Kritis dan Progresif: Arah Baru Pemikiran Mahasiswa Gen Z di Era Digital
Teknologi | 2025-09-06 12:18:58
Di era digital yang berkembang dengan cepat, mahasiswa Gen Z dihadapkan
pada tantangan baru dalam menyaring informasi dan membuat keputusan yang
tepat. Generasi ini tumbuh dalam lingkungan yang menyediakan akses cepat ke
berbagai sumber informasi, tetapi pada saat yang sama juga meningkatkan risiko
terpapar berita palsu dan bias algoritma. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis
menjadi keterampilan esensial agar mereka dapat menilai informasi secara cermat,
menganalisis data secara objektif, dan mengambil keputusan dengan bijak, baik
dalam lingkungan akademik maupun profesional. Dengan keterampilan ini, mereka
tidak hanya berperan sebagai penerima informasi, tetapi juga mampu berkontribusi
dalam diskusi ilmiah dan sosial yang lebih luas.
Mahasiswa Gen Z di era digital memiliki kecenderungan berpikir kritis dan
progresif dalam menghadapi pesatnya perkembangan media sosial. Akses tak
terbatas terhadap berbagai informasi membuat mereka lebih cepat memahami isu-
isu global, sosial, dan politik. Namun, keberlimpahan informasi ini juga
menghadirkan tantangan tersendiri, seperti kesenjangan digital dan ketergantungan
pada teknologi kecerdasan buatan (AI). Gen Z yang memiliki akses dan
pemahaman terhadap teknologi cenderung lebih mudah dalam menyelesaikan tugas
akademik, tetapi tantangan muncul ketika mereka menerima hasil AI tanpa
melakukan analisis kritis. (Novance Silitonga, et,al, 2024)
Selain itu, penggunaan AI dalam dunia akademik juga berhubungan erat
dengan etika digital, terutama dalam hal plagiarisme. Kemudahan akses terhadap
teknologi AI membuat sebagian mahasiswa tergoda untuk menyalin informasi
tanpa melakukan pemikiran mendalam atau memberikan atribusi yang tepat. Hal
ini bertentangan dengan nilai-nilai akademik yang menjunjung tinggi kejujuran dan
integritas dalam menghasilkan karya ilmiah. Jika tidak disikapi dengan bijak, AI
dapat menumpulkan kemampuan analitis mahasiswa dan mendorong mereka untuk
menciptakan karya yang kurang orisinal. Oleh karena itu, Generasi Z sebagai ujung
tombak intelektual harus mampu menempatkan diri secara bertanggung jawab
dalam memanfaatkan teknologi, sehingga mereka tetap bisa berpikir kritis dan
menghasilkan karya akademik yang berkualitas.
Sejumlah penelitian (Nasution, et.al, 2023) menunjukkan bahwa berpikir
kritis memberikan dampak yang besar terhadap berbagai aspek kehidupan
mahasiswa Gen Z. Dalam bidang kedokteran, misalnya, keterampilan ini sangat
penting untuk menganalisis data medis, menentukan diagnosis, dan merancang
metode pengobatan yang efektif. (Joko Nugroho, et.al, 2024) menjelaskan dalam
dunia pendidikan, berpikir kritis berkaitan erat dengan prestasi akademik
mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan. Pendekatan pembelajaran berbasis
pemecahan masalah, seperti Problem-Based Learning (PBL) dan pembelajaran
kolaboratif, terbukti efektif dalam mengembangkan pola pikir yang lebih analitis
dan reflektif. Oleh sebab itu, institusi pendidikan perlu terus menyesuaikan metode
pengajaran agar mahasiswa dapat mengasah kemampuan berpikir kritis mereka
secara optimal.
Agar generasi ini tidak hanya unggul secara digital tetapi juga memiliki
pemikiran yang kritis dan mandiri, peran aktif pemerintah, akademisi, serta
berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan. Studi menunjukkan bahwa
mahasiswa dengan keterampilan berpikir kritis lebih mampu mengenali dan
menghindari hoaks, teori konspirasi, serta bias informasi yang dapat memengaruhi
keputusan mereka. Dengan menerapkan strategi pembelajaran yang tepat, seperti
simulasi berbasis teknologi, pemetaan konsep (mind mapping), diskusi mendalam,
serta penggunaan pertanyaan terbuka, mahasiswa Gen Z dapat berkembang menjadi
individu yang lebih cerdas, inovatif, dan siap menghadapi tantangan di era digital.
