Fenomena Bunuh Diri Remaja: Cermin Sakitnya Mental Generasi Saat ini
Gaya Hidup | 2025-10-09 21:49:10
Fenomena Bunuh Diri Remaja: Cermin Sakitnya Mental generasi Saat ini
Nurbayah Ummu Tsabitah, A.Md
(Pemerhati sosial dan generasi)
Psikiater Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Samarinda, Kalimantan Timur dokter Sri Purwatiningsih membagikan cara mengatasi ide bunuh diri yang sering muncul pada kalangan remaja sebagai dampak dari berbagai tekanan mental yang dialami. Ia pun mendorong para orang tua untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak yang menjadi gejala depresi, seperti wajah yang selalu tampak sedih, kehilangan minat pada hobi, serta mudah lelah.
Menurut Sri, penanganan sejak dini dengan berkonsultasi kepada ahli dapat mencegah kondisi mental remaja memburuk hingga ke tahap yang mengancam nyawa. Penyebabnya pun beragam, mulai dari gangguan jiwa seperti depresi dan kecemasan, faktor lingkungan seperti perundungan di sekolah, hingga riwayat genetik dalam keluarga. “Kurangnya validasi emosi saat kecil membuat anak tidak bisa mengungkapkan perasaannya, sehingga mekanismenya malah merugikan diri sendiri,”
jelasnya. Fenomena ini, imbuh dia, sangat rentan terjadi pada remaja dengan rentang usia 12 hingga 19 tahun, dimana perempuan memiliki risiko 1,5 kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.
Fenomena remaja bunuh diri menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dalam mencetak individu yang bermental kuat, selalu bersyukur dan bersabar dalam menjalani kehidupan. Selain itu, juga menunjukkan kegagalan negara dalam mengurus rakyat dan menjaga kesehatan mental rakyat khususnya remaja.
Fenomena Maraknya Gangguan Mental ada Sebuah krisis global dalam satu dekade terakhir, isu kesehatan mental menjadi sangat banyak dibicarakan, terutama setelah ditemukan banyak kasus di kalangan generasi muda, mulai dari NPD (narsistik), stres, kecanduan game atau film, hingga depresi berat dan kegilaan.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental semakin buruk terutama pascapandemi Covid-19, yang memicu tekanan jangka pendek maupun panjang. Dampaknya tidak hanya pada krisis ekonomi, tetapi juga merusak kesehatan mental banyak orang karena perasaan terkekang, bingung, cemas, dan kehilangan pekerjaan.
Pada tahun 2025 WHO menyatakan masalah kesehatan mental pada anak dan remaja mencapai titik kritis dan menghancurkan. Kids Right Index 2025 melaporkan 14% anak dan remaja usia 10-19 tahun mengalami masalah kesehatan mental. Terlebih lagi, anak-anak di bawah 10 tahun pun banyak yang mengalami gangguan mental emosional akibat intimidasi atau pengalaman seksual.
Secara global, angka bunuh diri pun mencapai 6/100.000 orang pada remaja usia 15-19 tahun, bahkan menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak pada usia 15-29 tahun. Penggunaan media sosial memiliki korelasi dengan kondisi kesehatan mental, termasuk bunuh diri.
Di Indonesia, data Survei Kesehatan Mental Generasi Muda 2022 menunjukkan 34,9% remaja mengalami gejala gangguan mental. Menteri Kesehatan juga pernah mengatakan 30% dari 280 juta penduduk Indonesia pada tahun 2025 memiliki penyakit mental. Kasus bunuh diri juga meningkat dari tahun ke tahun.
Pendekatan penanganan kesehatan mental telah berevolusi dari spiritualistik ( ruqyah , pemasungan) menjadi psikologis (konflik psikologis) hingga multifaktor (psikologis, interpersonal, keluarga, masyarakat, medis).
Namun saat ini, pendekatan yang dominan masih sekularistik dan materialistik; masalah kesehatan mental dipandang sebagai masalah tunggal dan individual. Padahal sebenarnya masalah kesehatan mental adalah masalah multifaktor dan sistemik, yang menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang “sakit” karena sesuatu yang melingkupi.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental meliputi : Internal : Biologis (genetik), fisiologis (pengalaman, trauma seperti batin anak ), dan spiritualitas (ketahanan ideologi, kemampuan mengatasi masalah). Eksternal : Keluarga (pola asuh, hubungan, kondisi ekonomi), lingkungan (interaksi, kontrol sosial, budaya, gaya hidup , media sosial), dan yang paling krusial adalah peran negara.
Islam memberikan jawaban yang jelas terkait kesempitan hidup yang dirasakan oleh banyak orang yang mengalami gangguan mental emosional. Dalam Surat Thaha ayat 124, Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa diperbolehkan dari peringatan-Ku, maka sungguh ia akan menjalani kehidupan yang sempit.” Kesempitan hidup ini adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem sekularisme, sistem yang menafikan peran Allah dalam kehidupan.
