Persatuan, Amanah yang Harus Dijaga
Sejarah | 2025-10-27 12:19:09Sumpah Pemuda bukan sekadar kenangan sejarah, melainkan tanggung jawab moral yang menuntut keteladanan dari para pemimpin bangsa.
Oleh: Khairil Anam
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda — momentum bersejarah ketika generasi muda 1928 menyatukan tekad untuk berdiri di atas satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Sumpah Pemuda bukan sekadar catatan sejarah, melainkan ikrar moral dan spiritual. Ia lahir dari keikhlasan hati, bukan dari ambisi kuasa. Namun hari ini, semangat persatuan itu tampak semakin diuji. Polarisasi politik, kabar bohong, serta perilaku elit yang sering mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa telah mengikis rasa kebersamaan yang dulu menjadi kekuatan utama negeri ini.
Keteladanan dari Puncak
Jika Sumpah Pemuda adalah simbol persatuan, maka tanggung jawab pertama untuk merawatnya ada pada mereka yang berada di puncak kekuasaan — pemerintah dan para elit politik. Mereka bukan hanya pemegang mandat kekuasaan, tetapi juga penjaga moral publik. Sikap dan tutur kata pemimpin adalah cermin bagi rakyatnya.
Ketika mereka menebarkan keteduhan, rakyat akan rukun. Ketika mereka menunjukkan keadilan, masyarakat akan percaya. Sebaliknya, jika mereka mempermainkan kekuasaan, memperkeruh suasana dengan ujaran kebencian atau korupsi, maka api persatuan akan padam perlahan.
Sumpah Pemuda adalah amanah, bukan slogan. Amanah untuk menjaga keadilan, kejujuran, dan persaudaraan. Pemerintah harus memastikan kebijakan berpihak kepada semua, bukan segelintir. Elit politik harus belajar menahan diri, meletakkan kepentingan bangsa di atas ambisi pribadi. Karena keutuhan Indonesia tidak ditopang oleh kekuasaan, melainkan oleh keteladanan dan kebijaksanaan.
Menanamkan Nilai dari Akar
Di luar lingkar kekuasaan, dunia pendidikan dan keluarga memiliki peran yang tak kalah penting. Sekolah seharusnya menjadi taman tempat nilai-nilai kebangsaan disemai — bukan sekadar lewat hafalan sejarah, tetapi melalui pembiasaan sikap toleran, jujur, dan empatik.
Keluarga, sebagai madrasah pertama, mesti menumbuhkan cinta tanah air dan rasa hormat pada perbedaan. Di sinilah karakter bangsa dibentuk. Masyarakat juga harus menjadi ruang subur bagi gotong royong, bukan medan bagi kebencian.
Dan tentu saja, pemuda tetap menjadi pewaris semangat 1928. Mereka perlu menyalakan kembali api idealisme — menjadi generasi yang berilmu, berakhlak, dan berdaya cipta, yang tidak mudah goyah oleh arus kepentingan atau narasi yang memecah-belah.
Amanah untuk Semua
Reaktualisasi Sumpah Pemuda sejatinya adalah seruan moral untuk semua elemen bangsa. Namun, harus diakui, perubahan tidak akan lahir dari bawah jika mereka yang di atas tak memberi contoh.
Sebagaimana amanah dalam Al-Qur’an, kekuasaan adalah ujian; siapa yang memegangnya wajib menegakkan keadilan dan menebarkan rahmat bagi sesama.
Persatuan bangsa tidak akan lahir dari pidato, tetapi dari keteladanan dan keadilan yang nyata.
Sumpah Pemuda bukan hanya seruan masa lalu — ia adalah pesan abadi agar Indonesia terus hidup dalam harmoni dan kebajikan.
---
.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
