Urgensi atas Esensi Pemerataan Hak dan Akses Pendidikan Indonesia
Edukasi | 2025-10-01 11:59:32Beasiswa pada dasarnya bukan hanya sekadar bantuan uang semata, tetapi beasiswa juga merupakan sebuah sarana efektif bagi negara untuk memastikan setiap warga negara memiliki akses pendidikan yang layak serta memadai pula secara merata dalam rangka membentuk masa depan bangsa. Tujuan utama dari beasiswa itu sendiri adalah guna mengatasi adanya perbedaan yang memisahkan antara impian dalam pendidikan dengan kenyataan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam Indonesia, pendidikan pun kerap kali menghadapi sejumlah tantangan besar, contohnya seperti perbedaan kualitas tenaga pendidik di berbagai daerah, minimnya sarana prasarana memadai yang didapat oleh daerah tertinggal, serta kian meningkatnya biaya pendidikan hari demi hari. Dalam kondisi tersebut, beasiswa hadir dengan mengemban peran untuk meminimalisasi ketimpangan agar semua anak bangsa, tanpa mempedulikan latar belakang mereka, dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya yang bermanfaat sebagai investasi jangka panjang serta sebagai perihal guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa kebijakan beasiswa sepantasnya diarahkan untuk menutup kesenjangan yang merupakan penghambat utama kemajuan negara, bukan hanya untuk menguntungkan kelompok tertentu.
Beranjak dari gagasan sebelumnya, prioritas pemerintah Indonesia sepatutnya tidak hanya pada beasiswa berdasarkan prestasi, tetapi tetap harus fokus pula pada beasiswa yang menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu. Hal tersebut pula ditegaskan kembali sebab di latar belakangi oleh perspektif masyarakat yang menilainya sebagai sebuah urgensi berdasarkan kenyataan sosial-ekonomi Indonesia yang menunjukkan adanya ketimpangan yang sangat mendalam. Ironisnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 pula menyebutkan bahwa masih ditemui lebih dari 9,4% masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan akses pendidikan yang terbatas sejak jenjang sekolah dasar. Ketika kita berbicara tentang beasiswa berdasarkan prestasi, kita sebenarnya berbicara tentang hasil akhir dari proses pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi awal, seperti modal ekonomi hingga modal sosial budaya. Anak-anak yang berasal dari keluarga menetap stabil maupun cukup, menengah ke atas, secara statistik cenderung lebih mudah mendapatkan akses pada kursus tambahan, perangkat digital, internet stabil, hingga sekolah dengan kualitas yang layak sehingga proses mereka lebih maksimal sebab tidak hanya dilandasi kerja keras, tetapi juga ditunjang oleh berbagai fasilitas yang sejak awal mendukung kesuksesan mereka. Dengan begitu, jika pemerintah mengutamakan beasiswa berdasarkan prestasi, bukan ini justru memperkuat ketidakadilan, bukan memutus siklus ketidakadilan?
Bila kita menyelami lebih jauh pada contoh nyata, program bidikmisi yang kini dikenal dengan nama KIP Kuliah telah terbukti dapat memberikan berbagai kesempatan bagi jutaan pelajar dari keluarga yang kurang mampu untuk meningkatkan posisi sosial mereka. Berdasarkan laporan Kemendikbudristek pada tahun 2023, lebih dari 1,1 juta penerima KIP Kuliah menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi yang sebagian besar berasal dari keluarga dengan penghasilan di bawah Rp750 ribu per bulan. Banyak di antara mereka juga yang kemudian mampu memperoleh pekerjaan yang memadai, meningkatkan taraf hidup keluarga, dan bahkan menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Salah satu contoh yang kerap kali dibicarakan adalah kisah seorang mahasiswa dari daerah terpencil Nusa Tenggara Timur yang berhasil masuk salah satu perguruan tinggi negeri berkat KIP Kuliah dan kini beliau sedang menempuh karir yang tak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri tetapi pula bagi masyarakat sekitar. Kasus ini membuktikan bahwa beasiswa bukan sekadar bantuan biaya, tetapi juga alat untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata.
