Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Izuddin

Syiar Islam Melalui Selembar Batik: Dakwah Sunan Gunung Jati dan Sentot Ali Basya

Kultura | 2025-10-03 06:17:43

Syiar Islam Melalui Selembar Batik: Dakwah Sunan Gunung Jati dan Sentot Ali Basya

Batik merupakan salah satu warisan budaya asli Indonesia yang telah diakui dunia. Pada 2 Oktober 2009, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda milik Indonesia. Penetapan ini kemudian mendorong pemerintah menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Batik Nasional.

Dengan latar belakang sejarah yang panjang, batik berkembang melalui dinamika peradaban Nusantara, termasuk pengaruh agama dan interaksi dengan budaya asing. Tulisan ini akan mengulas secara populer bagaimana batik tumbuh sejak masa pra-Islam, lalu berakulturasi dengan masuknya Islam, hingga digunakan sebagai media dakwah oleh tokoh-tokoh penyebar Islam seperti Sentot Ali Basya di Bengkulu dan Sunan Gunung Jati di Cirebon, yang melahirkan batik-batik bernuansa Islami seperti Batik Besurek dan Batik Megamendung.

Ilusatrasi Batik Ciwaringin yang bermotifkan tumbuhan dan tanaman

Jejak sejarah batik di Indonesia dapat ditelusuri jauh sebelum masuknya Islam. Perkembangan batik berpusat di Pulau Jawa, terkait dengan kemajuan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha seperti Majapahit, kemudian masa Kesultanan di Solo dan Yogyakarta. Di Cirebon misalnya, sebelum budaya Islam masuk, Cirebon dipengaruhi budaya Hindu-Buddha. Peninggalan motif hias Hindu-Buddha terlihat pada ornamen bangunan keraton awal Cirebon. Warisan artistik Hindu-Buddha tersebut menjadi inspirasi bagi motif batik Cirebon ketika mulai berkembang pada abad ke-14. Kain batik dibuat oleh keluarga keraton dan kemudian berkembang di luar keraton, meneruskan tradisi seni sejak masa pra-Islam (masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam). Jadi, jauh sebelum Islam hadir kuat, tradisi membatik sudah berakar dalam budaya Nusantara, dengan motif-motif awal dipengaruhi kepercayaan lokal dan lingkungan alam.

Proses penyebaran Islam di Nusantara berlangsung damai dan akomodatif terhadap budaya lokal, sehingga terjadilah akulturasi budaya. Para ulama dan Wali Songo menggunakan berbagai media dakwah yang dekat dengan masyarakat saat itu, antara lain melalui kesenian dan tulisan. Salah satu bentuk kesenian yang dijadikan sarana dakwah adalah seni batik itu sendiri, di samping wayang, gamelan, ukiran, dan kaligrafi. Budaya membatik Indonesia yang sudah ada kemudian menyerap unsur-unsur islami seiring berkembangnya Islam.

Seni Islam menganjurkan penghindaran penggambaran makhluk bernyawa secara realistis, sesuai beberapa interpretasi hadis. Hal ini memengaruhi ragam hias batik: motif-motif batik cenderung abstrak, floral, geometris, atau berupa simbol daripada gambar manusia atau hewan secara nyata. Jika pun ada bentuk hewan, biasanya distilir (distylize) atau bersifat mite/khayalan. Selain itu, hadir pula motif kaligrafi Arab sebagai unsur baru dalam batik pasca masuknya Islam. Berbagai budaya asing yang datang bersama Islam turut memperkaya motif batik, antara lain pengaruh Arab (Islam), Tionghoa, Persia, dan India. Namun, unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan berasimilasi dengan budaya lokal tanpa menghilangkan ciri asli, melainkan menghasilkan bentuk baru yang unik. Inilah akulturasi: misalnya motif batik dengan huruf Arab, motif megamendung bernuansa awan Tiongkok, motif hewan legendaris seperti Buraq, hingga motif kombinasi seperti Paksi Naga Liman dan Singa Barong di Cirebon yang memadukan ikon dari berbagai budaya.

Salah satu contoh penggunaan batik sebagai media dakwah terjadi di Bengkulu pada abad ke-19 melalui peran Sentot Ali Basya. Sentot Ali Basya adalah panglima perang Pangeran Diponegoro yang terkenal dalam Perang Jawa (1825-1830). Setelah perang usai, ia ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Bengkulu, Sumatra. Dalam masa pengasingannya tersebut, Sentot tidak berdiam diri; ia justru berkontribusi menyebarkan ajaran Islam di tanah Bengkulu. Uniknya, salah satu metode dakwah yang ia gunakan adalah melalui kesenian membatik yang ia bawa dari Jawa.

