Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ayiex Kademangan

Ketika Swasembada Beras Tak Menjamin Kesejahteraan

Agama | 2025-09-14 10:17:13

By; Sarie Rahman

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, mengungkapkan bahwa mulai tahun 2026 bantuan pangan berupa beras 10 kilogram berpotensi dihentikan. Pemerintah hanya akan menjalankan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Keduanya sama-sama merupakan bentuk intervensi untuk menekan laju kenaikan harga beras, namun dengan mekanisme berbeda. Jika bantuan pangan sebelumnya diberikan gratis kepada keluarga berpendapatan rendah, maka beras SPHP dijual secara komersial dengan harga yang ditetapkan pemerintah, lebih murah dibanding beras medium hingga premium. Arief menegaskan, penghentian bantuan pangan ini tak lepas dari keterbatasan anggaran yang diproyeksikan pada 2026. (CNBC.Indonesia, 04/9/2025)

Meski pemerintah optimistis bisa mencapai swasembada beras tahun ini karena stok beras tercatat melimpah, namun kenyataannya harga beras masih tinggi di lebih dari dua ratus daerah. Program penyaluran beras melalui skema Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang digadang-gadang mampu menekan harga, ternyata belum berjalan optimal. Ironisnya lagi, bantuan pangan berupa beras gratis bagi rakyat miskin justru terancam dihapus karena anggarannya dialihkan untuk SPHP.

Artinya, masyarakat berpendapatan rendah bukan lagi mendapat bantuan gratis seperti sebelumnya, melainkan diarahkan membeli beras SPHP. Masalahnya kualitas beras SPHP banyak dikeluhkan, meski harganya lebih murah masyarakat tetap enggan membeli, bahkan sejumlah toko ritel pun menolak menjualnya. Kondisi ini menunjukkan perlunya kebijakan pangan yang tidak hanya berorientasi pada stok, tetapi juga memastikan keterjangkauan, kualitas, dan keberpihakan pada rakyat kecil.

Swasembada Tanpa Kendali Distribusi Hanya Ilusi

Wacana swasembada beras tidak selalu sejalan dengan kondisi di lapangan. Meski stok beras nasional cukup tinggi, harga di pasaran tetap mahal. Beras justru menumpuk di gudang Bulog dan rentan menurun kualitasnya jika terlalu lama disimpan, fenomena yang pernah disorot Ombudsman sebagai “obesitas” Bulog. Ombudsman menemukan fakta bahwa dari total stok Bulog sekitar 3,9 juta ton, lebih dari 1,2 juta ton sudah disimpan lebih dari enam bulan. Kondisi ini berisiko membuat beras tidak layak konsumsi sehingga harus dibuang, jumlahnya bisa mencapai 300 ribu ton. Jika itu terjadi, negara berpotensi merugi hingga Rp4 triliun. Ironisnya, di tengah rakyat yang kesulitan membeli beras, Bulog justru berhadapan dengan masalah membuang beras.

Meski pemerintah sudah berusaha mengatasi persoalan ini, tetapi langkah yang diambil dinilai tidak banyak membawa perubahan dan justru sering menimbulkan persoalan baru. Salah satunya lewat operasi pasar dengan memperbesar penyaluran beras SPHP. Sayangnya, program SPHP yang diharapkan mampu menstabilkan harga pun tidak berjalan efektif. Sering kali beras tidak tersedia merata, baik di pasar tradisional maupun di ritel modern. Dikarenakan lambatnya penyaluran dari Bulog, sehingga beras terasa langka padahal stok nasional sebenarnya melimpah.

Di lapangan, masalah makin rumit karena muncul berbagai penyimpangan, misalnya beras SPHP yang seharusnya untuk rakyat miskin justru dioplos atau dikemas ulang menjadi beras premium. Lemahnya pengawasan juga membuka celah terjadinya praktik curang seperti penimbunan dan permainan harga, yang pada akhirnya merugikan masyarakat kecil. Masalah sebenarnya bukan hanya soal stok, melainkan carut-marut tata kelola perberasan nasional. Bulog sendiri kerap tersandera oleh persoalan manajemen, sehingga beras yang melimpah gagal sampai ke masyarakat.

Salah satu persoalan serius dalam tata niaga beras lainnya adalah praktik oligopoli. Menurut data BPS dan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki sekitar 180 ribu penggilingan padi, tetapi hanya sekitar 10 persen yang berukuran besar. Ironisnya, kelompok kecil inilah yang menguasai lebih dari 50 persen pasokan beras nasional. Kondisi ini membuat pasar beras seakan dikuasai segelintir pemain besar yang umumnya terhubung dengan pedagang besar atau eksportir, sehingga mereka leluasa mengendalikan pasokan, kualitas, bahkan harga beras. Praktik oligopoli inilah yang sesungguhnya menekan harga beras naik dan membuat rakyat tidak berdaya.

Selama negara hanya berperan sebagai regulator dalam sistem kapitalisme, rakyat akan selalu jadi korban. Pemerintah sibuk memastikan stok aman di atas kertas, padahal distribusi yang buruk dan dominasi kartel membuat harga tetap tak terkendali. Diperlukan pembenahan serius dalam tata kelola distribusi dan pengawasan pasar agar harga beras benar-benar stabil dan dapat dijangkau masyarakat luas.

Swasembada Janji Manis dalam Kapitalisme, Raealitas dalam Islam

Dalam Islam, seorang imam adalah raa’in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab memastikan pangan, termasuk beras, tersedia dengan harga terjangkau dan benar-benar sampai ke tangan masyarakat, bukan sekadar menumpuk di gudang atau pasar. Negara hadir sebagai pengatur utama, memastikan produksi pertanian berjalan optimal dengan dukungan penuh kepada petani mulai dari penyediaan lahan, irigasi, pupuk, hingga teknologi. Hasil panen kemudian dikelola dengan tata niaga yang adil, bebas dari permainan kartel maupun spekulasi harga.

Ditunjang keuangan baitulmal yang kuat membuat negara lebih leluasa memenuhi kebutuhan rakyat. Keluarga miskin akan mendapat bantuan pangan gratis sesuai kebutuhan mereka. Sementara itu, operasi pasar bisa segera dijalankan karena negara dapat langsung membeli hasil panen berlebih dari petani untuk menjaga harga tetap stabil, lalu menjualnya kembali dengan harga terjangkau.

Negara juga akan menjaga agar pasar berjalan sehat dan adil. Caranya dengan menegakkan hukum ekonomi Islam serta menghapus praktik curang seperti penimbunan barang, permainan harga, atau bentuk distorsi pasar lainnya.. “Siapa saja yang melakukan penimbunan, ia telah berbuat salah.” (HR Muslim, 3012).

Dengan begitu, beras tidak hanya melimpah di gudang, tetapi benar-benar sampai ke meja makan rakyat dengan harga terjangkau. Di sistem Khilafah, jalur distribusi beras dibenahi dari hulu hingga hilir agar berjalan adil dan efisien, tanpa dicemari praktik haram seperti oligopoli yang merugikan rakyat. Karena dalam Islam intervensi harga sangat tidak diperbolehkan, baik lewat kesepakatan antara pedagang, importir, dan agen, maupun melalui penetapan harga oleh penguasa, meski alasannya untuk melindungi petani.

Alhasil swasembada beras bukan sekadar janji manis, bukan PHP melainkan kenyataan yang dirasakan langsung oleh seluruh lapisan masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image