Menata Adab, Menjaga Marwah Sekolah
Guru Menulis | 2025-10-16 02:12:06Kasus penamparan seorang murid oleh kepala sekolah di Lebak, Banten, baru-baru ini menjadi sorotan nasional. Kejadian ini berawal dari pelanggaran aturan sekolah tentang larangan merokok di lingkungan pendidikan. Seorang murid kedapatan merokok, kemudian ditegur oleh kepala sekolah. Situasi memanas, hingga terjadi tindakan fisik yang tak seharusnya dilakukan seorang pendidik: kepala siswa tersebut ditempeleng. Tak berhenti di sana, sebanyak 630 siswa kemudian melakukan aksi mogok belajar sebagai bentuk solidaritas terhadap temannya.
Kasus ini bukan sekadar insiden antara satu siswa dan kepala sekolah. Di baliknya, ada persoalan mendasar yang mencerminkan tantangan besar dunia pendidikan kita hari ini: lemahnya ketegasan terhadap pelanggaran, kaburnya batas solidaritas yang benar, semakin memudarnya adab dalam interaksi guru dan murid, serta munculnya dinamika sosial yang rawan diprovokasi.
Larangan Merokok: Bukan Sekadar Aturan
Sekolah adalah lingkungan pendidikan, tempat nilai, pengetahuan, dan perilaku baik ditanamkan. Peraturan larangan merokok di sekolah bukan dibuat untuk membatasi kebebasan siswa, melainkan untuk melindungi kesehatan mereka dan menjaga lingkungan belajar yang kondusif. Aturan ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau, yang menyebutkan bahwa sekolah termasuk kawasan tanpa rokok.
Ketika seorang siswa melanggar aturan ini, semestinya ada proses pembinaan yang tegas dan mendidik. Penegakan aturan tidak boleh setengah hati, karena jika satu pelanggaran dibiarkan, maka pelanggaran berikutnya akan dianggap lumrah. Dalam konteks ini, tindakan kepala sekolah menegur siswa adalah langkah yang benar. Namun, cara menyampaikan teguran harus tetap dalam koridor profesional dan beradab.
Kekerasan Tidak Bisa Dibenarkan
Meski pelanggaran aturan siswa perlu ditindak, penggunaan kekerasan fisik sama sekali tidak dapat dibenarkan. Dalam dunia pendidikan, setiap tindakan guru dan kepala sekolah mencerminkan wajah lembaga pendidikan. Menempeleng siswa, dalam situasi apa pun, tetap melanggar prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Guru dan kepala sekolah memegang posisi sebagai teladan. Maka, kendali diri dan kemampuan menyelesaikan masalah dengan pendekatan edukatif sangatlah penting. Kekerasan, sekecil apa pun, dapat meninggalkan luka psikologis, merusak kepercayaan, dan menurunkan wibawa pendidikan itu sendiri. Ini menjadi pengingat bahwa pelatihan manajemen emosi dan penanganan kasus disiplin perlu terus diperkuat di lingkungan sekolah.
Solidaritas yang Keliru
Yang tak kalah memprihatinkan dari kasus ini adalah aksi mogok belajar yang dilakukan oleh 630 siswa sebagai bentuk solidaritas terhadap temannya yang melanggar aturan. Fenomena ini menunjukkan terjadinya pembalikan nilai: yang salah justru dibela, sementara aturan sekolah dipertanyakan.
Solidaritas sejatinya merupakan sikap mulia, saling peduli dan mendukung dalam kebaikan. Namun, ketika solidaritas diarahkan untuk melawan ketertiban, membenarkan pelanggaran, atau menekan otoritas sekolah, maka solidaritas itu menjadi keliru arah.
Inilah tantangan pendidikan karakter masa kini. Banyak siswa tumbuh dalam budaya digital yang serba cepat, di mana opini publik dan tren media sosial seringkali membentuk persepsi benar-salah secara instan. Akibatnya, kemampuan memilah nilai, menghargai aturan, dan berpikir kritis belum terbentuk kuat. Sekolah harus berperan aktif membimbing siswa agar solidaritas mereka berakar pada nilai kebenaran dan keadilan, bukan sekadar ikut arus.
Potensi Provokasi dan Pentingnya Kewaspadaan
Melihat jumlah siswa yang terlibat mogok begitu besar, tidak tertutup kemungkinan bahwa aksi tersebut tidak sepenuhnya murni gerakan spontan. Dalam situasi seperti ini, sangat mungkin ada pihak-pihak tertentu—baik dari dalam maupun luar lingkungan sekolah—yang memanfaatkan momentum untuk memperkeruh suasana.
