Subuh di Bukit Baruga: Lantunan Imam, Suara Langit yang Menyapa Hati
Agama | 2025-09-16 06:13:01Iman di Tepi: Renungan dari Ayat Al-Hajj yang dibaca Imam
Muliadi Saleh
Suara imam di Masjid Fatimah Bukit Baruga pada subuh yang hening itu terdengar bukan sekadar suara manusia. Ia adalah gema langit, firman yang turun dari ketinggian, menembus ruang batin jamaah yang duduk bershaf-shaf. Ayat yang dibacakan seperti mengetuk dinding hati, mengingatkan tentang hakikat manusia, tentang tipisnya iman yang hanya singgah di permukaan:
"Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, ia merasa puas, dan jika ia ditimpa cobaan, ia berbalik ke belakang. Ia rugi di dunia dan di akhirat, itulah kerugian yang nyata." (QS. Al-Hajj: 11).
Betapa getir peringatan ini. Ada manusia yang beribadah hanya setengah hati, beriman hanya di tepi, bagaikan orang berdiri di pinggir samudera iman tanpa keberanian untuk menyelam. Bila ombak membawa mutiara rezeki, ia puas dan tersenyum. Namun ketika badai cobaan datang, ia meninggalkan pantai keyakinan, berbalik arah dengan wajah muram.
Mereka itu, kata para mufassir, laksana pohon berakar dangkal di tanah tipis: segar kala hujan, namun cepat layu ketika panas mendera. Ibnu Katsir menegaskan, ayat ini turun tentang mereka yang masuk Islam secara lahiriah tetapi hatinya belum mantap. Selama hidup terasa mudah, mereka bertahan. Begitu datang kesulitan, mereka berpaling. Qurtubi menambahkan, itulah potret orang yang beragama dengan syarat, beriman dengan transaksi, bukan dengan ketulusan.
Ayat ini adalah cermin. Dan cermin selalu tajam. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah kita juga beragama di tepi? Apakah doa-doa kita hanya lantang ketika dompet penuh, namun luntur ketika rezeki seret? Apakah sujud kita khusyuk saat sehat, lalu menipis ketika tubuh diuji sakit?
Di dunia nyata, kita bisa melihat potret ini dengan gamblang. Seorang pengusaha yang rajin bersedekah ketika omzet tinggi, namun ketika usahanya bangkrut ia menjauh dari masjid, bahkan meragukan doa. Seorang anak muda yang rajin berzikir kala hatinya lapang, tetapi saat cinta ditolak, ia merasa Tuhan tidak adil. Seorang pegawai yang tekun shalat ketika karier menanjak, tetapi mulai lalai ketika menghadapi ujian hidup. Semua itu adalah wajah-wajah yang beribadah di tepi, menunggu keuntungan untuk bertahan, lalu mundur ketika dirasa merugi.
Padahal, iman sejati tidak boleh hanya singgah di permukaan. Ia harus berakar di pusat jiwa, tumbuh kuat, dan siap menghadapi badai takdir. Menjadi muslim berarti masuk penuh ke dalam samudera iman, bukan sekadar membasahi kaki di tepi. Hidup ini memang tidak selalu lapang. Ada masa rezeki berlimpah, ada pula masa perut terasa kosong. Ada saat tubuh sehat, ada pula ketika sakit mencengkeram. Ada waktu hati teduh, ada pula ketika gundah menyelimutinya. Tetapi justru di situlah iman diuji: apakah kita berbalik mundur, atau tetap tegak melangkah?
Imam subuh itu menutup bacaannya dengan ayat lain: “Demikianlah Kami menurunkan ayat-ayat yang nyata; dan sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 16). Seakan menjadi penegasan, bahwa hidayah bukan hasil kecerdikan manusia, melainkan karunia Allah. Maka wajar bila dalam doa qunut kita selalu memohon: “Allahumma ihdini fi man hadait—Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana mereka yang telah Engkau beri petunjuk.”
Doa itu bukan sekadar lantunan rutin, melainkan jeritan hati yang sadar betapa lemahnya manusia tanpa cahaya-Nya. Hanya dengan petunjuk Allah, langkah kita bisa tegak dalam badai, hati kita bisa kokoh dalam luka.
Para sufi mengingatkan, jangan jadikan Allah sekadar perahu untuk menyeberang sungai kebutuhanmu. Jadikan Dia lautan tempat engkau karamkan dirimu. Rumi berbisik, “Cinta sejati kepada Tuhan adalah tenggelam tanpa sisa, bukan sekadar membasahi kaki di tepi.” Sementara Ibnu Atha’illah menulis dalam al-Hikam, “Jangan engkau beribadah agar mendapatkan sesuatu, tapi beribadahlah agar engkau tak kehilangan Dia.”
Di sinilah letak kebahagiaan sejati: ketika hati tidak tergantung pada datang dan perginya nikmat, melainkan pada kedekatan dengan Allah. Nikmat yang datang menjadi sebab syukur, ujian yang menimpa menjadi jalan sabar. Dalam dua keadaan itu, seorang mukmin tetap bahagia, sebab kebahagiaan bukanlah dunia yang sementara, melainkan bersama Allah yang abadi.
Pesan pakar spiritual yang mengkaji ayat ini sederhana namun mendalam: iman harus berakar, bukan sekadar menempel. Iman yang menempel akan mudah copot ketika badai datang. Tetapi iman yang berakar akan bertahan, meski angin mengguncang dan tanah retak. Maka jangan berdiri di tepi. Masuklah ke samudera iman sepenuh hati, agar kita tidak tergolong dalam kerugian yang nyata.
Dan pada akhirnya, kita hanya bisa menutup renungan ini dengan doa yang sama yang dilantunkan imam subuh:
اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا وَاصْرِفْ عَنَّا شَرَّ مَا قَضَيْتَ.
Ya Allah, tetapkanlah hati kami dalam petunjuk-Mu, jangan biarkan kami tergelincir setelah Engkau beri cahaya. Jadikan kami hamba yang kuat bersyukur dalam nikmat, sabar dalam cobaan, dan bahagia dalam dekat kepada-Mu. Sebab Engkaulah kebahagiaan yang tidak pernah pudar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
