Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Saputra Malik

Tambang Ilegal Rugikan Rp 300 T, Negara Wajib Tegakkan Konstitusi

Hukum | 2025-09-01 16:15:39

Dalam Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD RI pada 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan data mengejutkan: terdapat sekitar 1.063 tambang ilegal di Indonesia yang menimbulkan kerugian negara minimal Rp 300 triliun. Pernyataan ini bukan sekadar angka; ia merupakan potret kebocoran ekonomi, lemahnya pengawasan, dan ancaman terhadap kedaulatan negara. Seruan Presiden untuk penegakan hukum tanpa pandang bulu, bahkan terhadap oknum kuat, membuka ruang refleksi hukum yang mendalam: apakah kita sungguh berdaulat atas kekayaan alam kita?

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan perdananya dalam Sidang Tahunan MPR RI serta Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Jumat (15/8). sumber: ksp.go.id

Konstitusi dan Hukum yang Tegas

Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Doktrin ini dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam beberapa putusannya seperti Putusan No. 36/PUU-X/2012 dan yang lebih baru pada Putusan No. 61/PUU-XVIII/2020 serta Perkara Nomor 19982, menekankan bahwa hak menguasai negara bukan berarti kepemilikan langsung, melainkan mandat kepada negara untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi demi kemaslahatan rakyat. Putusan-putusan ini memberikan penegasan bahwa negara tidak boleh lepas tangan dalam mengelola dan mengawasi sektor-sektor vital, meskipun ada potensi peran dari swasta. Penekanan utamanya adalah pada tercapainya kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan sumber daya alam dan cabang produksi yang dikuasai oleh negara.

Secara normatif, pengaturan pertambangan diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2025, yang mengatur tata cara perizinan, pengelolaan, pengawasan, dan sanksi pidana. Pasal 158 UU Minerba menegaskan: “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah).” Pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.

Namun, fakta tambang ilegal yang merajalela menunjukkan adanya celah besar antara norma dan realita. PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan PP No. 25 Tahun 2024, mengatur lebih teknis soal perizinan, tetapi lemahnya pengawasan dan tumpang tindih kewenangan pusat-daerah menjadi pintu masuk praktik ilegal.

Masalah Lama yang Tak Pernah Tuntas

Masalah tambang ilegal atau pertambangan tanpa izin (PETI) bukanlah isu baru. Pada 12 Juli 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Siaran Pers Nomor: 259.Pers/04/SJI/2022 menyatakan bahwa PETI terus menjadi perhatian pemerintah dan memerlukan upaya bersama serta dukungan seluruh pihak untuk penanganannya. Berdasarkan data tahun 2021 (triwulan III), terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar di Indonesia, dengan rincian sekitar 96 lokasi PETI batubara dan sekitar 2.645 lokasi PETI mineral. Salah satu provinsi dengan jumlah PETI terbanyak adalah Sumatera Selatan. Fakta ini menunjukkan bahwa persoalan tambang ilegal adalah masalah struktural yang telah lama dihadapi dan membutuhkan strategi menyeluruh untuk penanganannya.

Bahkan pada tahun 2020, Ombudsman RI menyampaikan kajian sistemik terkait pengawasan terintegrasi dalam rangka pencegahan dan penegakan hukum pertambangan ilegal. Adapun temuan Ombudsman RI adalah pertama, mengenai pola aktivitas pertambangan ilegal, kedua pengabaian kewajiban hukum oleh Pemerintah dalam tata kelola Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan ketiga masih lemahnya pengawasan pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap pertambangan ilegal. Hasil tinjauan lapangan Ombudsman RI menemukan beberapa Pola pertambangan illegal yang dilakukan diantaranya Pertambangan tanpa izin (PETI) oleh masyarakat, pertambangan tanpa izin oleh oknum kelompok masyarakat/ormas, pertambangan ilegal oleh Badan Usaha Pemilik IUP NonC&C, Pertambangan Ilegal di dalam kawasan hutan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Kerugian dan Dampak Sistemik

Kerugian Rp 300 triliun bukan hanya soal hilangnya potensi pendapatan negara, tetapi juga kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan lenyapnya keadilan bagi masyarakat di sekitar tambang. Aktivitas ilegal menghancurkan ekosistem, merusak tata ruang, dan memunculkan persoalan sosial seperti perebutan lahan dan kriminalitas. Menurut data Kementerian ESDM, kerugian negara akibat tambang ilegal juga berdampak pada menurunnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang signifikan. Ini adalah ironi kemerdekaan: kekayaan ada di tanah sendiri, tetapi manfaatnya hilang di tangan yang salah.

Seruan Presiden dan Tantangan Penegakan Hukum

Presiden Prabowo menyatakan, penertiban akan dilakukan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap oknum yang memiliki pengaruh, demi rakyat. Pernyataan ini penting, karena praktik tambang ilegal sering dikaitkan dengan keterlibatan oknum aparat dan pejabat. Namun, tanpa sistem hukum yang kuat, seruan ini bisa berakhir sebagai retorika. Penegakan hukum harus menggabungkan sanksi administratif, sanksi pidana, dan pemulihan kerugian negara melalui instrumen hukum seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM. Perlu ada audit menyeluruh, pemutakhiran data tambang, serta kolaborasi lintas lembaga seperti Polri, KPK, KLHK, dan Kejaksaan. Penegakan hukum juga harus menyasar korporasi, bukan hanya pelaku lapangan.

Reformasi Pertambangan adalah Keniscayaan

Ada tiga langkah mendesak: pertama, penataan ulang perizinan dan transparansi data tambang melalui teknologi digital yang dapat dipantau publik; kedua, penegakan hukum terpadu yang melibatkan aparat dan masyarakat sipil untuk mengawasi; ketiga, pemulihan lingkungan sebagai syarat mutlak, agar kerugian tidak hanya dihitung dalam rupiah, tetapi juga dalam daya dukung alam yang terjaga. Momentum pidato kenegaraan ini harus menjadi tonggak reformasi hukum pertambangan.

Tambang ilegal adalah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Jika kemerdekaan adalah kedaulatan atas tanah dan air, maka penegakan hukum terhadap tambang ilegal adalah cara kita menjaga Merah Putih di bawah tanah. Pidato Presiden adalah panggilan, tetapi jawaban sejati ada pada keberanian hukum untuk bertindak. Saatnya negara hadir penuh untuk memastikan setiap kekayaan alam kembali kepada rakyat, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image