Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Peran Ideal Guru dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Eduaksi | 2025-09-28 05:33:00

 

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti persoalan baru dalam implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, justru guru yang paling dirugikan akibat mekanisme program ini.

Hal itu ia sampaikan dalam audiensi bersama Komisi IX DPR RI pada 22 September lalu. Ubaid menegaskan, guru tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan maupun teknis program MBG, tetapi justru dibebani tanggung jawab yang berat di lapangan.

“Guru jadi budak tumbal racun MBG. Jadi guru ini tidak dilibatkan sama sekali, tiba-tiba kedatangan menu makanan yang banyak. Lalu guru disuruh menghitung tampannya ada berapa, rantangnya ada berapa, suruh distribusikan. Nanti kalau ada yang hilang, guru juga yang disuruh ganti,” ujar Ubaid, seperti dikutip dari kanal YouTube TVR Parlemen, Sabtu (27/9/2025).

Peran Ideal Guru dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang dijalankan pemerintah menjadi salah satu langkah penting dalam mendukung tumbuh kembang anak didik. Namun, pelaksanaan di lapangan menuai kritik, terutama terkait beban tambahan yang diberikan kepada guru. Banyak pihak, termasuk Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menilai guru kerap dijadikan “tumbal” teknis distribusi makanan, padahal mereka tidak dilibatkan sejak awal.

Lantas, bagaimana seharusnya posisi guru dalam program MBG?

1. Guru Sebagai Pendamping Edukatif, Bukan Distribusi Logistik

Tugas utama guru adalah mendidik. Karena itu, dalam konteks MBG, guru seharusnya berperan mengedukasi siswa mengenai pentingnya gizi, pola makan sehat, hingga membangun kebiasaan makan yang baik. Guru bukan petugas logistik yang harus menghitung rantang atau mengganti makanan yang hilang.

2. Pusat Perhatian pada Edukasi Gizi dan Kesehatan

Program MBG bisa diintegrasikan dengan kurikulum pembelajaran. Guru dapat menjadikan momen makan bersama sebagai sarana pembelajaran praktis: mengenalkan jenis makanan bergizi, membiasakan etika makan, hingga menumbuhkan kesadaran akan gaya hidup sehat. Dengan begitu, MBG tidak hanya sekadar membagikan makanan, tetapi juga menjadi bagian dari pendidikan karakter dan kesehatan.

3. Kolaborasi Tripartit: Guru, Puskesmas, dan BUMDes

Agar tidak membebani guru, distribusi dan pengawasan logistik sebaiknya ditangani pihak lain, misalnya melalui BUMDes atau penyedia katering lokal dengan supervisi puskesmas. Guru cukup berperan sebagai pendamping yang memastikan anak-anak makan dengan baik, sementara aspek teknis ditangani oleh lembaga yang memang kompeten.

4. Memberi Ruang Partisipasi, Bukan Beban

Guru perlu dilibatkan dalam perencanaan menu dan mekanisme program sejak awal, bukan tiba-tiba diminta menjalankan tugas tambahan. Keterlibatan mereka bersifat partisipatif, misalnya memberi masukan terkait kebutuhan gizi anak, budaya makan lokal, atau pola belajar siswa. Dengan cara ini, guru tetap merasa dihargai sebagai tenaga pendidik.

5. Menjaga Fokus pada Misi Pendidikan

Pada akhirnya, MBG adalah program gizi yang mendukung misi pendidikan. Karena itu, keberhasilan MBG harus diukur bukan hanya dari jumlah rantang yang tersalurkan, tetapi juga dari dampaknya pada kesehatan, konsentrasi belajar, dan motivasi siswa. Di sinilah peran guru sangat penting: menjaga agar tujuan pendidikan tidak kabur hanya karena urusan distribusi makanan.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image