Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Radithga S.

Ketika Kesucian Menutupi Luka: Antara Kuasa, Budaya, dan Transparansi di Dunia Pesantren

Agama | 2025-10-25 14:20:14
Sumber : Pinterest (https://id.pinterest.com/pin/191614159139791671/)

Jakarta - Tepat pada hari Selasa (10/21/2025) pukul 07:30 dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila yang diadakan di Fakultas Syari'ah dan Hukum (FSH) bersama Bapak Drs. Study Rizal, LK, MA. Dalam pertemuan tersebut membahas isu-isu yang terjadi di belakangan ini, serta membahas sisi gelap yang terdapat di Pesantren. Melalui Pertemuan tersebut terdapat banyak informasi mengenai materi yang disampaikan Bapak Drs. Study Rizal, LK, MA.

Dalam salah satu perkuliahan saya bersama Bapak Drs. Study Rizal, LK., M.A., beliau menyampaikan pandangan yang sangat menarik tentang relasi antara kuasa, budaya, dan transparansi di masyarakat. Menurut beliau, banyak isu sosial dan keagamaan yang sebenarnya bukan semata-mata persoalan moral, melainkan juga hasil dari permainan kuasa dan konstruksi budaya yang sudah lama tertanam dalam cara berpikir kita.

Di era banjir informasi seperti sekarang, kita sering kali menerima berita yang tampak benar, padahal mungkin hanya hasil konstruksi pihak tertentu. Tidak semua yang disampaikan media bisa langsung kita percaya, sebab di balik setiap berita sering ada kepentingan tersembunyi. Karena itu, penting bagi kita untuk belajar melihat lebih dalam sebelum menilai.

Sering kali, ketika satu pihak dijatuhkan, muncul anggapan bahwa Islam sedang disudutkan. Padahal, belum tentu demikian. Bisa jadi, yang tampak sebagai “penyerangan terhadap Islam” sebenarnya hanyalah bagian dari permainan narasi untuk membentuk opini publik. Kita diarahkan untuk memihak, tanpa sempat berpikir jernih.

Fenomena serupa juga terjadi di dunia pendidikan keagamaan, seperti pesantren. Banyak masyarakat masih menganggap pesantren sebagai tempat yang suci, bebas dari kesalahan. Namun kenyataannya, di balik tembok yang tampak tenang itu, tak jarang tersimpan masalah serius yang jarang diungkap. Bapak Drs. Study Rizal, LK., M.A. menuturkan bahwa ia pernah menulis tentang beberapa kasus nyata di pesantren di Lombok dan Jawa Barat—kejadian yang melibatkan pelecehan terhadap santri, tetapi tertutup rapat demi menjaga citra lembaga.

Dunia pesantren memang tengah bergerak menuju transparansi, namun publik belum sepenuhnya siap menghadapi kenyataan bahwa lembaga keagamaan pun bisa punya sisi kelam. Saat ada media yang berani menyorotnya, justru media itu yang disalahkan—bukan perbuatan yang diungkap. Masyarakat lebih memilih membela simbol “kesucian” daripada menuntut kebenaran.

Sikap seperti ini bukan muncul tiba-tiba. Ia terbentuk oleh konstruksi budaya yang sudah lama tertanam. Misalnya, pandangan bahwa tokoh agama atau Habib tidak mungkin berbuat salah karena dianggap keturunan Nabi. Padahal Rasulullah sendiri pernah berkata, “Andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.” Artinya, garis keturunan tidak menjadikan seseorang bebas dari kesalahan. Tapi masyarakat kita masih terjebak pada persepsi bahwa darah suci berarti tanpa cela.

Hal yang sama juga terjadi dalam pandangan terhadap perempuan. Budaya menempatkan perempuan di belakang, dianggap tabu jika tampil memimpin. Ketika ada perempuan yang berani maju, ia dicibir, bahkan disebut menyalahi sunnah. Padahal yang menyalahi bukan ajaran Nabi, melainkan cara sebagian orang memahami ajaran itu. Inilah bentuk konstruksi budaya yang masih membelenggu cara berpikir kita.

Jika kita menengok lebih luas, pola yang sama juga terlihat dalam pengelolaan kekuasaan dan dana umat. Banyak dana keagamaan yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat malah dikelola tanpa transparansi. Dana abadi umat, misalnya, berasal dari sisa biaya haji yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Namun dalam praktiknya, dana tersebut sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik atau institusional.

Beberapa rumah sakit dan lembaga pendidikan yang awalnya dibangun dengan dana umat kini diambil alih oleh kementerian atau universitas dengan dalih efisiensi. Langkah ini memang sah secara hukum, tetapi memperlihatkan betapa lemahnya sistem pengelolaan sebelumnya. Pemerintah sebenarnya hanya pengelola, bukan pemilik. Namun batas itu kerap kabur ketika urusan kekuasaan dan keuntungan ikut bermain.

Semua ini menunjukkan bahwa akar persoalan kita bukan hanya pada individu, tapi juga pada budaya yang masih menutup-nutupi kesalahan atas nama kehormatan. Kita masih terlalu takut membuka aib, terlalu cepat menuduh orang yang berbicara, dan terlalu mudah percaya pada mereka yang punya gelar keagamaan.

Padahal, dunia sudah berubah. Transparansi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Jika kita terus menutup mata, maka kita hanya akan menjadi korban permainan kuasa yang mengatasnamakan kebenaran.

Sebagaimana yang disampaikan Bapak Drs. Study Rizal, LK., M.A., dunia pesantren, media, dan masyarakat luas perlu bergerak bersama dalam semangat keterbukaan dan introspeksi. Kebenaran tidak selalu datang dari mereka yang tampak suci, melainkan dari mereka yang berani jujur mengungkap kenyataan. Dan dari keberanian itulah, perubahan sosial yang sejati bisa dimulai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image