Sementara itu, bila prioritas beasiswa hanya ditujukan pada prestasi akademik maka hal ini justru berpotensi memperlebar kesenjangan pendidikan antar wilayah. Seperti yang kita ketahui bahwa kualitas pendidikan kota-kota besar dalam Indonesia memiliki kualifikasi yang jauh lebih baik dibandingkan daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Jika prestasi menjadi prioritas utama, sebagian besar penerima beasiswa akan berasal dari wilayah yang sudah maju seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, sedangkan anak-anak dari Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara akan semakin tertinggal karena standar pencapaian prestasi nasional cenderung lebih mendukung kota. Berdasarkan hal tersebut pula negara seharusnya hadir dengan cakupan yang merata, bukan malah mengalihkan sumber daya untuk mereka yang sudah mempunyai kelebihan dari awal.
Tak lupa, kita juga perlu menilai efektivitas beasiswa prestasi dalam menciptakan pemerataan pembangunan. Tidak sedikit lulusan LPDP yang setelah menyelesaikan studi di universitas top dunia justru tidak kembali ke daerah asal, melainkan memilih bekerja di kota besar atau bahkan luar negeri. Contohnya, menurut laporan evaluasi LPDP pada tahun 2021 yang mana terdapat perbedaan dalam distribusi alumni sehingga lebih banyak yang masuk dalam sektor swasta perkotaan dibandingkan yang kembali untuk memajukan daerah. Hal tersebut menandakan bahwa prestasi akademik yang tinggi tidak selalu dan tidak dapat menjamin untuk memberikan kontribusi nyata terhadap pemerataan nasional. Sebaliknya, beasiswa berbasis kebutuhan seperti KIP Kuliah cenderung lebih efektif dalam mendorong penerima untuk kembali mendedikasikan diri dalam komunitas asal mereka sebab mereka lahir dari masyarakat yang tertinggal dan memahami tantangan di lapangan.
Lebih jauh lagi, dengan mengedepankan beasiswa prestasi saja dibandingkan beasiswa tidak mampu maka kita justru membawa makna moral yang seolah menegaskan bahwa hanya yang "pintar" serta "unggul" saja yang layak mendapat dukungan negara. Padahal, hal tersebut bertentangan dengan isi dari UUD 1945 Pasal 31 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa adanya diskriminasi. Jika negara hanya mengutamakan beasiswa prestasi, artinya hak konstitusional warga negara dari kelompok miskin tidak terpenuhi secara adil dan hal tersebut tidak sejalan dengan esensi negara kesejahteraan yang memastikan bahwa setiap anak, tanpa peduli latar belakang sosial-ekonominya, memiliki kesempatan yang sama untuk maju.
Dengan demikian, dapat pula untuk ditegaskan kembali bahwa memprioritaskan beasiswa berbasis prestasi di atas beasiswa bagi yang kurang mampu bukan hanya kebijakan yang diskriminatif, tetapi juga kontraproduktif terhadap tujuan pembangunan nasional. Berlatar belakang gagasan tersebut, berarti kita teguh akan prinsip untuk memajukan bangsa dengan menjaga agar esensi dan urgensi beasiswa tetap pada jalurnya yaitu sebagai alat pemerataan, sosial, dan keadilan antar generasi, sebab kualitas suatu bangsa tidak diukur dari segelintir elit berprestasi, tetapi dari sejauh mana negara mampu memastikan tidak ada satu pun anak bangsa yang tertinggal.
