Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Halimatus Sadiyah

Anarki di Grahadi: Ketika Aspirasi Terkubur dalam Kobaran Api

Politik | 2025-09-26 20:01:32

Demonstrasi, sebagai hak konstitusional yang dijamin Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, seharusnya menjadi katup pengaman demokrasi. Ia adalah ruang suci di mana aspirasi dan kritik disalurkan secara damai dan beradab. Sayangnya, wajah mulia demokrasi itu hancur berkeping-keping di Kota Surabaya pada Jumat malam, 29 Agustus 2025. Unjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi, simbol sejarah dan kekuasaan Jawa Timur, berubah menjadi aksi anarkis yang tragis.

Kericuhan dimulai sekitar pukul 21.27 WIB setelah imbauan damai dari Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, diabaikan. Gubernur telah menemui massa dan menyerukan agar aksi berjalan kondusif dan menghindari provokasi. Namun, narasi damai itu pupus seketika. Massa, yang seharusnya menyuarakan keadilan, justru merangsek masuk dan memulai pembakaran massal. Ini jelas bukan lagi bentuk penyampaian pendapat, melainkan tindakan kriminal yang melukai nilai-nilai perjuangan yang menjadi dasar keberadaan gedung tersebut.

"Si jago merah" melahap sejumlah bagian vital Grahadi, termasuk ruang kerja Wakil Gubernur dan ruang pers di sisi barat. Kerusakan fasilitas ini adalah penghinaan terhadap publik. Ruang pers, misalnya, merupakan representasi kebebasan informasi, tetapi justru menjadi korban pertama dari emosi buta. Selain perusakan yang didorong dengan menyalakan petasan dan cairan mudah terbakar, terdapat laporan mengenai penjarahan barang-barang di dalam gudang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Tindakan ini secara fundamental mengalihkan tujuan demonstrasi dari isu sosial-politik menjadi perusakan fasilitas umum.

Gedung Negara Grahadi Terbakar, Sabtu (30 Agustus 2025)

Menjelang tengah malam, aparat Kepolisian akhirnya bertindak tegas. Mereka bergerak untuk menghalau massa yang tidak terkendali dengan menembakkan gas air mata dan menggunakan water cannon. Aksi represif ini memang berhasil membubarkan kerumunan, namun ini adalah konsekuensi logis ketika batas antara aspirasi dan anarkisme telah dilanggar.

Ironisnya, aksi anarkis tidak berhenti di kompleks Grahadi. Massa yang didominasi oleh remaja bersepeda motor melanjutkan tindak perusakan. Mereka melakukan vandalisme serta membakar dan merusak dua Polsek yang saat itu dilaporkan dalam kondisi kosong, termasuk di area Taman Bungkul. Kesaksian warga yang menyebut massa menggunakan petasan dan cairan mudah terbakar untuk memicu api di kantor polisi semakin mempertegas pola kekerasan terencana.

Peristiwa ini harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Hak berpendapat telah dicoreng oleh anarkisme. Kerugian material akibat pembakaran Grahadi dan Polsek memang signifikan, namun kerugian spiritual atas hancurnya kepercayaan publik terhadap aksi demonstrasi damai jauh lebih besar. Pemerintah dan penegak hukum harus bertindak tegas memisahkan demonstran sejati dengan oknum anarkis yang hanya mencari kerusuhan. Kebebasan berpendapat adalah hak asasi, tetapi ia tidak boleh disalahgunakan sebagai tameng bagi tindakan kriminal, perusakan, dan penjarahan. Masa depan demokrasi yang sehat hanya mungkin terwujud jika semua pihak menjunjung tinggi ketertiban sipil dan menolak kekerasan sebagai alat perubahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image