Di era keterbukaan informasi saat ini, satu video, satu pesan singkat, atau satu unggahan media sosial dapat menyebar luas dan memancing emosi kolektif dalam waktu singkat. Aksi mogok ratusan siswa bisa saja dipicu oleh ajakan terorganisasi atau pihak-pihak yang ingin menggiring opini publik untuk melemahkan wibawa sekolah.
Karena itu, masyarakat, guru, dan siswa sendiri perlu lebih bijak. Kita tidak boleh mudah terprovokasi oleh informasi yang belum jelas. Ketika ada peristiwa di sekolah, semua pihak sebaiknya menunggu klarifikasi resmi, mendengar dari berbagai pihak, dan tidak terburu-buru mengambil kesimpulan sepihak. Pendidikan bukan hanya soal disiplin, tetapi juga melatih kemampuan berpikir jernih dalam menghadapi situasi kompleks.
Krisis Adab di Ruang Sekolah
Di balik kasus ini, ada isu yang lebih mendasar: krisis adab. Dalam konteks pendidikan Indonesia, adab seharusnya menjadi fondasi sebelum ilmu. Murid menghormati guru, guru mengasihi murid, dan semua pihak menjunjung tata tertib bersama. Namun, kini sering kita jumpai batas-batas itu mulai kabur. Murid semakin berani melawan aturan, guru kadang kehilangan wibawa, dan komunikasi antara keduanya tidak lagi seharmonis dulu.
Adab tidak terbentuk secara instan. Ia lahir dari kebiasaan sehari-hari yang konsisten: pembiasaan salam dan sopan santun, keteladanan guru, ketegasan dalam penegakan aturan, serta keterlibatan orang tua dalam mendukung nilai yang sama di rumah. Tanpa sinergi itu, sekolah akan kesulitan menanamkan karakter mulia kepada siswa.
Jalan Tengah: Tegas Tanpa Kekerasan
Menghadapi kasus seperti ini, pendekatan yang ideal adalah tegas tanpa kekerasan. Sekolah harus memiliki prosedur penanganan pelanggaran yang jelas, transparan, dan konsisten. Misalnya, ketika siswa melanggar larangan merokok, sekolah dapat melakukan pembinaan berjenjang: teguran, konseling, pemberitahuan kepada orang tua, hingga sanksi administratif sesuai aturan. Semua dilakukan dengan cara yang mendidik, bukan menghukum secara fisik.
Kepala sekolah dan guru juga perlu mendapatkan pendampingan dalam menghadapi situasi emosional. Tidak semua guru memiliki bekal manajemen konflik yang cukup. Pelatihan reguler, forum refleksi, dan dukungan psikologis akan sangat membantu agar guru tetap mampu bertindak bijak dalam situasi menekan.
Menata Ulang Ekosistem Sekolah
Kasus Lebak seharusnya tidak hanya dilihat sebagai kesalahan individu, tetapi sebagai alarm untuk menata ulang ekosistem pendidikan kita. Semua pihak—guru, siswa, orang tua, dan pemerintah—perlu terlibat aktif.
• Guru dan kepala sekolah: memperkuat peran teladan, komunikasi edukatif, dan konsistensi penegakan aturan.
• Siswa: diberikan pemahaman nilai, aturan, dan pembiasaan adab sejak dini, bukan hanya diberi sanksi ketika melanggar.
• Orang tua: menjadi mitra aktif dalam membangun karakter anak, tidak membela buta ketika anak melakukan pelanggaran.
• Pemerintah: memberikan pelatihan, perlindungan hukum, dan kebijakan yang jelas bagi guru dalam menegakkan disiplin secara profesional.
Penutup
Kasus penamparan murid di Lebak bukan sekadar berita sensasional, tetapi cermin masalah pendidikan karakter yang nyata. Larangan merokok harus dihormati, kekerasan harus dihentikan, solidaritas harus diarahkan dengan benar, masyarakat perlu waspada terhadap provokasi, dan adab harus dikembalikan ke tempatnya sebagai fondasi utama pendidikan.
Sebagai pendidik, kita dituntut untuk terus belajar dan berbenah. Ketegasan dan kasih sayang harus berjalan beriringan. Karena pada akhirnya, keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari nilai akademik, tetapi dari lahirnya generasi muda yang beradab, berintegritas, dan mampu membedakan mana yang benar dan salah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
