Fatherless dan Daddy Issues: Mengapa Perempuan Rentan Rentan Memilih Pasangan yang Salah
Parenting | 2025-10-06 01:47:16
Fenomena "fatherless", ketiadaan peran ayah, baik secara fisik maupun emosional-telah lama menjadi isu psikososial di Indonesia. Dampaknya terasa dalam berbagai aspek perkembangan anak, namun bagi anak perempuan, kekosongan ini sering kali meninggalkan bekas yang mendalam, terutama saat mereka memasuki masa dewasa dan harus menentukan pilihan krusial dalam hidup: memilih pasangan hidup.
Sebagai model relasi pertama dengan figur pria, peran ayah dalam kehidupan anak perempuan sangatlah vital. Ayah bukan hanya penyedia nafkah, tapi juga "jembatan" yang mengajarkan anak perempuannya tentang batasan yang sehat, rasa aman, dan bagaimana seharusnya seorang pria memperlakukan wanita dengan hormat. Ketika jembatan ini rapuh atau bahkan hilang, dampak yang muncul pada anak perempuan dalam memilih pasangan sering kali mengarah pada pola hubungan yang tidak sehat.
Pencarian Figur Pengisi Kekosongan
Perempuan yang tumbuh dengan minimnya peran ayah kerap mengalami apa yang disebut "father-hunger" atau "Daddy Issues", sebuah kerinduan mendalam akan kasih sayang, validasi, dan perlindungan dari figur maskulin. Kekosongan emosional ini menciptakan kerentanan, yang kemudian memengaruhi preferensi mereka dalam memilih pasangan. Beberapa pola yang umum muncul meliputi:
1. Mencari Sosok "Ayah" dalam Pasangan
Anak perempuan yang kehilangan peran ayah cenderung mencari pasangan yang jauh lebih tua atau memiliki sifat dominan dan protektif, yang mereka proyeksikan sebagai pengganti figur ayah yang hilang. Tujuannya adalah untuk mengisi kebutuhan akan rasa aman, bimbingan, dan dukungan yang tidak pernah mereka dapatkan. Sayangnya, pencarian ini bisa menjebak mereka dalam hubungan yang didasarkan pada ketergantungan (dependensi) dan bukan pada kemitraan yang setara. Hubungan tersebut berisiko menjadi toxic atau bahkan abusive karena fokusnya adalah pada pengisian kekosongan, bukan cinta yang matang.
2. Rendahnya Batasan Diri (Boundaries)
Ayah yang hadir seharusnya menjadi yang pertama mengajarkan anak perempuannya tentang harga diri dan bagaimana menetapkan batasan dalam berinteraksi dengan pria. Ketika sosok ini absen atau gagal menjalankan perannya, anak perempuan mungkin tumbuh dengan harga diri yang rendah dan kesulitan mengatakan "tidak". Mereka menjadi rentan terhadap pria yang manipulatif atau abusive karena mereka tidak memiliki acuan internal tentang standar perlakuan yang layak mereka terima.
3. Perilaku Mencari Validasi
Rasa tidak layak atau tidak berharga yang timbul dari kurangnya afirmasi positif dari ayah dapat mendorong anak perempuan untuk terus mencari validasi dari lawan jenis. Mereka mungkin terlibat dalam banyak hubungan atau menjalin hubungan seksual dini sebagai upaya untuk mendapatkan perhatian, cinta, atau rasa diakui. Pilihan pasangan mereka didorong oleh kebutuhan untuk merasa dilihat dan dicintai, bukan oleh kecocokan nilai atau visi hidup.
Inti permasalahannya terletak pada hilangnya model peran maskulin yang sehat. Bagi anak perempuan, ayah adalah "penerjemah" pertama tentang dunia laki-laki. Melalui ayah, mereka belajar bahwa pria bisa menjadi sosok yang kuat sekaligus lembut, tegas sekaligus penyayang, dan bertanggung jawab.
Tanpa hadirnya peran ayah, anak perempuan kesulitan membedakan antara pria yang baik dan pria yang hanya memanfaatkan kerentanan mereka. Mereka mungkin salah menafsirkan perhatian yang intens sebagai cinta, atau sikap dominan sebagai perlindungan, sehingga rentan memilih pria yang justru mengulangi pola pengabaian atau ketidakpedulian yang mereka alami di masa kecil.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
