Hukum di Atas Kertas, Praktik di Atas Meja
Politik | 2025-09-18 13:54:14Hukum selalu diposisikan sebagai panglima tertinggi dalam kehidupan bernegara. Undang-undang disusun dengan susah payah, melewati perdebatan panjang, serta dikaji oleh pakar dan praktisi agar mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Teori hukum yang lahir dari aturan tertulis seharusnya menjadi pedoman, bukan sekadar pajangan. Namun sayangnya, di lapangan, hukum sering kali berhenti hanya di atas kertas. Praktiknya berjalan berbeda, bahkan terkadang berlawanan arah, dan yang lebih mengkhawatirkan: perbedaan itu dinormalisasi oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga tegaknya hukum.
Fenomena ini kerap kita saksikan dalam perilaku aparat penegak hukum. Ada adagium tidak resmi yang sering terdengar, “Teori itu ada di kampus, praktik itu di lapangan.” Kalimat sederhana namun sarat makna ini seolah menjadi justifikasi bahwa penyimpangan dari teori bukan sesuatu yang salah, melainkan bagian dari “kebijaksanaan” aparat. Padahal, jika hukum dimaknai serius, praktik yang tidak sesuai teori sama artinya dengan pengingkaran terhadap kepastian hukum.
Mari kita ambil contoh sederhana. Undang-undang mengatur bahwa setiap warga negara berhak diperlakukan sama di depan hukum. Namun dalam praktik, kita kerap melihat adanya perbedaan perlakuan: yang berduit mendapat jalan keluar lebih cepat, yang tidak berdaya harus menerima proses panjang dan melelahkan. Aparat pun seakan tidak merasa bersalah karena praktik seperti itu dianggap sudah “biasa”. Di sinilah normalisasi penyimpangan bekerja, melahirkan budaya hukum yang permisif dan penuh standar ganda.
Sikap aparat yang menoleransi perbedaan antara teori dan praktik bukan hanya masalah teknis, melainkan persoalan moral dan integritas. Ketika seorang polisi menganggap damai di luar proses hukum lebih praktis, atau seorang jaksa menunda penuntutan karena alasan tertentu, maka sebenarnya mereka sedang melemahkan fondasi hukum itu sendiri. Hukum kehilangan wibawanya karena aparat memilih jalan pintas.
Memang benar, hukum tidak bisa kaku. Ia harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika sosial. Namun adaptasi bukan berarti pembiaran terhadap praktik menyimpang. Adaptasi seharusnya dilakukan melalui mekanisme resmi: perubahan undang-undang, revisi aturan, atau pembentukan yurisprudensi baru. Bukan melalui tindakan aparat yang secara sepihak menafsirkan ulang hukum demi efisiensi, kepentingan, atau bahkan keuntungan pribadi.
Bahaya terbesar dari normalisasi penyimpangan adalah hilangnya kepercayaan publik. Masyarakat akan melihat hukum hanya sebagai simbol, bukan instrumen keadilan. Ketika teori hukum hanya berlaku dalam teks undang-undang, sementara praktiknya penuh kompromi, masyarakat pun enggan mempercayai proses hukum. Mereka lebih memilih menyelesaikan masalah dengan cara lain: jalur kekerasan, kekeluargaan yang manipulatif, atau bahkan suap. Pada titik ini, negara hukum tinggal jargon tanpa substansi.
Satjipto Rahardjo pernah mengingatkan, “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Kalimat ini sering disalahartikan aparat untuk membenarkan keluwesan yang kebablasan. Padahal, maksudnya jelas: hukum harus melayani kepentingan masyarakat, bukan kepentingan segelintir pihak. Artinya, fleksibilitas hukum harus ditempatkan pada kerangka keadilan, bukan dijadikan alasan menormalisasi penyimpangan dari teori hukum yang berlaku.
Sementara itu, Mahfud MD pernah menegaskan bahwa “Negara hukum tidak boleh berhenti hanya sebagai slogan. Ia harus nyata dalam praktik kehidupan sehari-hari.” Pernyataan ini menggambarkan keharusan konsistensi antara teori dan praktik hukum. Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi retorika yang indah di podium, tetapi ompong dalam realitas sosial.
Aparat seharusnya menyadari bahwa mereka adalah wajah hukum di mata masyarakat. Konsistensi antara teori dan praktik adalah kunci untuk menjaga wibawa hukum. Setiap kali aparat menormalisasi praktik yang berbeda dengan teori, sebenarnya mereka sedang mengikis legitimasi diri mereka sendiri. Bagaimana mungkin masyarakat percaya pada hukum, jika aparat sendiri menganggap penyimpangan sebagai hal lumrah?
Sudah saatnya ada kesadaran kolektif bahwa hukum bukan untuk dinegosiasikan. Jika ada aturan yang dianggap tidak sesuai dengan realitas, maka perbaikilah aturan itu melalui mekanisme sah. Jangan justru membiarkan aparat bertindak seolah-olah mereka lebih tinggi dari undang-undang. Hukum tidak boleh hanya berhenti sebagai tulisan indah di atas kertas, sementara praktiknya di lapangan justru ditentukan oleh meja perundingan informal atau kepentingan sesaat.
Ini hanya sekadar refleksi dari bagaimana suatu norma dan kaidah hukum dalam terori dan praktik itu terkadang berbeda, saya beragnggapan bahwa praktik hukum harus berjalan sesuai teori, bukan sebaliknya. Karena tanpa keselarasan keduanya, hukum hanyalah bayang-bayang yang rapuh: tampak tegas di buku teks, namun mudah pudar ketika berhadapan dengan kenyataan. Dan ketika masyarakat sadar bahwa hukum tidak bisa diandalkan, maka yang runtuh bukan hanya norma, melainkan seluruh sendi kehidupan bernegara.
Oleh : Wawa Kuswara ,S.H.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