Mahasiswa Gen Z di era digital memiliki pola pikir yang semakin kritis dan
progresif, terutama dalam menanggapi isu-isu sosial, politik, dan budaya. Akses
cepat terhadap informasi melalui media sosial membuat mereka lebih sadar
terhadap berbagai perspektif global serta lebih berani dalam menyuarakan
pendapat. Dengan kehadiran platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok,
mahasiswa tidak hanya menjadi konsumen informasi tetapi juga produsen konten
yang mampu memengaruhi opini publik. Sikap skeptis terhadap otoritas tradisional
juga semakin berkembang, di mana mereka lebih cenderung mempertanyakan
kebijakan dan mencari bukti sebelum menerima suatu pandangan. Namun,
pemikiran kritis dan progresif ini juga memiliki tantangan tersendiri. (Tunjung
Wijanarka, 2023) Misinformasi dan bias algoritma sering kali membentuk "echo
chamber" yang membuat mereka hanya terpapar pada perspektif tertentu. Selain
itu, fenomena cancel culture dapat menyebabkan polarisasi, di mana perbedaan
pendapat tidak selalu ditanggapi dengan diskusi yang konstruktif. Oleh karena itu,
meskipun mahasiswa Gen Z semakin kritis dan progresif dalam melihat dunia,
diperlukan keseimbangan dalam menyaring informasi serta sikap terbuka terhadap
berbagai sudut pandang agar pemikiran mereka tetap objektif dan berkembang.
Menurut (Syifa Chairunnisa, et.al, 2025) Tantangan disinformasi dan bias
algoritma memiliki dampak yang signifikan terhadap cara berpikir mahasiswa
Generasi Z. Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh dalam era digital, mereka
sering kali terpapar pada berbagai informasi yang beredar di media sosial dan
platform daring lainnya. Namun, informasi yang mereka terima tidak selalu valid,
dan tingkat kepalsuan yang tinggi, seperti konten deepfake, bisa membuat mereka
mempercayai klaim yang tidak benar. Akibatnya, mahasiswa cenderung berisiko
mengadopsi pandangan yang kurang kritis terhadap informasi yang mereka
konsumsi, yang dapat mempengaruhi opini, sikap, dan tindakan mereka di berbagai
aspek kehidupan, termasuk politik dan sosial.
Dalam konteks ini, sikap kritis dan progresif menjadi sangat penting bagi
mahasiswa Gen Z di era digital. Mereka perlu dibekali dengan keterampilan analitis
yang kuat untuk mengevaluasi sumber informasi dan memahami bagaimana
algoritma dapat mempengaruhi eksposur mereka terhadap konten tertentu. Dengan
memanfaatkan pendidikan literasi media yang efektif, mahasiswa dapat belajar
untuk mengidentifikasi bias dan memahami konteks di balik informasi yang mereka
terima. Dengan demikian, generasi ini dapat mengembangkan pola pikir yang lebih
progresif, di mana mereka tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi aktif
mempertanyakan dan menggali kebenaran, sehingga mampu berkontribusi pada
masyarakat yang informative.
Selanjutnya, mahasiswa Generasi Z juga dituntut untuk tidak hanya
memahami dinamika disinformasi dan bias algoritma, tetapi juga untuk berperan
aktif dalam menciptakan ruang diskusi yang sehat di media sosial dan platform
digital lainnya. Dengan memanfaatkan keterampilan kritis yang mereka miliki,
mereka dapat menjadi agen perubahan yang mempromosikan verifikasi informasi
dan membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya memeriksa fakta sebelum
mempercayai atau membagikan konten. Hal ini tidak hanya membantu mereka
dalam pengambilan keputusan yang lebih baik, tetapi juga mendorong pemikiran
kritis di kalangan teman sebaya dan komunitas mereka. Dalam jangka panjang,
sikap ini tidak hanya akan memperkuat kemampuan mereka untuk menghadapi
tantangan informasi yang kompleks, tetapi juga menciptakan kultur informasi yang
lebih bertanggung jawab dan transparan di kalangan generasi muda, yang sangat
penting dalam membangun masyarakat yang berkelanjutan dan berorientasi pada
kebenaran di era digital ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
