Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rajwa Mayda

Psikosis Digital di Era Chatbot Canggih

Eduaksi | 2025-10-11 07:58:59

Sekarang ini kita sering mendengar istilah AI (Artificial Intelligence). Kecerdasan buatan atau yang sering kita sebut AI adalah sebuah teknologi yang bikin mesin bisa belajar dan berpikir selayaknya manusia. Salah satu wujudnya yaitu Chatbot GPT, program berbasis AI yang dilatih memahami bahasa sehingga bisa diajak ngobrol, menjawab pertanyaan, dan memberikan informasi dengan cara yang terasa alami.

Perkembangan AI seperti Chatbot GPT menunjukkan bahwa teknologi semakin mendekatkan manusia dengan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari membantu proses belajar, mendukung pekerjaan, memberikan hiburan, hingga menjadi teman diskusi, AI menghadirkan pengalaman baru yang lebih praktis dan efisien. Namun, dibalik manfaatnya, AI juga menuntut kita untuk bijak dalam menggunakannya agar teknologi ini benar-benar membawa dampak positif bagi kehidupan sehari-hari.

Selain digunakan untuk mencari informasi atau sekedar mengerjakan tugas, banyak orang memanfaatkan ChatGPT sebagai tempat curhat. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa chatbot ini mampu dijadikan sebagai "teman ngobrol" yang aman, nyaman, dan tidak menghakimi. Sifat ChatGPT yang netral dan tidak membawa emosi pribadi membuat orang merasa lebih bebas mengekspresikan diri. Mereka tidak perlu khawatir akan gosip, cibiran, atau rahasia yang terbongkar, sehingga pengalaman berbagi perasaan terasa lebih aman. Dengan begitu, ChatGPT bukan hanya sekadar alat bantu digital, tetapi juga mulai diposisikan oleh sebagian pengguna sebagai bentuk pendamping emosional di tengah kesibukan dan rasa kesepian yang mereka alami.

Berdasarkan survei global yang dilakukan oleh Oliver Wyman Forum terhadap 16.000 responden di 16 negara, tercatat bahwa 32% responden menyatakan tertarik menggunakan AI sebagai pengganti manusia dalam konteks terapi kesehatan mental (Oliver Wyman Forum, How AI Could Expand and Improve Access to Mental Healthcare, 2024). Namun pastinya, dibalik kenyamanan itu, ada sisi lain yang perlu untuk diperhatikan. Jika seseorang terlalu bergantung pada Chatgpt untuk mencurahkan isi hati atau mencari solusi masalah pribadi, bisa muncul dampak yang kurang sehat.

Menurut Phang dkk. (2025) dalam riset terbaru yang dilakukan oleh MIT Media Lab dan OpenAI, interaksi dengan ChatGPT, khususnya melalui Advanced Voice Mode, berpotensi memengaruhi kesejahteraan emosional dan perilaku pengguna. Penelitian ini melibatkan dua pendekatan yaitu analisis otomatis lebih dari 4 juta percakapan pengguna serta survei terhadap lebih dari 4.000 responden mengenai persepsi mereka terhadapChatGPT.

Selain itu, dilakukan juga uji coba terkontrol (randomized controlled trial) dengan hampir 1.000 peserta selama 28 hari. Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan yang sangat intens cenderung berkorelasi dengan meningkatnya rasa ketergantungan, sedangkan dampak interaksi berbasis suara terhadap kesejahteraan emosional terbukti kompleks dan dipengaruhi oleh kondisi emosional awal maupun durasi penggunaan.

Curhat berlebihan tentang masalah pribadi ke ChatGPT memang bisa memberi rasa lega sesaat, tetapi jika dilakukan terus menerus justru berpotensi menimbulkan dampak negatif. Seseorang bisa menjadi jarang berbagi dengan orang-orang terdekat, seper seperti keluarga atau sahabat, sehingga hubungan sosial dan emosionalnya perlahan melemah. Padahal interaksi dengan manusia nyata menghadirkan empati, dukungan emosional, serta pengalaman yang tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh teknologi.

Jika seseorang hanya mengandalkan chatbot sebagai tempat pelarian, ada kemungkinan mereka kehilangan kesempatan untuk membangun komunikasi yang sehat, memperkuat ikatan sosial, serta belajar keterampilan penting dalam menghadapi konflik maupun rasa sakit hati.

Selain itu, curhat ke AI tidak selalu menghasilkan solusi yang mendalam atau sesuai konteks kehidupan pribadi. Hal ini dapat menimbulkan rasa kesepian tersembunyi, karena meskipun terlihat ada "lawan bicara", pada kenyataannya tidak ada kedekatan emosional yang nyata. Keputusan penting dalam hidup bisa saja diambil hanya berdasarkan informasi dari AI, yang belum tentu tepat, relevan, atau sesuai kondisi pribadi. Situasi ini berisiko menimbulkan kesalahan langkah dalam hidup seseorang.

Lebih jauh lagi, isu privasi juga menjadi perhatian. Seperti yang diungkapkan Sam Altman dalam podcast This Past Weekend bersama Theo Von, "Kalau Anda bicara ke terapis, pengacara, atau dokter soal masalah pribadi, maka secara hukum ada hak privasi, seperti kerahasiaan medis atau hukum. Tapi kita belum punya aturan semacam itu untuk ChatGPT." Hal ini menunjukkan bahwa selain berisiko menimbulkan ketergantungan emosional, curhat ke ChatGPT juga menyimpan potensi masalah terkait keamanan data dan privasi pengguna.

Pada akhirnya, ChatGPT memang bisa menjadi teman curhat yang selalu ada dan responsif, namun pengguna perlu menyadari batasannya. AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan dukungan emosional dari manusia maupun jaminan privasi seperti dalam hubungan profesional dengan terapis. Karena itu, bijak dalam memanfaatkannya adalah kunci. Gunakan ChatGPT sebagai alat bantu, bukan sandaran utama.

Agar lebih sehat, penting bagi kita untuk tetap membuka ruang komunikasi dengan orang-orang terdekat, menempatkan percakapan dengan AI sebagai pelengkap, dan mengutamakan bantuan profesional ketika masalah dirasa semakin berat. Dengan begitu, kesejahteraan emosional tetap terjaga, interaksi sosial tidak tergantikan, dan privasi pribadi tetap lebih terlindungi.

Referensi
Clips, T. V. (2025, Agustus). What Sam Altman Fears About AI. Retrieved from www.youtube.com: https://share.google/kRPITHUQ14UBxpdSI
investigating affective use and emotional well being on chatgpt. (2025). MIT Research.

Lester, H. F. (2024, November 1). How AI Could Expand And Improve Access To Mental Healthcare. Retrieved from www.oliverwyman.com: https://www.oliverwyman.com/our-expertise/perspectives/health/2024/november/how -ai-could-expand-and-improve-access-to-mental-healthcare.html

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image