Dari Tunjangan DPR Hingga Ojol Tewas: Menguak Akar Kericuhan Demonstrasi Jakarta 2025
Politik | 2025-08-31 17:36:02
Gelombang demonstrasi yang memanas di Jakarta pada akhir Agustus 2025 menyisakan banyak catatan bagi bangsa ini. Apa yang berawal sebagai ekspresi kekecewaan terhadap kebijakan DPR, berubah menjadi kerusuhan yang menelan korban jiwa, merusak fasilitas umum, dan menimbulkan trauma sosial.
Pemicu utama aksi ini adalah usulan kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR hingga Rp50 juta per bulan. Angka fantastis itu kontras dengan kondisi masyarakat yang tengah bergulat dengan inflasi, pemutusan hubungan kerja, dan naiknya biaya hidup. Rakyat merasa dikhianati: saat mereka berhemat untuk bertahan hidup, para wakil rakyat justru menuntut fasilitas lebih.
Puncak amarah publik meledak setelah insiden tragis yang menewaskan seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, akibat tertabrak dan terlindas kendaraan taktis polisi yang dikendarai 7 orang Brimob. Kejadian itu menjadi simbol ketidakadilan: rakyat kecil menjadi korban, sementara elite seolah tak tersentuh.
Konstitusi jelas menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan hak tersebut, yang kemudian diperkuat oleh UU No. 9 Tahun 1998. Dalam kerangka itu, unjuk rasa menolak kebijakan DPR sah dan dijamin hukum.
Namun, kebebasan tidak berarti tanpa batas. UU yang sama juga mengatur kewajiban demonstran untuk menaati aturan, menjaga ketertiban, dan menghormati hak orang lain. Ketika aksi berubah menjadi anarki perusakan halte TransJakarta, pembakaran gedung DPRD, hingga penjarahan rumah anggota DPR perbuatan itu tidak lagi termasuk kebebasan berpendapat, melainkan tindak pidana yang dapat dijerat KUHP.
Kerap kali, demonstrasi besar diwarnai dugaan kehadiran penyusup. Mereka menunggangi aksi untuk mengarahkan massa ke tindakan destruktif. Jika terbukti, maka provokator dapat dijerat pasal penghasutan dan penyertaan tindak pidana. Di sini penting membedakan antara aspirasi tulus rakyat dengan tindakan segelintir oknum yang merusak citra gerakan.
Sisi lain yang tak kalah penting adalah peran aparat. Negara memiliki kewajiban melindungi HAM warganya, termasuk dalam aksi protes. Penggunaan kekuatan berlebihan (excessive force) justru berpotensi menimbulkan pelanggaran baru. Kasus tewasnya pengemudi ojek online seharusnya diusut tuntas. Jika ada kelalaian, aparat dapat dimintai pertanggungjawaban, baik pidana (Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan mati) maupun etik dan administratif.
Kerusuhan tidak hanya merugikan pemerintah, tetapi juga masyarakat luas. Perusakan halte, bus, dan fasilitas transportasi membuat warga biasa menanggung dampak. Dalam konteks hukum, pelaku perusakan fasilitas publik dapat dikenai ancaman pidana hingga lima tahun penjara dan denda puluhan juta rupiah.
Meski diwarnai kekerasan, tuntutan inti demonstrasi ini sejatinya sah: menolak kenaikan tunjangan DPR, meminta keadilan dalam kebijakan ekonomi, serta menuntut reformasi ketenagakerjaan. Aspirasi tersebut berakar pada prinsip akuntabilitas publik sebagaimana diatur dalam UUD 1945, bahwa DPR harus bertindak transparan dan berpihak pada rakyat.
Demo Jakarta 2025 menjadi cermin sekaligus peringatan. Hak rakyat untuk menyuarakan kritik harus tetap dijamin, tetapi aparat juga berhak menindak tegas tindakan kriminal yang merugikan kepentingan umum. Negara tidak boleh hanya mengedepankan pendekatan represif, karena itu hanya memperbesar jarak dengan rakyat.
Demokrasi hanya bisa tumbuh sehat jika kritik didengar, kebijakan berpihak pada keadilan sosial, dan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika pemerintah dan DPR gagal membaca pesan dari jalanan, maka api ketidakpuasan akan terus menyala, dan sejarah mencatat: rakyat yang kehilangan saluran aspirasi akan mencari jalannya sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
