Generasi QRIS: Menyelami Cashless Society di Kampus
Teknologi | 2025-10-28 07:58:18
Perkembangan teknologi finansial dalam beberapa tahun terakhir telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat bertransaksi. Jika dahulu uang tunai menjadi alat pembayaran utama dalam kehdupan sehari-hari, kini transaksi digital semakin mendominasi. Fenomena ini dikenal dengan istilah cashless society atau masyarakat tanpa uang tunai. Indonesia tengah bergerak menuju pola transaksi jual beli tanpa uang tunai (cashless), dengan dukungan dari berbagai pihak terutama Bank Indonesia. Upaya ini konkret dimulai sejak peluncuran peluncuran Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) di tahun 2017 dan 2019. Menariknya, gaya hidup cashless tidak hanya terjadi di pusat perbelanjaan atau bisnis besar, tetapi juga telah merambah ke lingkungan kampus dan menjadi bagian dari keseharian mahasiswa.
Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang mudah beradaptasi terhadap perubahan teknologi. Hampir semua aspek kehidupannya kini bersentuhan dengan dunia digital, secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan belajar, komunikasi, hingga transaksi keuangan. Salah satu kebiasaan yang semakin popular yakni penggunaan sistem pembayaran digital seperti QRIS, terutama dalam kegiatan danusan, bazar atau proyek berjualan untuk memenuhi tugas kewirausahaan atau kegiatan organisasi kampus.
Kejadian ini dapat dilihat secara nyata hampir di setiap kampus. Saat mahasiswa menjual makanan ringan di lorong fakultas, tempat yang ramai digunakan untuk singgah para mahasiswa, atau mengadakan charity sale di acara kampus. Mereka sering kali tidak menyediakan kotak uang tunai tetapi menawarkan dengan menyerukan “Bisa bayar pakai QRIS kok kak!” menjadi suara yang sudah sangat familiar untuk didengar. Cukup dengan memindai kode QR yang mereka cetak di selembar kertas atau dari gadget mereka melalui aplikasi e-wallet seperti DANA, GoPay, OVO, ShopeePay, atau m-banking, pembali dapat melakukan transaksi dengan cepat tanpa mencari uang tunai dan menunggu adanya kembalian.
Kebiasaan ini menandakan bahwa mahasiswa aktif menjadi bagian dalam transfomrasi menuju masyarakat cashless. Mereka tidak hanya pengguna teknologi, tetapi juga pelaku perubahan yang membawa budaya transaksi digital semakin luas di kalangan generasi muda.
Lalu, lebih efisienkah atau malah menimbulkan tantangan yang lebih besar?
Alasan utama yang membuat pembayaran digital begitu cepat diterima di lingkungan kampus adalah kemudahannya. Dalam rutinitas perkuliahan yang padat, membawa uang tunai sering kali dianggap tidak praktis karena mempertebal kapasitas dompet mahasiswa. Dengan dompet digital di ponsel, mahasiswa cukup membawa satu media yang dapat digunakan bertransaksi kapan saja dan di mana saja.
Bagi mahasiswa yang berperan sebagai penjual, sistem cashless juga memberikan banyak keuntungan. Seluruh transaksi dapat tercatat secara otomatis di aplikasi, sehingga memudahkan mereka dalam merekap laporan keuangan, menghitung keuntungan, dan menghindari kesalah perhitungan. Dalam konteks pembelajaran, hal ini memberi nilai tambah karena mahasiswa dapat menerapkan manajemen bisnis lebih modern dan efisien.
Selain itu, kegiatan organisasi seperti pembayaran tiket acara, donasi sosisal, atau pengumpulan dana kegiatan menjadi praktis dengan QRIS. Cukup dengan mencantumkan kode QR di dalam poster digital dan membagikannya melalui media sosial, pembayaran dapat dilakukan di mana saja tanpa harus konfirmasi secara tatap muka. Semua ini menunjukkan bahwa cashless society bukan hanya mempermudah transaksi, tetapi juga mempercepat aktivitas sosial dan akademik di lingkungan kampus.
Dampak Positif Cashless Society
1. Keamanan
Penggunaan uang digital mengurangi risiko kehilangan uang atau pencurian. Mahasiswa tidak perlu membawa uang tunai dalam jumlah besar saat pergi ke kampus. Semua transaksi juga dilindungi oleh sistem keamanan aplikasi seperti PIN, enkripsi data, dan verifikasi ganda.
2. Ramah Lingkungan
Sistem pembayaran digital juga mendukung prinsip paperless. Semakin sedikitnya penggunaan uang kertas dan struk transaksi, konsumsi kertas dapat ditekan. Hal ini sejalan dengan semangat go green yang banyak diusung oleh universitas dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
3. Transparansi
Sistem pencatatan digital mempermudah audit keuangan dalam kegiatan organisasi kampus, karena seluruh transaksi terekam secara otomatis. Dengan begitu, budaya akuntabilitas dan kejujuran dapat ditingkatkan di kalangan mahasiswa.
Meski membawa banyak manfaat, tidak sedikit kemungkinan cashless di kampus juga menghadapi beberapa tantangan.
Tantangan Mewujudkan Cashless Society
1. Ketergantungan terhadap jaringan internet
Beberapa area kampus memiliki titik sinyal lemah, sehingga transaksi digital dapat terhambat. Hal ini mempersulit ketika kegiatan berjualan dilakukan di ruang terbuka atau saat acara besar yang mengadakan jaringan bersama.
2. Akses yang tidak sama terhadap perangkat
Mahasiswa dari daerah infrastruktur digital terbatas mungkin mengalami kesulitan beradaptasi. Faktor literasi digital yang belumm merata juga dapat menjadi risiko penyalahgunaan data pribasi, seperti membagikan tangkapan layar kode QR untuk penipuan yang bisa merugikan.
3. Konsumtifitas tinggi
Dari sisi perilaku, kemudahan transaksi digital terkadang membuat mahasiswa kurang bijak dalam mengelola keuangan. Karena proses pembayaran begitu cepat sebagian mahasiswa cenderung lebih boros saat membeli sesuatu karena tidak terasa dan tidak terlihat pengeluaran uang dalam bentuk fisik.
Peristiwa cashless society di kampus mencerminkan perubahan budaya yang lebih luas di kalangan mahasiswa. Transaksi digital bukan lagi hal yang asing, melainkan bagian dari gaya hidup. Mahasiswa lebih mengenal berbagai aplikasi keuangan digital, mengatur pengeluaran melalui e-wallet, hingga memahami konsep keamanan transaksi. Hal ini menandakan adanya peningkatan literasi keuangan digital yang penting di era modern.
Cashlees mendorong munculnya semangat kewirausahaan baru. Mahasiswa yang kini membuka usaha kecil berbasis digital dengan sistem pembayaran melalui QRIS atau transfer online, mereka memanfaatkan peluang mengelola bisnis tanpa memiliki took fisik dan menerima transaksi tanpa batas wilaya. Artinya, cashless society turut memperluas peluang ekonomi kreatif di kalangan mahasiswa.
Tidak hanya itu, perubahan ini mencerminkan kesiapan mahasiswa menghadapi dunia kerja yang semakin digital. Kemampuan beradaptasi terhadap sistem keuangan modern menjadi salah satu keterampilan penting di masa depan. Kampus, secara tidak langsung menjadi ruang latihan bagi mahasiswa memahami dinamika ekonomi digital secara praktis.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