Sentot Ali Basya mengajarkan seni batik kepada penduduk lokal Bengkulu, namun dengan muatan islami. Ia mengenalkan huruf hijaiyah (huruf Arab) melalui keindahan kaligrafi yang digoreskan sebagai motif pada kain batik. Penduduk Bengkulu yang awalnya asing dengan huruf Arab menjadi tertarik karena disampaikan lewat medium yang artistik dan fungsional. Dari sinilah lahir batik khas Bengkulu yang motif utamanya berupa kaligrafi Arab, dikenal dengan nama Batik Besurek. Istilah besurek sendiri berarti "bersurat" atau "berhuruf", merujuk pada motif huruf Arab yang menjadi ciri khasnya. Batik Besurek merupakan wujud nyata akulturasi budaya Arab dengan tradisi batik Indonesia.

Berbeda dengan Sentot yang hidup di abad ke-19, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) adalah ulama dan salah satu Wali Songo pada abad ke-16 yang menyebarkan Islam di Jawa bagian barat. Beliau pendiri Kesultanan Cirebon dan memerintah sebagai sultan pertama. Pada masa Sunan Gunung Jati, kesenian batik Cirebon berkembang pesat dengan nuansa akulturasi multi-budaya di bawah ruh Islam. Cirebon kala itu merupakan pusat perdagangan internasional; letaknya strategis di pesisir utara Jawa menjadikannya tempat persinggahan para pendatang dari berbagai negeri (Arab, Persia, Gujarat, Tiongkok, dll.). Akibatnya, Cirebon tumbuh sebagai masyarakat multi-kultur yang menyatukan aneka budaya dalam naungan ajaran Islam. Hal ini tercermin pada motif-motif batik Cirebon yang sangat beragam asal-usulnya.

Sunan Gunung Jati menyadari potensi kesenian lokal sebagai media dakwah. Ia tidak menolak budaya asing, justru merangkulnya dan memberi sentuhan nilai Islam. Salah satu contohnya adalah Kesenian Buraq di Cirebon. Buraq adalah hewan mistis dalam kisah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW (digambarkan berkuda bersayap, berkepala wanita berhijab). Sunan Gunung Jati memperkenalkan kesenian Buraq ini sebagai sarana silaturahmi untuk mengumpulkan masyarakat sambil menyampaikan dakwah Islam. Pertunjukan Buraq biasanya berupa arak-arakan (pawai) yang digelar pada perayaan khitanan atau acara adat lain, di mana replika kuda bersayap berkepala perempuan (simbol Buraq) dibawa berkeliling diiringi musik dan cerita islami. Melalui cara ini, pesan Islam disisipkan dalam hiburan rakyat – strategi dakwah kultural yang efektif. Dari tradisi kesenian Buraq tersebut, lahirlah motif batik Buraq di Cirebon. Motif ini menampilkan figur kuda bersayap khas Buraq yang disusun secara estetis dalam pola batik, menjadi pengingat akan kisah spiritual Nabi sekaligus contoh akulturasi (karena motif kuda bersayap juga memadukan seni lokal dengan cerita Islam).

Terlepas dari itu, Perjalanan batik di Nusantara mencerminkan kisah besar akulturasi budaya dan agama. Sejak masa pra-Islam, batik sudah menjadi bagian penting tradisi lokal dan terus berkembang seiring masuknya pengaruh baru. Batik terbukti menjadi sarana akomodatif dalam menyebarkan Islam. Hasilnya adalah warisan batik bernuansa Islam yang hingga kini lestari dan diapresiasi. Dengan memahami cerita di balik motif-motif batik seperti Besurek dan Mega Mendung, kita dapat lebih menghargai batik sebagai wujud harmoni budaya – jalinan antara keindahan seni dan kedalaman spiritual. Inilah yang menjadikan batik Indonesia bukan hanya kebanggaan nasional, tetapi juga kontribusi berharga bagi khazanah budaya dunia.

Daftar Pustaka:

1. Yuha Afina Khalish & Ade Solihat (2023). Akulturasi Budaya Arab dalam Motif Kaligrafi Batik Besurek Bengkulu. Jurnal Kajian Seni Vol.10 No.01: 80-93[47][22][25].

2. Aquamila Bulan Prizilla (2016). Rupa Ragam Hias Batik Bernuansa Islam Keraton Cirebon Setelah Masa Pra-Islam. Jurnal Rupa Vol.01 No.02: 78-150[20][41].

3. Basiran et al. (2023). Menggali Nilai-Nilai Islam dalam Motif Batik Cirebon: Pendekatan Seni dalam Pendidikan Agama. JRPP Vol.6 No.4[44][45].

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image