Bukan Sekadar Bisa Klik: Literasi Digital Sebagai Bekal Kecerdasan Sosial Anak
Eduaksi | 2025-09-22 10:10:36
Hari ini, anak-anak sekolah lebih fasih membuka YouTube daripada ensiklopedia. Sayangnya, banyak orang tua maupun guru masih mengartikan literasi digital sekadar “bisa memakai gadget” atau “tahu cara browsing internet”. Padahal, literasi digital jauh lebih dari itu: kemampuan berpikir kritis, memilah informasi, dan menggunakannya secara etis dalam kehidupan sosial.
Data menunjukkan urgensinya. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dari sekitar 212 juta pengguna internet di Indonesia, hampir 48 persen adalah anak di bawah 18 tahun. Mereka menjadi kelompok terbesar kedua pengguna internet, tetapi juga paling rentan. Survei lain mengungkap, meski 70 persen anak aktif menggunakan internet, 80 persen orang tua tidak mengetahui aktivitas digital anak-anak mereka. Tak heran, remaja sering menjadi korban sekaligus penyebar hoaks. Salah satunya kasus “penculikan siswa SMP di Tangerang Selatan” yang viral di WhatsApp, padahal sudah diklarifikasi tidak benar.
Pemerintah memang mencatat skor Indeks Literasi Digital Indonesia (ILDI) 2022 di angka 3,54 dari 5, kategori sedang. Namun, aspek keamanan digital (digital safety) masih rendah. Artinya, banyak anak yang mahir bermain gim atau media sosial, tetapi belum paham cara melindungi data pribadi, memeriksa kebenaran berita, atau berinteraksi dengan etika di ruang maya.
Literasi digital sejatinya adalah bagian dari kecerdasan sosial abad 21. Anak yang melek digital bukan hanya pandai mencari jawaban lewat Google, tetapi juga sadar bahwa setiap klik membawa konsekuensi: apakah ia menghargai privasi orang lain, apakah ia santun dalam komentar, dan apakah ia mampu bekerja sama dengan teman sebaya di ruang daring.
Karena itu, guru dan orang tua memiliki peran kunci. Ada tiga langkah yang bisa dilakukan. Pertama, memberikan teladan: anak meniru lebih cepat daripada mendengar nasihat. Kedua, ajarkan prinsip “cek sebelum sebar” agar anak terbiasa memverifikasi informasi. Ketiga, buka ruang dialog: tanyakan apa yang mereka tonton, siapa yang mereka ikuti, atau konten apa yang membuat mereka resah.
Lebih jauh, anak perlu memahami etika digital. Dunia maya bukan ruang tanpa aturan. Menghormati privasi, tidak melakukan perundungan, serta menjaga jejak digital harus ditanamkan sejak dini. Dengan begitu, mereka tidak mudah terjebak tren viral yang justru merugikan.
Mempersiapkan anak dengan literasi digital sama dengan memberi kompas di hutan informasi. Tanpa itu, mereka mudah tersesat. Dengan itu, mereka dapat menentukan arah dan bertumbuh menjadi generasi yang bukan hanya cerdas teknologi, tetapi juga bijak secara sosial dan berintegritas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
