Jantung yang Berdebar Ketika Jatuh Cinta
Edukasi | 2025-10-21 07:42:58
Pendahuluan
Jantung adalah organ vital yang berperan penting dalam sistem peredaran darah, yang bertanggung jawab untuk memompa darah kaya oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh serta mengembalikan darah yang mengandung karbondioksida ke paru-paru. Jantung juga merupakan pengendali utama dalam sirkulasi darah. Jantung memiliki kemampuan menghasilkan impuls sendiri tanpa bantuan sistem saraf (disebut auto depolarisasi), sehingga dapat berkontraksi secara otomatis. Selain dikendalikan oleh impuls sendiri, fungsi jantung juga dipengaruhi oleh sistem endokrin, terutama hormon aldosteron yang diproduksi kelenjar adrenal. Aldosteron berperan penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, terutama ketika tubuh mengalami aktivitas fisik berat. Hormon ini membantu menjaga curah jantung, kekuatan kontraksi, dan aliran darah, sehingga proses pertukaran zat di jaringan berjalan baik dan tubuh tetap dalam keadaan homeostasis (keseimbangan internal). Ada beberapa faktor yang membuat jantung berdebar kencang, salah satunya adalah jatuh cinta. Ketika kita melihat seseorang yang menarik bagi kita, pasti tubuh kita secara tidak langsung akan menunjukkan reaksi fisik terhadap seseorang tersebut. Reaksi-reaksi tersebut menandakan bahwa kita merasa senang, suka, dan gembira terhadap seseorang tersebut. Padahal ketika melihat orang lain frekuensi jantung kita masih normal, tetapi mengapa saat kita melihat orang yang kita sukai frekuensi jantung jadi meningkat? Fenomena ini memang normal tetapi juga aneh. Aneh karena hanya melihat orang yang disukai, kita malah menunjukkan reaksi yang tidak biasa dilakukan pada kehidupan normal. Maka dari itu, mari simak alasan mengapa jantung kita berdebar-debar saat jatuh cinta.
Pembahasan
Ketika seseorang jatuh cinta, tubuh mengalami perubahan yang mirip dengan reaksi terhadap stres atau kegembiraan ekstrem. Sistem saraf simpatis, yang bertanggung jawab atas respon “fight or flight” mulai diaktifkan. Akibatnya, tubuh melepaskan berbagai macam hormon ke dalam aliran darah. Berikut beberapa hormon yang terlibat dalam cinta:
- Hormon Oksitosin, juga disebut sebagai ‘Hormon Cinta’ karena dapat membentuk koneksi sosial, meningkatkan kepercayaan, dan memperdalam perasaan atraksi.
- Hormon Vasopressin, hormon ini bisa membangkitkan perasaan gembira yang terkait dengan mencintai seseorang. Zat ini dirangsang oleh beberapa perilaku yang sama seperti pelepasan hormon oksitosin. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa vasopresin juga dilepaskan ketika ada ancaman, sehingga membuat kita merasa lebih melindungi orang yang kita sayangi.
- Hormon Dopamin, adalah hormon penyebab perasaan gembira seseorang menggebu-gebu dan menimbulkan hasrat cinta yang sangat tinggi. Hormon Dopamin dilepaskan ketika tubuh dalam kondisi baik dan tidak memiliki beban pikiran sama sekali.
- Hormon Adrenalin, adalah hormon yang menyebabkan detak jantung meningkat, tangan berkeringat, energi tubuh meningkat, serta munculnya sensasi gugup di perut.
- Hormon Serotonin, adalah salah satu dari sedikit zat kimia yang terbukti menurun selama beberapa tahap ketertarikan. Tingkat serotonin yang lebih rendah ini mirip dengan yang ditemukan pada individu yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif (OCD).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Helen Fisher (2004), cinta romantis menstimulasi area otak yang sama seperti saat seseorang menggunakan zat adiktif.
Otak juga memiliki peran besar dalam mengatur detak jantung yang berdebar. Bagian otak bernama amigdala dan hipotalamus bertanggung jawab terhadap pengelolaan emosi dan reaksi tubuh. Ketika seseorang mengalami ketertarikan, otak akan mengirimkan sinyal ke jantung melalui sistem saraf otonom untuk meningkatkan denyut nadi. Proses ini serupa dengan respon tubuh terhadap stres atau ancaman, hanya saja dalam konteks cinta, pemicunya adalah rangsangan emosional positif. Menurut Marazziti dan Canale (2004), kadar serotonin pada orang yang sedang jatuh cinta menurun drastis, mirip dengan orang yang mengalami gangguan obsesif. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang jatuh cinta sering memikirkan pasangannya secara terus-menerus.
Dari sisi psikologis, jantung yang berdebar merupakan bentuk komunikasi antara pikiran dan tubuh. Emosi yang kuat seperti cinta, takut, marah, sedih, dan bahagia dapat menimbulkan efek fisik yang serupa. Ketika cinta hadir, seseorang tidak hanya merasakan kebahagiaan, tetapi juga kecemasan akan kehilangan atau penolakan. Kombinasi antara harapan dan ketegangan inilah yang membuat jantung terasa berdegup lebih cepat. Robert Sternberg (1986) menjelaskan bahwa cinta terdiri dari tiga komponen, yaitu keintiman, gairah, dan komitmen. Komponen gairah inilah yang paling erat hubungannya dengan reaksi fisiologis, termasuk detak jantung yang meningkat. Artinya, debaran jantung bukan sekadar simbol cinta, melainkan refleksi nyata dari gairah dan keterikatan emosional.