Sistem sekuler sendiri menimbulkan banyak stressor melalui berbagai aspek: Politik : Jauh dari fungsi pengayoman, penguasa tidak memposisikan diri sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Kebijakan negara seringkali menjadi sumber kekerasan terbesar, menyebabkan stres pada masyarakat, misalnya terkait pajak atau layanan kesehatan seperti BPJS yang tidak berpihak pada rakyat.
Ekonomi : Sistem kapitalisme yang eksploitatif menghasilkan kemiskinan dan kemiskinan, sementara negara-negara seolah-olah memiliki perkiraan yang baik-baik saja dan menetapkan kriteria kemiskinan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Sosial Budaya : Penuh persaingan, individualis, hedonis, konsumtif, liberal-permisif, dan penuh kekerasan, menciptakan lingkungan yang tidak mendukung bagi kesejahteraan mental.
Pendidikan : Sekularistik, tidak lagi menjadi tempat aman bagi anak-anak, jauh dari agama, bahkan guru menjadi pelaku kejahatan. Orientasi pendidikan menciptakan “mesin pekerja” yang menuntut secara materialistik.
Hukum : Diskriminasi dan sulitnya mendapatkan keadilan, menimbulkan kekecewaan ( no viral no justice ).
Media : Menjadi alat propaganda kekufuran, pornografi, permainan judi, riba online , yang semuanya menjadi stressor.
Mengingat akar masalahnya yang sistemik, solusinya pun harus sistemik dan komprehensif. Kehidupan sekuler-kapitalistik harus ditinggalkan karena bukan habitat umat Islam dan tidak manusiawi. Satu-satunya harapan adalah sistem Islam, yang merupakan konsekuensi iman bagi seorang Muslim. Allah SWT dengan tegas berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 65 bahwa hakikatnya kita tidak beriman sebelum menjadikan Nabi Muhammad sebagai hakim dalam setiap perkara, tanpa persetujuan.
Ajaran Islam adalah sistem yang sempurna, solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan, yang tidak hanya memberikan kesejahteraan materi, tetapi juga kesejahteraan hakiki yang disebut keberkahan ( ziadatul khair ).
Islam menjadi sistem pendukung bagi kesehatan mental melalui dua aspek utama: Akidah yang Sahih : Menjawab persoalan utama manusia ( dari mana aku? , akan ke mana aku? , dan harus apa aku? ), memberikan visi hidup yang jelas, menjadi asas pola berpikir dan memikirkan umat. Akidah Islam menjadi landasan imun untuk menghadapi berbagai permasalahan cabang kehidupan (ekonomi, politik, pergaulan, keluarga), menciptakan nafsun mutmainah (jiwa yang tenang tenteram) dan jiwa pejuang yang tangguh.
Aturan Islam yang Sempurna : mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia: (1) Hubungan dengan Allah : Meliputi rukun iman (termasuk qada dan qadar) serta ibadah, yang dapat menjadi solusi pelepasan stres. (2) Hubungan dengan Diri Sendiri : mengatur makanan, minuman, dan akhlak, sehingga lisan dan perilaku individu tidak menjadi stressor bagi orang lain. (3) Hubungan dengan Masyarakat : Meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan media, yang semuanya diatur untuk menciptakan masyarakat yang kondusif dan sejahtera.
Ajaran Islam akan mengeliminasi stressor dan menjadi support system bagi kesehatan mental dan kesehatan lainnya. Allah menjanjikan keberkahan dari langit dan bumi bagi penduduk negeri yang beriman dan bertakwa, namun sebaliknya akan menimpakan azab jika mereka mendustakan ayat-Nya (QS. Al-A'raf: 96).
Dalam sistem Islam, individu yang tangguh, masyarakat yang kondusif (menjalankan amar makruf nahi mungkar), dan negara yang berfungsi sebagai pengatur serta pelindung akan saling menguatkan. Ini membangun imunitas dan keimanan yang sempurna, membentuk ketahanan ideologis yang tangguh.sebagaimana teladan pemuda palestina yang Tangguh dalam menghadapi kehidupan yang sulit saat ni
Sejarah mencatat kecemerlangan peradaban Islam. Will Durant, sejarawan Barat, dalam bukunya The Story of Civilization , menyatakan bahwa para Khalifah telah memberikan keamanan luar biasa bagi kehidupan dan kerja keras manusia, menyediakan peluang dan kesejahteraan (termasuk kesehatan fisik dan mental) selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena ini belum pernah tercatat lagi dalam sejarah setelah masa mereka. Wallahu A'lam bisshawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
