Dari Paradigma Dialektik ke Paradigma Holism
Eduaksi | 2025-10-11 07:24:04Analisis KomparatifPerspektif Filsafat Holisme terhadap Gagasan “Dari Skripsi ke Tesis, dari Tesis ke Antitesis, dari Disertasi ke Sintesis”oleh Dr. Fahrus Zaman Fadhly, M.Pd.
Paradigma Dialektik vs. Paradigma Holistik.
Tulisan Dr. Fahrus Zaman Fadhly berangkat dari kerangka dialektika Hegelian, yang memandang perkembangan ilmu sebagai proses dinamis antara tesis–antitesis–sintesis. Dalam kerangka ini, pengetahuan tumbuh melalui konflik dan resolusi ide, menghasilkan bentuk pemahaman yang lebih tinggi dan komprehensif.Namun, bila ditinjau melalui filsafat holisme, khususnya sebagaimana dipahami dalam filsafat pendidikan holistik (Gallegos Nava, 2000; Capra, 1996), maka dinamika ilmu tidak hanya bersifat dialektik (kontradiktif dan evolutif), melainkan juga interkonektif, integratif, dan multidimensional.Holisme melihat realitas pengetahuan sebagai kesatuan organis di mana setiap bagian memiliki makna hanya dalam hubungan dengan keseluruhan.
Dari Pertentangan Menuju Keterhubungan.
Dalam dialektika Hegelian, realitas pengetahuan dibangun melalui pertentangan gagasan—tesis menimbulkan antitesis yang akhirnya menghasilkan sintesis baru.Sebaliknya, dalam ontologi holistik, realitas tidak selalu tumbuh dari pertentangan, melainkan dari koherensi antarbagian dalam sistem yang saling terkait.Capra (1996) dalam The Web of Life menegaskan bahwa pengetahuan tumbuh melalui jaringan relasi, bukan hanya dari konflik ide, tetapi juga dari dialog antardimensi pengalaman: rasional, emosional, spiritual, dan ekologis.
Dengan demikian, dalam perspektif holistik, perjalanan skripsi–tesis–disertasi (atau versi revisinya: tesis–antitesis–sintesis) tidak sekadar dialektika intelektual, tetapi evolusi kesadaran peneliti menuju pemahaman utuh tentang realitas.
Dari Dialektika Logis ke Integrasi Multidimensi.
Tulisan Dr Fahruz menekankan logika dialektik sebagai metode keilmuan: pengetahuan harus diuji, digugat, dan diperbarui secara rasional.Sementara itu, filsafat holisme epistemologis (Varela, 1991; Gallegos Nava, 2003) menilai bahwa proses pencarian kebenaran tidak hanya melibatkan rasio, tetapi juga intuis, pengalaman hidup, empati, dan kesadaran spiritual.
Epistemologi holistik menegaskan bahwa:Skripsi (tesis) bukan hanya penyusunan argumen pertama, tetapi latihan kesadaran diri terhadap objek pengetahuan.Tesis magister (antitesis) bukan semata menggugat teori, tetapi menemukan keterkaitan antarilmu secara reflektif dan kontekstual.
Disertasi (sintesis) bukan hanya integrasi teori baru, melainkan manifestasi kesadaran keilmuan tertinggi, di mana peneliti memandang kebenaran secara utuh: ilmiah, etis, dan spiritual.
Dengan demikian, epistemologi holistik memperluas logika dialektika menjadi dialog eksistensial antara peneliti dan realitasnya, bukan sekadar antara teori dan data.
Dari Intelektualitas Menuju Kesadaran Transformatif
Dalam kerangka dialektik, karya ilmiah berfungsi sebagai sarana produksi pengetahuan baru. Nilai utamanya adalah rasionalitas dan kemajuan konseptual. Dalam holisme, fungsi ilmu diperluas: ilmu adalah alat transformasi kesadaran dan peradaban (Gallegos Nava, 2001; Wilber, 2007).
Artinya, Skripsi (tesis) berperan membangkitkan kesadaran individual tentang tanggung jawab ilmiah.Tesis (antitesis) menumbuhkan kesadaran sosial-kritis, menantang struktur pengetahuan yang menindas atau parsial. Disertasi (sintesis) menjadi aksi spiritual-intelektual yang mempersatukan ilmu, etika, dan kebijaksanaan dalam melayani kehidupan.
Dengan demikian, holisme memandang tugas akhir bukan sekadar produk akademik, tetapi proses spiritual menuju pencerahan intelektual—sebuah “pendidikan kesadaran”.
Dari Dialektika Menuju Integrasi
6Filsafat holisme tidak menolak dialektika, tetapi melampauinya dalam kesatuan yang lebih luas. Dialektika adalah bagian dari proses, namun holisme menempatkan dialektika dalam konteks kesadaran integratif.Dengan demikian, usulan Dr Fahruz tentang perubahan istilah menjadi tesis–antitesis–sintesis dapat dimaknai sebagai tahap-tahap kesadaran ilmiah, yang dalam pendekatan holistik berkembang menjadi:
1. Tahap Tesis (Kesadaran Personal) — Pengenalan diri dan realitas pengetahuan.
2. Tahap Antitesis (Kesadaran Sosial-Kritis) — Dialog dan dekonstruksi paradigma lama.
3. Tahap Sintesis (Kesadaran Integral) — Integrasi rasio, nilai, dan spiritualitas dalam horizon kebijaksanaan.
Dengan membaca gagasan Dr. Fahruz dalam bingkai holisme, dialektika keilmuan tidak berhenti pada rasionalitas semata, tetapi menjadi perjalanan menuju keutuhan manusia sebagai subjek pengetahuan.
Gagasan Dr. Fahrus Zaman Fadhly merupakan langkah penting dalam reformasi bahasa akademik dan kesadaran epistemologis pendidikan tinggi Indonesia.Namun, agar transformasi ini lebih utuh, ia perlu dilengkapi dengan pandangan holistik, yang memandang proses ilmiah bukan sekadar pertarungan ide, melainkan perjalanan kesadaran menuju keutuhan pengetahuan dan kemanusiaan.
Dengan demikian, pendidikan tinggi tidak hanya menghasilkan ilmuwan yang mampu “berpikir benar”, tetapi juga bijak dan sadar akan keterhubungan seluruh aspek kehidupan—inilah tahap sintesis sejati dalam filsafat holisme.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
