Mindful Eating: Antara Rezeki, Syukur, dan Tanggung Jawab
Gaya Hidup | 2025-09-27 10:48:21Penulis : Muliadi Saleh
Saya berkesempatan bertemu lagi dengan Dr. Darhamsyah di sebuah diskusi. Salah satu lontaran menarik dari Pak Darhamsyah pada pertemuan itu adalah tentang Kesadaran Makan. Topik yang tampak sederhana, tetapi sesungguhnya menyingkap lapisan terdalam dari cara kita menjalani hidup. Dr. Darhamsyah adalah seorang akademisi dari Universitas Hasanuddin dan juga pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Beliau dikenal luas karena fokus pada isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, serta aktif dalam pendidikan dan komunikasi publik. Salah satu gagasan penting yang sering beliau dorong adalah komunikasi empati untuk mencegah konflik sosial. Beliau juga pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi Maluku di KLHK. Dengan latar belakang itu, ketika beliau berbicara tentang kesadaran makan, yang dimaksud bukan sekadar soal makanan, melainkan tentang cara manusia menempatkan diri di hadapan rezeki, syukur, dan tanggung jawab.
Di meja makan kita sering kehilangan makna. Sendok bekerja cepat, mulut mengunyah tanpa perhatian, mata justru terpaku pada layar gawai. Makan hanya menjadi rutinitas mekanis, seakan tubuh hanyalah mesin yang perlu diisi bahan bakar. Padahal, setiap suapan adalah pertemuan dengan rezeki yang datang dari Allah, pertemuan dengan tanah, air, cahaya, dan tangan-tangan petani yang bekerja. Makan adalah titik temu antara anugerah langit dan jerih payah bumi.
Mindful eating atau makan berkesadaran mengajak kita kembali hadir pada momen itu. Ia bukan sekadar gaya hidup, melainkan laku spiritual. Setiap butir nasi adalah titipan rezeki. Setiap kunyahan yang perlahan adalah doa syukur. Setiap makanan yang kita terima adalah amanah untuk dijaga, bukan untuk dihamburkan. Inilah tiga simpul besar dalam makan berkesadaran: rezeki, syukur, dan tanggung jawab.
Ilmu modern pun meneguhkan hal ini. Ahli gizi menegaskan, makan terburu-buru membuat tubuh gagal mengenali tanda kenyang, sehingga sering berujung pada kelebihan makan. Psikologi mengajarkan, makan dengan perlahan menurunkan stres, memperbaiki suasana hati, bahkan menumbuhkan empati. Tetapi lebih dalam dari itu, agama dan kearifan tradisi sudah sejak lama menekankan etika makan. Islam mengajarkan doa sebelum dan sesudah makan, melarang berlebih-lebihan, dan menganjurkan berhenti sebelum kenyang. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus makan lebih, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara.” Pesan ini tidak hanya menjaga tubuh, tetapi juga mengajarkan syukur dan kesadaran.
Syukur dalam makan berarti tidak sekadar mengucap “alhamdulillah” setelah kenyang. Syukur berarti menyadari rantai panjang yang membuat makanan hadir di meja kita: tanah yang subur, air yang mengalir, petani yang berpeluh, ibu yang menanak dengan sabar. Syukur berarti tidak menyia-nyiakan rezeki itu dengan membuang makanan. Syukur berarti menjadikan makan sebagai ibadah kecil, perayaan sederhana atas kasih Allah.
Namun syukur selalu berjalan beriringan dengan tanggung jawab. Indonesia menghadapi ironi besar: 23 hingga 48 juta ton makanan terbuang setiap tahun, sementara masih banyak saudara kita tidur dengan perut kosong. Setiap makanan yang kita buang adalah rezeki yang kita khianati, juga luka ekologis yang kita tinggalkan. Sebab untuk menghasilkan makanan itu, bumi sudah mengorbankan air, energi, dan tanahnya. Maka, makan berkesadaran juga berarti mengambil tanggung jawab sosial dan ekologis: tidak berlebih, tidak mubazir, dan mau berbagi dengan sesama.
Dalam kearifan Nusantara, makan selalu dilihat sebagai peristiwa bersama, bukan hanya urusan perut pribadi. Di Bali, makanan selalu disertai doa persembahan. Di Papua, berbagi sagu adalah simbol persaudaraan. Dalam budaya Jawa, ada pepatah “mangan ora mangan asal kumpul,” yang menunjukkan makan sebagai ruang kebersamaan. Semua ini sejalan dengan pesan agama: rezeki menjadi berkah jika dibagi, syukur menjadi nyata jika diwujudkan dalam solidaritas.
Karena itu, mindful eating bukan sekadar pilihan gaya hidup, melainkan panggilan moral. Ia mengajarkan kita bahwa rezeki bukan milik kita sendiri, melainkan titipan yang harus dijaga. Ia melatih kita untuk tidak serakah, tidak berlebih-lebihan, dan tidak lalai. Ia mendidik kita bahwa makan adalah jalan untuk menumbuhkan kesadaran: syukur kepada Sang Pemberi, tanggung jawab kepada sesama manusia, dan kepedulian kepada bumi yang menjadi rumah bersama.
Akhirnya, makan berkesadaran adalah jalan pulang. Pulang menjadi manusia yang tahu cara menghargai rezeki, bersyukur dengan sederhana, dan memikul tanggung jawab dengan penuh cinta. Sebab dalam setiap suapan sejatinya ada ayat, ada doa, ada rahmat. Dan mungkin, dengan hadir sepenuhnya di meja makan, kita sedang belajar kembali menjadi manusia yang sejati.
Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