Dalam gencarnya wacana memajukan bangsa dengan menjaga agar esensi dan urgensi beasiswa tetap pada jalurnya yaitu sebagai alat pemerataan, keadilan sosial, dan mobilitas antargenerasi. Sayangnya terdapat fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa masih terdapatnya kesenjangan cara pandang antara kota dan desa dalam memahami arti pendidikan. Literasi dasar yang seharusnya menjadi hak fundamental anak-anak justru masih didapati terabaikan, terutama pada wilayah pedesaan. Berdasarkan keresahan tersebut, sejumlah rekan saya dan saya akhirnya menemukan sebuah ide guna membangun organisasi komunitas, Prakarsa Aksara. Kami memiliki perspektif bahwa bila tanpa inisiatif nyata secara menyeluruh maka generasi muda terutama di daerah terpencil akan terus terjebak dalam lingkaran ketertinggalan intelektual yang meliputi rendahnya kemampuan baca tulis, minimalnya kesadaran kritis, serta kurangnya pemahaman terhadap isu lingkungan yang kian mendesak pula ancaman akan adanya keinginan bangsa.
Prakarsa Aksara hadir guna mengintervensi masalah tersebut secara langsung melalui berbagai tindakan nyata untuk membuahkan hasil yang signifikan. Kegiatan kami fokus pada pemberantasan buta huruf dan menitikberatkan pada peningkatan literasi siswa sekolah dasar di wilayah pedesaan. Namun, kami juga memiliki sudut pandang bahwa literasi bukanlah sekadar keterampilan teknis membaca atau menulis. Literasi merupakan sebuah pemikiran kesadaran, alat untuk berpikir kritis, serta jalan menuju perubahan sosial berkelanjutan. Tanpa literasi, generasi muda cenderung rentan terhadap praktik manipulasi informasi, mereka juga tidak akan memiliki daya tawar, dan mereka juga akan kehilangan kemampuan untuk memahami secara mendalam suatu realitas secara mandiri.
Ironisnya, kebijakan pendidikan sering kali mengalami hambatan yang mengganggu keberlangsungannya terdapat masalah yang cukup besar pada aspek pelaksanaan dan fasilitas tanpa melihat kondisi nyata masyarakat di lapangan. Anak-anak yang berada pada desa masih mengalami kesulitan dalam memperoleh berbagai bahan bacaan berkualitas, apalagi ruang diskusi yang mampu menumbuhkan kemampuan kritis. Dengan ini, kami terdorong untuk mengisi sejumlah celah tersebut melalui menggabungkan literasi dengan kesadaran agar generasi muda agar mampu guna menyadari pula memahami keterhubungan serta urgensi atas esensi dalam pendidikan.
Bila ditelaah secara mendalam, filosofi Prakarsa Aksara sebenarnya cukup sederhana tetapi lugas yang meliputi berbagai kata yang menciptakan ide, ide yang selanjutnya melahirkan perubahan, dan perubahan yang pada akhirnya membawa pada menetap. Visi kami tersebut menantang paradigma lama bahwa pendidikan hanyalah perihal akademis. Kami mendidik anak-anak tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran terhadap tanggung jawab sebagai generasi muda bangsa. Dengan demikian, mereka tidak lagi diposisikan sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek yang menentukan keberlanjutan masa depan bangsa.
Tentu saja tantangan nyata masih ada dan menghadang penggencaran misi kami. Hal tersebut pula meliputi dari terbatasnya sumber daya, minimnya dukungan kebijakan, hingga rendahnya kesadaran dalam kultur masyarakat untuk memposisikan kepentingan baca tulis sebagai kebutuhan mendasar. Namun dibalik keterbatasan tersebut, tetap ada keyakinan besar akan transformasi kesuksesan yang dapat diawali dari sejumlah langkah kecil yang terdapat. Kami, sebagai generasi penerus bangsa dalam Prakarsa Aksara berkomitmen dengan gigih untuk terus mencoba menunjukkan bahwa nyata perubahan tidak selalu datang dari pusat kekuasaan, tetapi juga dapat digalakkan dari komunitas kecil yang berani memutuskan untuk menolak pasrah pada kondisi yang ada. Prakarsa Aksara berkomitmen dengan gigih guna terus berkontribusi nyata dengan menitikberatkan bahwa perubahan tidak selalu datang dari pusat kekuasaan, tetapi juga dapat digalakkan dari komunitas kecil yang berani untuk menolak pasrah pada kondisi yang ada. 

Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
