaan dengan mengasah daya pikir dan kreativitas. Sila ketiga mendorong adanya gotong royong, di mana AI digunakan untuk memperkuat kolaborasi antara mahasiswa dan dosen. Serta menjunjung tinggi keadilan (sila ke-5) agar akses terhadap AI tidak hanya dinikmati oleh sebagian mahasiswa, melainkan bisa merata di semua kalangan. Dengan landasan Pancasila, AI dapat diarahkan untuk memperkuat karakter serta integritas akademik.
Untuk menghadapi tantangan ini, perguruan tinggi memerlukan penyusunan aturan yang jelas mengenai penggunaan AI dalam tugas akademik. Aturan tersebut bukan hanya soal larangan, tetapi juga memberikan Batasan yang sehat agar mahasiswa tetap bertanggung jawab atas karyanya. Selain itu, mahasiswa perlu dibekali literasi digital serta etika penggunaan AI sejak awal perkuliahan, sehingga mereka tidak hanya pandai dalam memanfaatkan teknologi, tetapi juga paham batas moral dan akademiknya. Dosen pun sebaiknya tidak sekadar melarang, melainkan mampu mengintegrasikan AI ke dalam proses pembelajaran, misalnya menjadikannya bahan diskusi, studi kasus, atau alat evaluasi yang mendorong interaksi yang kritis. Dengan pendekatan ini, AI dapat diposisikan sebagai mitra pendidikan bukan ancaman.
Pada akhirnya, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) bisa menjadi peluang besar bagi pendidikan tinggi, sekaligus berpotensi melumpuhkan daya pikir mahasiswa bila digunakan tanpa kendali. Mahasiswa tetap harus menempatkan berpikir kritis sebagai bekal utama, agar tidak sekadar menjadi “pengguna mesin” yang pasif, melainkan manusia yang kreatif sehingga mampu mengendalikan teknologi. Lebih dari itu, pendidikan tinggi harus mampu menjaga nilai kemanusiaan, etika, dan integritas agar perkembangan AI tidak justru mengikis jati diri bangsa. Pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama adalah: apakah kita ingin melahirkan generasi muda yang cerdas karena AI, atau generasi yang benar-benar cerdas dalam menggunakan AI?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