Dalam berbagai budaya, jantung berdebar sering dipandang sebagai tanda cinta sejati. Dalam sastra klasik maupun lagu-lagu populer, jantung selalu menjadi lambang cinta dan perasaan tulus. Namun, interpretasi ini juga dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial. Dalam budaya Asia, cinta yang menimbulkan debaran jantung dianggap suci dan mendalam, sedangkan dalam budaya Barat, debaran sering dikaitkan dengan gairah dan ketertarikan fisik. Terlepas dari perbedaan itu, fenomena ini menunjukkan bahwa cinta adalah pengalaman universal yang menggabungkan unsur biologis, emosional, dan sosial secara harmonis.
Walau terasa indah dan menyenangkan, sensasi jantung berdebar tidak selalu berarti cinta sejati. Dalam psikologi modern dikenal istilah misattribution of arousal, yaitu kecenderungan seseorang untuk salah menafsirkan tanda-tanda fisiologis sebagai tanda cinta. Contohnya, seseorang merasa jantungnya berdebar karena gugup atau takut, tapi kemudian ia menyangkalnya dengan mengira dirinya sedang jatuh cinta. Fenomena ini pernah diuji dalam penelitian Dutton dan Aron (1974) menggunakan “jembatan gantung” yang tinggi dan berbahaya. Para pria yang melintasi jembatan tersebut lebih sering melaporkan jika jantung mereka berdebar karena adanya ketertarikan pada perempuan yang mereka temui di ujung jembatan dibandingkan karena mereka ketakutan ketika melewati jembatan gantung berbahaya tersebut. Artinya, jantung yang berdebar karena adrenalin dapat dengan mudah disalah artikan sebagai tanda cinta.
Kesimpulan
Penyebab jantung berdebar saat jatuh cinta adalah karena adanya lonjakan yang diberikan oleh hormon Oksitosin, Vasopressin, Dopamin, Adrenalin, serta Serotonin dalam memberikan perasaan senang yang menggebu-gebu sehingga ikut berpengaruh ke jantung. Kemudian bagian otak yang bernama amigdala dan hipotalamus juga mempengaruhi kondisi jantung melalui saraf otonom untuk meningkatkan denyut nadi dan detak jantung ketika otak mengirimkan sinyal ketertarikan pada seseorang. Jantung berdebar juga merupakan bentuk komunikasi kepada tubuh ketika kita merasa senang, marah, cemas, dan takut kepada seseorang. Dalam berbagai budaya, jantung berdebar merupakan simbol cinta sejati yang menggabungkan unsur biologis, emosional, dan sosial secara harmonis. Tetapi dari semua itu, Dutton dan Aron membantah bahwa jantung berdebar bukan pertanda cinta lewat percobaan mereka yang dinamakan ‘jembatan gantung’ dimana pria-pria yang diuji percaya bahwa jantung berdebar karena melihat para wanita di ujung jembatan, bukan karena habis melewati jembatan gantung yang tinggi dan berbahaya.
Daftar Pustaka
Arini, L. D. D., Ramadhani, E. O., Ramadhani, K. N., Tsuroyya, F. A. (2025). Tinjauan Organ Jantung sebagai Pusat Kehidupan dalam Sistem Kardiovaskular, 3(1), 6.
Abdurrahmat, A. S. (2015), Efek Adrenalin Terhadap Kerja Jantung, 10(1), 974.
Fisher, H. (2004). Why We Love: The Nature and Chemistry of Romantic Love. New York: Henry Holt and Company.
Jankowiak, W. R., & Fischer, E. F. (1992). A Cross-Cultural Perspective on Romantic Love. Ethnology, 31(2), 149–155.
Levine, R. V., Sato, S., Hashimoto, T., & Verma, J. (1995). Love and Marriage in Eleven Cultures. Journal of Cross-Cultural Psychology, 26(5), 554–571.
Marazziti, D., & Canale, D. (2004). Hormonal Changes When Falling in Love. Psychoneuroendocrinology, 29(7), 931–936.
Bartels, A., & Zeki, S. (2000). The Neural Basis of Romantic Love. NeuroReport, 11(17), 3829–3834.
Levenson, R. W., & Gottman, J. M. (1983). Marital Interaction: Physiological Linkage and Affective Exchange. Journal of Personality and Social Psychology, 45(3), 587–597.
Brown, S. L., & Brown, R. M. (2015). Connecting Prosocial Behavior to Love and Health. Emotion Review, 7(3), 214–222.
Aron, A., Fisher, H., Mashek, D. J., Strong, G., Li, H., & Brown, L. L. (2005). Reward, Motivation, and Emotion Systems Associated with Early-Stage Intense Romantic Love.Journal of Neurophysiology, 94(1), 327–337.
Dutton, D. G., & Aron, A. P. (1974). Some Evidence for Heightened Sexual Attraction Under Conditions of High Anxiety. Journal of Personality and Social Psychology, 30(4), 510–517.
Sternberg, R. J. (1986). A Triangular Theory of Love. Psychological Review, 93(2), 119–135.
https://www.nationalgeographic.com/premium/article/love-loss-death-hormones-brain-heart-health?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
