Kebebasan Berpendapat Pelajar: Antara Hak, Etika, dan Tanggung Jawab
Pendidikan dan Literasi | 2025-08-31 09:30:52
Peristiwa demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR pada 25 Agustus 2025 menjadi perbincangan luas. Ratusan pelajar ikut hadir di lokasi aksi, sebagian masih mengenakan seragam sekolah. Mereka datang dari berbagai wilayah sekitar Jakarta: Tangerang, Bekasi, Depok, hingga Bogor dan Sukabumi. Ada yang datang karena ajakan teman, ada juga yang sekadar ingin melihat langsung suasana unjuk rasa setelah membaca ajakan di media sosial.
Namun, suasana yang awalnya hanya penuh rasa ingin tahu berakhir tidak terkendali. Kepulan gas air mata membuat massa berhamburan, dan 196 pelajar di bawah umur harus diamankan sebelum dipulangkan kepada orang tuanya. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa pelajar sampai terlibat dalam ruang publik yang penuh risiko?
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengingatkan agar pelajar tidak mudah terprovokasi oleh berita bohong atau informasi yang belum jelas kebenarannya. Ia menekankan bahwa aspirasi tetap bisa disampaikan dengan cara yang tepat, misalnya lewat kegiatan belajar di sekolah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menegaskan hal serupa: pelajar memang berhak berpendapat, tetapi mereka tidak boleh dilibatkan dalam agenda politik yang berbahaya bagi keselamatan maupun tumbuh kembangnya.
Demokrasi yang Membimbing, Bukan Membahayakan
Dalam konteks ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Nomor 13 Tahun 2025 (https://s.id/sesesjenno13tahun2025). Edaran ini menegaskan pentingnya membimbing pelajar dalam menyampaikan pendapat dengan aman, santun, dan bertanggung jawab. Kebebasan tetap diberikan, tetapi diarahkan melalui jalur pendidikan yang sehat.
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah membentuk manusia yang beriman, cerdas, kreatif, dan bertanggung jawab. Demokrasi yang ditanamkan di sekolah harus mencakup dua hal: keberanian untuk bersuara, dan kesadaran untuk menghormati etika serta tanggung jawab sosial.
Ada lima langkah penting dalam edaran tersebut. Pertama, pemerintah daerah diminta melindungi pelajar dengan kebijakan yang transparan. Kedua, sekolah wajib melakukan pembinaan agar pendapat disampaikan secara santun. Ketiga, guru dituntut memberi teladan dalam komunikasi yang positif. Keempat, sekolah perlu menyediakan ruang dialog aman, seperti musyawarah kelas, organisasi siswa, atau kegiatan ekstrakurikuler. Kelima, orang tua juga diminta mendampingi pelajar agar tidak salah arah dalam menyalurkan aspirasi.
Dengan demikian, sekolah dapat menjadi laboratorium demokrasi. Pemilihan ketua OSIS, forum debat pelajar, atau rapat kelas bisa menjadi ruang belajar nyata. Para pelajar dapat mengasah keberanian berbicara, sekaligus belajar mendengar dan menghargai perbedaan. Cara ini lebih aman, lebih mendidik, dan tetap menjaga semangat kebebasan berpendapat.
Menjaga Merdeka Berpendapat Sejak Dini, Menjaga Harapan
Keterlibatan pelajar dalam demonstrasi 25 Agustus bukan sekadar masalah disiplin. Lebih dari itu, peristiwa ini menunjukkan bahwa masih ada kekosongan ruang dialog di sekolah maupun keluarga. Para pelajar ingin bersuara, tetapi tidak selalu tahu ke mana harus menyalurkannya. Ketika sekolah belum menyediakan ruang yang cukup, media sosial dengan mudah mengambil peran, bahkan sering kali dengan ajakan yang tidak sehat.
Karena itu, semua pihak harus lebih serius berkolaborasi. Guru perlu berperan sebagai fasilitator dialog, bukan hanya pengajar. Orang tua perlu lebih dekat dalam mendampingi pelajar memilah informasi. Pemerintah perlu memastikan kebijakan yang ada berjalan konsisten dan melindungi.
Merdeka berpendapat sejak dini bukan berarti membiarkan pelajar ikut serta di ruang yang tidak aman. Merdeka berpendapat berarti memberi ruang aman, membimbing dengan etika, serta melindungi dengan kasih. Suara pelajar adalah cermin masa depan bangsa, dan keselamatan mereka adalah tanggung jawab bersama.
Bayangkan sekolah-sekolah di Indonesia benar-benar menjadi ruang aman bagi pelajar untuk berdialog. Mereka tidak hanya belajar matematika atau sejarah, tetapi juga belajar demokrasi, saling menghormati, dan mengelola perbedaan. Dari ruang sederhana itulah akan lahir generasi yang lebih matang dalam berdemokrasi.
Peristiwa 25 Agustus 2025 harus menjadi pengingat penting: pelajar memang perlu ruang untuk bersuara, tetapi ruang itu harus aman. Bukan untuk membungkam, melainkan untuk membimbing. Dengan cara itulah kita bisa melahirkan generasi muda yang kritis, santun, dan bertanggung jawab.
Merdeka berpendapat sejak dini bukan sekadar semboyan. Ia adalah jalan panjang untuk membentuk manusia Indonesia yang lebih beradab. Mari kita jaga suara para pelajar dengan mendidik, mendampingi, dan melindungi. Dari suara merekalah, masa depan bangsa menemukan arah terbaiknya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
