Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image siti suryani

Krisis Fatherless Kian Marak Dalam Sistem yang Rusak

Agama | 2025-10-21 03:22:17

Fatherless adalah fenomena anak-anak yang tumbuh tanpa adanya kehadiran dan peran aktif dari seorang ayah, baik secara fisik maupun emosional. Potret kehidupan saat ini begitu syarat dengan berbagai problematika. Salah satunya generasi fatherless, yang bisa dipicu berbagai faktor sehingga menyebabkan anak kehilangan sosok ayah dalam tumbuh kembangnya.

Fenomena fatherless timbul dari perceraian atau kehilangan, sistem sosial dan juga ekonomi yang menekan seorang ayah hingga kehilangan ruang untuk hadir dalam kehidupan anak. Inilah sistem yang menyanjung kebebasan dan menelantarkan nilai dan peran orangtua. Di bawah hegemoni kapitalisme, peran ayah dirusak, hanya sekedar menjadi mesin ekonomi yang diukur dari seberapa besar gajinya, bukan seberapa dalam kasihnya.

Fenomena ini menyebabkan dampak buruk pada perkembangan anak, seperti sulit dalam bersosialisasi, krisis kepercayaan diri, adanya potensi perilaku menyimpang, serta rendahnya nilai akademik anak. Faktor penyebab fatherless ini bisa bermacam-macam diantaranya bisa karena perceraian, ayah terlalu sibuk bekerja sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk keluarga atau karena kematian ayah yang menjadikan anak dibawah pengasuhan dan didikan ibu.

Fenomena ini menyebabkan dampak buruk pada perkembangan anak, seperti sulit dalam bersosialisasi, krisis kepercayaan diri, adanya potensi perilaku menyimpang, serta rendahnya nilai akademik anak. Faktor penyebab fatherless ini bisa bermacam-macam diantaranya bisa karena perceraian, ayah terlalu sibuk bekerja sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk keluarga atau karena kematian ayah yang menjadikan anak dibawah pengasuhan dan didikan ibu.

Ketiadaan sosok seorang ayah dalam pengasuhan anak tidak selalu berarti berkaitan dengan fisik ayahnya tidak ada. Sebagian besar kasus fatherless yang terjadi di Indonesia justru menunjukkan bahwa sosok ayah hadir secara fisik, namun tidak nampak secara emosional dan perannya secara langsung dalam pengasuhan anak. Anak tidak merasakan kehadiran figur seorang ayah meski secara fisik ada ditengah mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa adanya krisis fatherless di Indonesia bukan semata persoalan keluarga, tetapi cerminan budaya patriarkal dan juga sistem sosial, dimana menempatkan tanggung jawab mengatur urusan keluarga dan rumahtangga hampir seluruhnya di pundak ibu. Sedangkan peran ayah sebagai kepala keluarga adalah bekerja dengan durasi waktu lebih dari 60 jam per pekan sehingga menjadi sebab waktu interaksi dengan anak menjadi sangat terbatas. Inilah salah satu penyebab fatherless selain terdapat pula anak-anak yang benar-benar kehilangan sosok ayah karena perceraian atau kematian.

Fenomena fatherless tidak lahir secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari kebijakan dan regulasi multisektor yang secara sistemis menghilangkan peran ayah dalam urusan pendidikan dan pengasuhan anak dalam sebuah keluarga. Sistem kapitalis yang berlaku saat ini melahirkan kebijakan dan regulasi penyebab fatherless. Negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyat justru menjadi sumber fatherless. Akibat diterapkannya sistem kapitalisme dalam berbagai aspek kehidupan saat ini, dimana keuntungan menjadi satu-satunya tujuan yang menjadi target utama meski harus mengorbankan apapun untuk kepentingan sekelompok orang, yakni penguasa dan pengusaha.

Islam Solusi Tuntas Generasi Fatherless

Rasulullah saw. bersabda,

“Dan laki-laki adalah pemimpin anggota keluarganya dan ia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka.”

(HR Bukhari).

Dalam Islam Ayah tidak hanya harus memenuhi nafkah baik sandang, pangan, dan papan bagi keluarganya, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Kesibukkan mencari nafkah tidak boleh memalingkan memalingkan kewajiban ayah dari kewajiban lainnya yakni mendidik anak. Ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam mendidik anak-anaknya.

Dalam sistem Islam negara menjamin layanan publik secara murah bahkan gratis sehingga para ayah sebagai kepala keluarga tidak berat memikul berbagai biaya seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi dan lain-lain. Para ayah diberikan peluang menjalankan perannya sebagai pencari nafkah yakni negara membuka seluasnya lapangan pekerjaan bagi laki-laki, melalui penerapan sistem ekonomi Islam mampu memberikan kesejahteraan rakyat secara merata. Sementara sumber daya alam yang tersedia dikelola negara untuk kepentingan rakyat dan bisa menikmati hasilnya dalam bentuk fasilitas umum secara murah atau gratis. Bagi para ayah yang tidak mampu bekerja karena kekurangan fisik dan sebagainya maka negara memberi santunan.

Islam sebagai ideologi yang mampu memberi solusi secara tuntas, fenomena fatherless dapat diselesaikan tanpa menimbulkan permasalah yang baru hal tersebut menggambarkan Islam yang diterapkan negara dalam seluruh aspek. Kepala negara sebagai raa’in (pengurus rakyat) yang melayani umat atas keimanan kepada Alloh dengan tujuan ridho Alloh, bukan negara yang berdasar atas kapital dan kepentingan sebagaimana saat ini yang hanya memikirkan untung semata tanpa melihat dampak buruk yang ditimbulkannya.

Dengan demikian upaya mengembalikan peran ayah dalam pendidikan anak sebagai solusi generasi fatherless hanya bisa dilakukan dengan penerapan sistem Islam kafah dalam institusi negara yang berdasarkan pada Alquran yakni kepemimpinan Islam dipimpin seorang Khalifah, yang sudah terbukti selama empatbelas abad lamanya mampu memimpin dunia, diawali dengan kepemimpinan Rosululloh dilanjutkan oleh khulafaurosyidin dan para Khalifah yang banyak.

Wallahualam bissawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image